RUU KUHP Bisa Timbulkan Kekacauan Hukum

Rabu, 02 September 2015 - 05:10 WIB
RUU KUHP Bisa Timbulkan Kekacauan Hukum
RUU KUHP Bisa Timbulkan Kekacauan Hukum
A A A
JAKARTA - Komisi III DPR menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang disodorkan pemerintah dapat menimbulkan kekacauan hukum di Indonesia.

Pandangan itu mengemuka dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi III dengan tiga pakar hukum pidana yakni, Andi Hamzah, Yenti Ganarsih dan Ronny Nitikasbara di ruang rapat Komisi III, Kompleks Senayan, Jakarta, Selasa 1 September 2015.

Anggota Komisi III dari Fraksi PKS M Nasir Djamil menilai, rancangan hukum pidana Indonesia yang disodorkan pemerintah dan sedang dibahas DPR masih tetap terasa dan kental dengan kolonial (Belanda). Indikasi ini terlihat dari model pembukuannya.

Pemerintah membaginya menjadi dua model yakni RUU KUHP dan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Di sisi lain, khusus untuk RUU KUHP, tidak memberikan solusi dari penerapan dan penegakan hukum di Indonesia.

"RUU KUHP ini membuat kekecauan hukum dalam penegakan hukum kita bila melihat dengan UU lainnya. UU terkait tindak pidana terorisme, UU Narkotika, dan UU Tipikor misalnya hanya diambil sebagian. Seolah-olah RUU ini menafikan UU lain itu," kata Nasir menanggapi pemaparan dan pandangan tiga pakar hukum pidana.

Seharusnya RUU KUHP memfasilitasi secara utuh unsur-unsur yang termuat dalam UU lainnya. Selain itu lanjutkan, Pasal 2 dalam RUU KUHP membuka ruang ada tafsir penggunaan hukum lain. Misalnya hukum adat.

Pakar hukum pidana Yenti Ganarsih menuturkan, khusus terkait tindak pidana korupsi memaang ada hal-hal penting yang tidak masuk dalam RUU KUHP. Misalnya persidangan in absentia (tanpa dihadiri terdakwa). Berikutnya, Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) juga harus diperhatikan, karena munculnya Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), transaksi mencurigakan, dan UU TPPU.

"Jadi kalau misalnya UU TPPU dimasukkan, maka itu harus disinkronkan ke KUHP. Jadi UU lainnya harus dimasukan. Misalnya penghinaan terhadap Presiden melalui IT. Saya kira bisa 20 pasal dimasukkan," imbuh Yenti.

Sementara itu Ketua Tim Penyusun RUU KUHP Pemerintah, Andi Hamzah menyatakan pandangan bahwa hukum pidana yang disusun dan dibahas saat ini masih bersifat kolonial pun masih bisa diperdebatkan.

"Bagi saya ada hal yang netral. Pasal pembunuhan misalnya itu sama saja pasal di Belanda, Jepang, dan lainnya. Semua negara sama saja," kata Andi.

Andi menekankan, dalam Pasal 1 ketentuan RUU KUHP menyebutkan, UU ini berlaku bagi UU lainnya. Artinya saat pengesahan nantinya pasal yang menekankan itu harus ada. Sehingga UU lainnya yang berkaitan dengan hukum pidana tidak bisa menafikan UU KUHP.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5387 seconds (0.1#10.140)