Optimistis Hadapi Krisis Multidimensi
A
A
A
A Helmy Faishal Zaini
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
Sejarawan Edward Gibbon dalam The History of the Decline and Fall of the Roman Empire mengatakan bahwa degradasi moralitas yang ditandai dengan semakin menjamurnya gejala hidup mewah nan berlebihan merupakan penyebab utama hancurnya sebuah negara.
Dia lebih lanjut berkesimpulan bahwa tanda utama kemunduran sebuah peradaban adalah ketika terjadi disparitas yang begitu tinggi antara kaum elite dan rakyat biasa. Gejala itu nampaknya sudah kita temui akhir-akhir ini. Jika melihat pola hidup para elite negeri ini, tentu yang terbayang di benak kita adalah citra kemewahan yang sangat serta gaya hidup yang lebih mementingkan ”libido duniawi”.
Betapa tidak, bagi kita tentu sangat tidak sulit menemukan gejalagejala sekaligus prototipe dan contoh kemewahan gaya hidup kaum elite negeri ini. Gejala degradasi moralitas tersebut tentu saja berdampak langsung pada stabilitas berbangsa dan bernegara. Moral yang tererosi berdampak pada meningkatnya kekayaan yang menumpuk di satu sisi dan angka kemiskinan yang semakin membubung tinggi di sisi lain.
Bangsa yang demikian itu, meminjam ungkapan Lucia Lury (2008), masuk ke dalam kategori bangsa yang padat konsumsi, namun miskin produksi. Biasanya cara pandang bangsa yang miskin produksi adalah lebih kerap menuding dan mencurigai dibandingkan memberikan apresiasi dan atensi. Karl Gunnar-Myrdal (1988) suatu ketika pernah mengatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang lembek.
Bangsa yang lembek dalam pandangan Myrdal adalah bangsa yang sebagian besar penduduknya tidak memiliki ketegaran moral sosial politik. Rendahnya moral sosial-politik sebagaimana yang dikatakan oleh Myrdal di atas jika kita gabungkan dengan apa yang dikatakan oleh Gibbon membuat kita hari ini tak kunjung bisa lepas dari apa yang kita istilahkan dengan krisis multidimensi, bahkan Nurcholis Madjid alias Cak Nur (2003) mengatakan bahwa krisis multidimensi itu adalah semacam penyakit kronik yang akan terus menggerogoti kita.
Ia tak hanya krisis finansial- moneter sebagaimana yang terjadi pada negara-negara tetangga. Maka, sebagaimana yang kita dapati sekarang, sementara negara-negara tetangga sudah berhasil melepaskan diri dari krisis finansial-moneter yang diidapnya, kita masih tetap bergelut di pekatnya endemik krisis multidimensi tersebut.
*** Ada semacam mata rantai yang titik pangkalnya dimulai dari kelembekan mental lalu kemudian disambut dengan melemahnya ekonomi yang kemudian disusul dengan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Di saat bersamaan terjadi gelombang berdatangannya tenaga kerja asing semakin melengkapi level krisis yang sedang kita alami. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar yang melewati angka psikologis 14.000; adalah bukti otentik bahwa hari ini kita sedang mengalami krisis finansial-ekonomi. Kehidupan semakin sulit dan tentu saja yang menjadi korban adalah rakyat kecil.
Pada level pendidikan, Kemdikbud telah resmi mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 23/2015 tentang Gerakan Penumbuhan Budi Pekerti yang rencananya akan dimulai bersamaan dengan bergulirnya tahun pelajaran 2015-2016. Permendikbud ini menyisakan sebuah pertanyaan, betapa sedemikian rapuhkah nilai-nilai luhur budi pekerti kita sehingga harus ”diselebrasikan” dan secara khusus diperdalam di sekolah? Banyak kalangan memandang bahwa jangan-jangan program tersebut sebatas hiasan bibir semata.
Hanya seremoni kosong yang tak ada artinya. Padahal, di level ideal harusnya pembangunan budi pekerti itu bersifat konstruktivistik, yang lebih menekankan aspek praktik dibandingkan konsep. Pada level keberagamaan, budaya layar yang sedang in hari ini, meminjam analisis Ariel Heryanto (2015) secara langsung memengaruhi pola keberagamaan kita.
Budaya layar yang didominasi oleh televisi tersebut pada gilirannya menempatkan televisi sebagai referensi utama masyarakat Indonesia, termasuk dalam pola beragama. Para pelaku dakwah agama yang kebanyakan dibentuk oleh industrialisasi televisi kerap kali lebih bersifat tontonan dan entertainment dibandingkan menyuguhkan tuntunan. Padahal yang dibutuhkan masyarakat hari ini adalah figur-figur panutan penuntun umat.
*** Kiranya tidak terlalu berlebihan dan salah jika dikatakan bahwa saat ini gejala negara kita sudah mulai memasuki fase transformasi menjadi negara, meminjam frase Louis Kraar (1988) back-yard Asia. Indonesia sudah semakin tertinggal. Ungkapan akan krisis multidimensional itu memang merupakan gambaran tentang kerusakan bangsa secara holistikkolegial.
Kerusakan yang dimulai dari krisis finansial 1998 itu—sebagaimana bangsa-bangsa Asia lain mengalaminya—seharusnya bisa dibatasi hanya pada wi-layah ekonomi nasional saja. Tapi sebagaimana yang kita dapati sampai hari ini bangsa ini gagal membatasi krisis tersebut disebabkan oleh lemahnya manajerial (weak governance) dalam urusan pemerintahan.
Karenanya, mendapati keadaan yang demikian itu, ada tiga langkah dalam hemat saya yang harus ditempuh. Pertama, pada level pemerintah, mendorong pemerintah agar segera melakukan langkah-langkah, cepat, tepat, nyata, dan juga efektif untuk mengangkat kembali rupiah dari keterpurukannya. Memberikan support pada upaya-upaya rasional yang bisa menjelaskan kepada publik bahwa pelemahan rupiah masih dalam kategori fluktuasi wajar dan tidak berpotensi mengulang krisis ekonomi 1998.
Mengajak masyarakat untuk tabayyun dengan tetap menjaga optimisme. Kedua, pada level rakyat, menghadapi situasi ekonomi yang sulit, berhati-hati dengan menimbang lebih teliti segala sesuatu sebelum memutuskan sikap, lebih baik daripada tindakan emosional dan tergesagesa.
Ketiga, momentum seperti ini patut dijadikan sebagai lecutan untuk meningkatkan ketakwaan dan solidaritas sesama. Islam tidak menyukai umat yang berputus asa menghadapi masa depan.
Ala kulli hal, kekuatan bangsa yang sesungguhnya bukan berada pada fisik dan tenaganya, melainkan pada mental dan jiwanya. Semoga krisis yang sedang kita alami ini bisa menggembleng kedewasaan mental berbangsa dan bernegara kita.
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
Sejarawan Edward Gibbon dalam The History of the Decline and Fall of the Roman Empire mengatakan bahwa degradasi moralitas yang ditandai dengan semakin menjamurnya gejala hidup mewah nan berlebihan merupakan penyebab utama hancurnya sebuah negara.
Dia lebih lanjut berkesimpulan bahwa tanda utama kemunduran sebuah peradaban adalah ketika terjadi disparitas yang begitu tinggi antara kaum elite dan rakyat biasa. Gejala itu nampaknya sudah kita temui akhir-akhir ini. Jika melihat pola hidup para elite negeri ini, tentu yang terbayang di benak kita adalah citra kemewahan yang sangat serta gaya hidup yang lebih mementingkan ”libido duniawi”.
Betapa tidak, bagi kita tentu sangat tidak sulit menemukan gejalagejala sekaligus prototipe dan contoh kemewahan gaya hidup kaum elite negeri ini. Gejala degradasi moralitas tersebut tentu saja berdampak langsung pada stabilitas berbangsa dan bernegara. Moral yang tererosi berdampak pada meningkatnya kekayaan yang menumpuk di satu sisi dan angka kemiskinan yang semakin membubung tinggi di sisi lain.
Bangsa yang demikian itu, meminjam ungkapan Lucia Lury (2008), masuk ke dalam kategori bangsa yang padat konsumsi, namun miskin produksi. Biasanya cara pandang bangsa yang miskin produksi adalah lebih kerap menuding dan mencurigai dibandingkan memberikan apresiasi dan atensi. Karl Gunnar-Myrdal (1988) suatu ketika pernah mengatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang lembek.
Bangsa yang lembek dalam pandangan Myrdal adalah bangsa yang sebagian besar penduduknya tidak memiliki ketegaran moral sosial politik. Rendahnya moral sosial-politik sebagaimana yang dikatakan oleh Myrdal di atas jika kita gabungkan dengan apa yang dikatakan oleh Gibbon membuat kita hari ini tak kunjung bisa lepas dari apa yang kita istilahkan dengan krisis multidimensi, bahkan Nurcholis Madjid alias Cak Nur (2003) mengatakan bahwa krisis multidimensi itu adalah semacam penyakit kronik yang akan terus menggerogoti kita.
Ia tak hanya krisis finansial- moneter sebagaimana yang terjadi pada negara-negara tetangga. Maka, sebagaimana yang kita dapati sekarang, sementara negara-negara tetangga sudah berhasil melepaskan diri dari krisis finansial-moneter yang diidapnya, kita masih tetap bergelut di pekatnya endemik krisis multidimensi tersebut.
*** Ada semacam mata rantai yang titik pangkalnya dimulai dari kelembekan mental lalu kemudian disambut dengan melemahnya ekonomi yang kemudian disusul dengan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Di saat bersamaan terjadi gelombang berdatangannya tenaga kerja asing semakin melengkapi level krisis yang sedang kita alami. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar yang melewati angka psikologis 14.000; adalah bukti otentik bahwa hari ini kita sedang mengalami krisis finansial-ekonomi. Kehidupan semakin sulit dan tentu saja yang menjadi korban adalah rakyat kecil.
Pada level pendidikan, Kemdikbud telah resmi mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 23/2015 tentang Gerakan Penumbuhan Budi Pekerti yang rencananya akan dimulai bersamaan dengan bergulirnya tahun pelajaran 2015-2016. Permendikbud ini menyisakan sebuah pertanyaan, betapa sedemikian rapuhkah nilai-nilai luhur budi pekerti kita sehingga harus ”diselebrasikan” dan secara khusus diperdalam di sekolah? Banyak kalangan memandang bahwa jangan-jangan program tersebut sebatas hiasan bibir semata.
Hanya seremoni kosong yang tak ada artinya. Padahal, di level ideal harusnya pembangunan budi pekerti itu bersifat konstruktivistik, yang lebih menekankan aspek praktik dibandingkan konsep. Pada level keberagamaan, budaya layar yang sedang in hari ini, meminjam analisis Ariel Heryanto (2015) secara langsung memengaruhi pola keberagamaan kita.
Budaya layar yang didominasi oleh televisi tersebut pada gilirannya menempatkan televisi sebagai referensi utama masyarakat Indonesia, termasuk dalam pola beragama. Para pelaku dakwah agama yang kebanyakan dibentuk oleh industrialisasi televisi kerap kali lebih bersifat tontonan dan entertainment dibandingkan menyuguhkan tuntunan. Padahal yang dibutuhkan masyarakat hari ini adalah figur-figur panutan penuntun umat.
*** Kiranya tidak terlalu berlebihan dan salah jika dikatakan bahwa saat ini gejala negara kita sudah mulai memasuki fase transformasi menjadi negara, meminjam frase Louis Kraar (1988) back-yard Asia. Indonesia sudah semakin tertinggal. Ungkapan akan krisis multidimensional itu memang merupakan gambaran tentang kerusakan bangsa secara holistikkolegial.
Kerusakan yang dimulai dari krisis finansial 1998 itu—sebagaimana bangsa-bangsa Asia lain mengalaminya—seharusnya bisa dibatasi hanya pada wi-layah ekonomi nasional saja. Tapi sebagaimana yang kita dapati sampai hari ini bangsa ini gagal membatasi krisis tersebut disebabkan oleh lemahnya manajerial (weak governance) dalam urusan pemerintahan.
Karenanya, mendapati keadaan yang demikian itu, ada tiga langkah dalam hemat saya yang harus ditempuh. Pertama, pada level pemerintah, mendorong pemerintah agar segera melakukan langkah-langkah, cepat, tepat, nyata, dan juga efektif untuk mengangkat kembali rupiah dari keterpurukannya. Memberikan support pada upaya-upaya rasional yang bisa menjelaskan kepada publik bahwa pelemahan rupiah masih dalam kategori fluktuasi wajar dan tidak berpotensi mengulang krisis ekonomi 1998.
Mengajak masyarakat untuk tabayyun dengan tetap menjaga optimisme. Kedua, pada level rakyat, menghadapi situasi ekonomi yang sulit, berhati-hati dengan menimbang lebih teliti segala sesuatu sebelum memutuskan sikap, lebih baik daripada tindakan emosional dan tergesagesa.
Ketiga, momentum seperti ini patut dijadikan sebagai lecutan untuk meningkatkan ketakwaan dan solidaritas sesama. Islam tidak menyukai umat yang berputus asa menghadapi masa depan.
Ala kulli hal, kekuatan bangsa yang sesungguhnya bukan berada pada fisik dan tenaganya, melainkan pada mental dan jiwanya. Semoga krisis yang sedang kita alami ini bisa menggembleng kedewasaan mental berbangsa dan bernegara kita.
(ars)