Revolusi Mental
A
A
A
Revolusi mental kembali menjadi sorotan. Hal itu terjadi setelah laman Gerakan Nasional Revolusi Mental yang belum lama diluncurkan Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Puan Maharani, www.revolusimental.go.id, down atau tidak bisa diakses.
Kondisi tersebut menjadi gunjingan serius di dunia maya karena ada sejumlah persoalan, di antaranya template situs persis dengan laman kampanye Presiden Amerika Serikat Barack Obama www.barackobama.com dan menggunakan server murahan. Netizen, terutama yang memahami teknologi informasi, mempertanyakan kualitas laman yang menggunakan goverment id, yang merupakan bagian dari program senilai Rp149 miliar.
Terlepas dari perdebatan berapa harga laman tersebut—di internal kementerian pun ada yang bilang Rp20 juta dan Rp200 juta, insiden tersebut telah menjadi buah mulut publik tentang adanya ketidakbenaran dan ketidakjujuran di balik pembuatan situs. Sinisme pun menggelombang dan kemudian berujung pada skeptisme akan masa depan revolusi mental?
Pertanyaan pun menyeret untuk apa anggaran sebesar Rp149 miliar? Sejak digulirkan dan hingga detik ini, revolusi mental yang bertujuan mewujudkan tiga prinsip dasar Trisakti: berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam bidang kebudayaan, masih sebatas konsep abstrak yang sulit dipahami khalayak.
Pun bagaimana strategi implementasinya. Sebagian besar publik memahami konsep tersebut secara literal, yakni suatu perubahan mental, cara pandang, sikap, atau perilaku secara cepat dan mendasar. Perubahan mendasar dimaksud tentu sebagai kontradiksi positif dari kondisi sebelumnya.
Dalam hal ini, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus jauh lebih baik dari pemerintahan sebelumnya, terutama era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Perbaikan juga harus lebih cepat dan mendasar, seperti menjadi inti dari konsepsi revolusi. Konsep revolusi mental tersebut ternyata kian mengabur seiring berjalannya waktu.
Satu per satu ketidakkonsistenan muncul, mulai isu kabinet ramping, kabinet profesional, hingga politik nontransaksional. Kaburnya revolusi mental bahkan kini bergeser menjadi skeptisme pada kemampuan pemerintah, khususnya Presiden Jokowi, mengelola negara seiring dengan gejolak perekonomian.
Di tengah kondisi inilah justru muncul sebuah ironi yang menusuk jati diri revolusi mental, yang muncul secara tak terduga bersamaan dengan insiden laman www.revolusimental.go.id. Bagaimana sebuah inisiatif yang sedemikian mulia dikelola orang-orang yang integritasnya diragukan bisa berhasil?
Bagaimana bisa revolusi mental terwujud jika dimulai dengan ketidakbenaran dan ketidakjujuran? Pertanyaan turunan pun patut disampaikan terkait program mercusuar tersebut, seperti apakah bisa gerakan nasional tersebut direduksi hanya pada sebuah mata anggaran?
Jika Jokowi konsisten dengan keinginannya mengembalikan karakter yang menjadi orisinalitas bangsa ini, semestinya Jokowi menengok ajaran Ki Hajar Dewantara: Ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karso, tut wuri handayani atau di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, dan di belakang memberi dorongan.
Dengan demikian, kunci dari perbaikan masyarakat, bangsa, atau apa pun istilahnya berada pada pemimpin. Para pemimpin bangsa inilah yang harus memberi contoh, memberi semangat dan memberi dorongan. Sudahkan Presiden Jokowi memberikan contoh sebuah sikap mencerminkan revolusi mental dalam arti substansial, bukan simbolis atau artifisial?
Sudahkah Menteri PMK Puan Maharani yang memimpin implementasi program revolusi mental menunjukkan kerja keras hingga bisa menjadi panutan masyarakat? Bila ditarik lebih luas, pertanyaan yang sama juga patut ditujukan pada elite partai politik, birokrasi dan aparat negara, dan lainnya.
Bila hal tersebut tidak bisa ditunjukkan, mustahil mereka bisa menggerakkan revolusi mental. Hasil ke depan bisa diduga, revolusi mental akan menjadi revolusi yang mental karena membentur tembok tebal berupa nirteladan kepemimpinan.
Revolusi mental juga akan berubah menjadi revolusi mental karena program tersebut berubah menjadi proyek untuk mengeruk keuntungan. Semoga kekhawatiran tersebut tidak menjadi kenyataan.
Kondisi tersebut menjadi gunjingan serius di dunia maya karena ada sejumlah persoalan, di antaranya template situs persis dengan laman kampanye Presiden Amerika Serikat Barack Obama www.barackobama.com dan menggunakan server murahan. Netizen, terutama yang memahami teknologi informasi, mempertanyakan kualitas laman yang menggunakan goverment id, yang merupakan bagian dari program senilai Rp149 miliar.
Terlepas dari perdebatan berapa harga laman tersebut—di internal kementerian pun ada yang bilang Rp20 juta dan Rp200 juta, insiden tersebut telah menjadi buah mulut publik tentang adanya ketidakbenaran dan ketidakjujuran di balik pembuatan situs. Sinisme pun menggelombang dan kemudian berujung pada skeptisme akan masa depan revolusi mental?
Pertanyaan pun menyeret untuk apa anggaran sebesar Rp149 miliar? Sejak digulirkan dan hingga detik ini, revolusi mental yang bertujuan mewujudkan tiga prinsip dasar Trisakti: berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam bidang kebudayaan, masih sebatas konsep abstrak yang sulit dipahami khalayak.
Pun bagaimana strategi implementasinya. Sebagian besar publik memahami konsep tersebut secara literal, yakni suatu perubahan mental, cara pandang, sikap, atau perilaku secara cepat dan mendasar. Perubahan mendasar dimaksud tentu sebagai kontradiksi positif dari kondisi sebelumnya.
Dalam hal ini, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus jauh lebih baik dari pemerintahan sebelumnya, terutama era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Perbaikan juga harus lebih cepat dan mendasar, seperti menjadi inti dari konsepsi revolusi. Konsep revolusi mental tersebut ternyata kian mengabur seiring berjalannya waktu.
Satu per satu ketidakkonsistenan muncul, mulai isu kabinet ramping, kabinet profesional, hingga politik nontransaksional. Kaburnya revolusi mental bahkan kini bergeser menjadi skeptisme pada kemampuan pemerintah, khususnya Presiden Jokowi, mengelola negara seiring dengan gejolak perekonomian.
Di tengah kondisi inilah justru muncul sebuah ironi yang menusuk jati diri revolusi mental, yang muncul secara tak terduga bersamaan dengan insiden laman www.revolusimental.go.id. Bagaimana sebuah inisiatif yang sedemikian mulia dikelola orang-orang yang integritasnya diragukan bisa berhasil?
Bagaimana bisa revolusi mental terwujud jika dimulai dengan ketidakbenaran dan ketidakjujuran? Pertanyaan turunan pun patut disampaikan terkait program mercusuar tersebut, seperti apakah bisa gerakan nasional tersebut direduksi hanya pada sebuah mata anggaran?
Jika Jokowi konsisten dengan keinginannya mengembalikan karakter yang menjadi orisinalitas bangsa ini, semestinya Jokowi menengok ajaran Ki Hajar Dewantara: Ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karso, tut wuri handayani atau di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, dan di belakang memberi dorongan.
Dengan demikian, kunci dari perbaikan masyarakat, bangsa, atau apa pun istilahnya berada pada pemimpin. Para pemimpin bangsa inilah yang harus memberi contoh, memberi semangat dan memberi dorongan. Sudahkan Presiden Jokowi memberikan contoh sebuah sikap mencerminkan revolusi mental dalam arti substansial, bukan simbolis atau artifisial?
Sudahkah Menteri PMK Puan Maharani yang memimpin implementasi program revolusi mental menunjukkan kerja keras hingga bisa menjadi panutan masyarakat? Bila ditarik lebih luas, pertanyaan yang sama juga patut ditujukan pada elite partai politik, birokrasi dan aparat negara, dan lainnya.
Bila hal tersebut tidak bisa ditunjukkan, mustahil mereka bisa menggerakkan revolusi mental. Hasil ke depan bisa diduga, revolusi mental akan menjadi revolusi yang mental karena membentur tembok tebal berupa nirteladan kepemimpinan.
Revolusi mental juga akan berubah menjadi revolusi mental karena program tersebut berubah menjadi proyek untuk mengeruk keuntungan. Semoga kekhawatiran tersebut tidak menjadi kenyataan.
(bhr)