Tantangan Serius Cybercrime

Jum'at, 04 September 2015 - 08:38 WIB
Tantangan Serius Cybercrime
Tantangan Serius Cybercrime
A A A
Kompetensi dan kapabilitas polisi serta intelijen negara harus ditingkatkan agar mampu merespons penetrasi sindikat kejahatan dunia maya atau cybercrime, sindikat narkotika internasional, hingga pelaku terorisme lokal.

Respons pada tiga kejahatan tersebut tidak boleh sambil lalu karena ketahanan nasional menjadi taruhannya. Apalagi, peranwarganegara asing(WNA) cukup dominan. Polisi menggerebek 27 warga negara Taiwan di sebuah rumah di Jalan Sentra Duta Raya, Bandung, Rabu, 26 Agustus 2015 dini hari. Bersama tiga WNI, 27 WNA itu terlibat kejahatan narkoba, cybercrime, dan imigrasi. Polisi menyita 2,5 gram sabu.

Di Bali polisi setempat juga menangkap 48 WNA. Selain dokumen imigrasi mereka bermasalah, puluhan WNA itu juga diduga terlibat cybercrime. Selama paruh pertama 2015, Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM mencatat 300 kasus WNA pelaku cybercrime.

Sejauh ini para pelaku hanya menjadikan Indonesia sebagai basis operasi karena mereka mengincar pebisnis WNA juga. Cybercrime dengan pelaku WNA, utamanya dari China dan Taiwan, pernah terungkap pada Juni 2011, saat polisi menangkap 73 WN China dan 97 WN Taiwan di Jabodetabek. Pada Desember 2012 polisi lagi-lagi menangkap70 orang China danTaiwan di Jakarta Barat karena terlibat cybercrime.

Kota Medan dan Surabaya pun tak luput dari serbuan pelaku cybercrime asal China dan Taiwan. Rangkaian contoh kasus tadi memberi gambaran tentang gejala peningkatan cybercrime pada sejumlah kota besar di Indonesia. Seperti kejahatan narkotika dan terorisme, institusi penegak hukum di Indonesia harus segera beradaptasi dengan modus kejahatan yang satu ini agar tidak kedodoran.

Catatan dan data pada rangkaian contoh kasus tadi menunjukkan bahwa penegak hukum seperti kedodoran sebab baru bisa menindak, tetapi belum mampu mencegah. Untungnya, sejauh ini belum ada keluhan warga lokal yang merasa dirugikan akibat cybercrime oleh WNA. Namun, tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari.

Karena itu, untuk memberi perlindungan maksimal kepada masyarakat, kompetensi dan kapabilitas polisi serta intelijen negara patut ditingkatkan. Institusi penegak hukum harus mampu menangkal kejahatan yang memanfaatkan komputer dan jaringan internet. Cybercrime di Indonesia diprediksi semakin marak pada tahun-tahun mendatang.

Indonesia yang demikian terbuka, apalagi menyandang status emerging market, memang menghadirkan sejumlah konsekuensi. Salah satunya tingginya intensitas arus keluar-masuk WNA untuk berbagai keperluan. Ambil contoh pada arus keluar-masuk WNA asal China. Partisipasi China dalam pembangunan proyek kelistrikan 35.000 megawatt di Indonesia diperkirakan menghadirkan jutaan pekerja asal China yang akanbekerja di sejumlah daerah.

Konsekuensi yang sama pun akan terjadi jika baik China atau Jepang memenangkan tender pembangunan high speed train jalur Jakarta-Bandung. Kalau proyek infrastruktur strategis lain yang didanai investor asing bisa direalisasikan dalam jangka dekat ini, belasan juta pekerja WNA akan hilir mudik.

Jika polisi dan intelijen negara tidak kompeten merespons cybercrime, akan terbangun persepsi negatif di benak WNA yang bermukim di sini. Mereka merasa menjadi target sasaran yang sangat mudah bagi pelaku cybercrime. Lagi pula, layak untuk diasumsikan bahwa cybercrime yang saat ini dilakukan oleh WNA akan menginspirasi para pelaku tindak kriminal di dalam negeri.

Bukankah modus kejahatan yang relatif baru identik dengan virus yang mudah menyebar dan menjangkiti banyak orang? Tak berapa lama lagi, bukan tidak mungkin cybercrime akan semakin marak dipraktikkan pelaku tindak kriminal di dalam negeri.

Jangan Terlambat

Menurut perusahaan pengamanan perangkat lunak, Trend Micro, saat ini sedang terjadi evolusi di dunia cybercrime. Tak hanya metode, tetapi juga sarana, prasarana, serta target sasaran. Potensi ancaman terus berkembang dan makin dahsyat karena semakin canggih dan kreatifnya pelaku cybercrime.

Trend Micro juga mengingatkan bahwa pelaku cybercrime kini merambah hingga ke pemanfaatan perangkat lunak bug untuk meretas pesawat terbang, kendaraan pintar, hingga acara stasiun televisi. Karena itu, menjadi sangat relevan jika pemerintah dan penegak hukum perlu memberi perhatian khusus terhadap perkembangan cybercrime era terkini dan masa depan.

Langkah yang antisipatif sangat diperlukan agar keterlambatan Indonesia dalam kasus merespons penetrasi sindikat narkotika internasional dan terorisme tidak berulang. Akibat keterlambatan itu, pelaku teror lokal terus bertumbuh, sementara sindikat kejahatan narkotika internasional nyaris tak pernah jera menyelundupkan barangbarang haram itu ke Indonesia.

Banyak indikator atau peristiwa yang menggambarkan tingginya intensitas terorisme lokal. Tim Gegana Polda Metro Jaya, Sabtu (29/8) sekitar pukul 10.00 WIB meledakkan sebuah benda mencurigakan. Benda yang diduga bom itu terbungkus plastik, diletakkan di pinggir jalan Kalimalang, Jakarta Timur. Sebelumnya terjadi ledakan bom berdaya ledak rendah di Mal Alam Sutera, Tangerang, Kamis (9/7).

Jelang akhir Februari 2015, Mal ITC Depok juga diguncang ledakan bom rakitan. Arus penyelundupan narkoba pun terbilang cukup tinggi. Kamis (27/8), Bea Cukai dan Polres Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, menggagalkan penyelundupan 94 kilogram sabusabu oleh empat WNA asal China. Juga disita 112.189 butir pil ekstasi serta 300 kilogram soda api yang dikemas dalam 63 kardus.

Beberapa hari sebelumnya, tepatnya Senin (24/8), petugas di Bandara Sultan Iskandar Muda, Blangbintang, Aceh Besar, menggagalkan penyeludupan sabu-sabu dari Malaysia seberat 638 gram. Intensitas penyelundupan narkoba via bandara terbilang sangat tinggi. Pihak berwenang Bandara Soetta telah menggagalkan lima penyelundupan narkoba pada periode 27 Januari-18 Februari 2015.

Barang bukti dari lima kasus itu meliputi 10.513 gram bruto methamphetamine dan 60 gram bruto ketamine seharga Rp14,26 miliar. Penyelundupan dan perdagangan narkoba di dalam negeri mulai marak ketika semua institusi penegak hukum membiarkan anggota sindikat narkotika internasional dari sejumlah negara di Afrika, utamanya Nigeria, leluasa masuk dan membangun sel-sel jaringan mereka di sejumlah kota pada akhir dasawarsa 90-an.

Anggota sindikat narkoba itu masuk Indonesia berkedok pedagang atau wisatawan. Di Jakarta misalnya para wisatawan kulit hitam itu lebih suka memilih hotel murah atau rumah penginapan di kawasan Tanah Abang serta Petamburan, Jakarta Pusat. Mereka kemudian membangun jaringan dengan melakukan pendekatan kepada warga yang mereka temui di mana saja, termasuk perempuan.

Pada masa itu narkoba bisa ditransaksikan di gang-gang permukiman warga Jakarta. Baru pada 2003, Badan Narkotika Nasional (BNN) meminta Departemen Luar Negeri memperketat pemberian visa kepada wisatawan asing warga kulit hitam, terutama asal Nigeria.

Namun, pengetatan itu tidak efektif menurunkan intensitas penyelundupan dan perdagangan narkoba di dalam negeri karena sel-sel jaringan sindikat sudah melebar ke mana-mana. BNN mengungkapkan, kurang lebih 100 orang kurir narkoba jaringan internasional Nigeria merupakan perempuan Indonesia.

Kecenderungan ini terbaca dari jumlah perempuan Indonesia yang ditangkap di Filipina, Peru, Kolombia, Bangkok, Tokyo, dan sejumlah negara lain. Berdasarkan catatan dan semua kecenderungan tadi, perlu dibangun kesadaran bersama bahwa penetrasi pelaku cybercrime dan sindikat narkotika internasional masih menjadi tantangan yang teramat serius.

Begitu juga terorisme karena taruhannya adalah ketahanan nasional. Semoga pemerintah dan semua institusi penegak hukum tidak meremehkan potensi ancaman ini.

BAMBANG SOESATYO
Anggota Komisi III DPR RI/Ketua Bidang Pertahanan dan Keamanan Pengurus Pusat FKPPI 2015-2020
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0892 seconds (0.1#10.140)