Politik Praktis NU?

Jum'at, 28 Agustus 2015 - 08:48 WIB
Politik Praktis NU?
Politik Praktis NU?
A A A
Hiruk-pikuk Muktamar Ke-33 NU di Jombang yang penuh drama dan ketegangan telah usai beberapa waktu lalu. Kang Said kembali terpilih untuk memimpin NU limatahunkedepan, 2015- 2020.

Di dalam jajaran pengurus PBNU yang telah disusun dan diumumkan minggu lalu, ada upaya untuk mengakomodasi kepentingan kelompok-kelompok yang bersaing keras di muktamar. Kekhawatiran akan pecahnya NU pascamuktamar direspons dengan sikap akomodatif sebagaimana direfleksikan di dalam susunan kepengurusan PBNU.

Anak-anak muda NU juga diakomodasi di dalamnya. Yang lebih menarik, sederet nama tokoh muslimat juga masuk di dalam jajaran a’wan atau Dewan Pakar NU. Istri almarhum Gus Dur dan istri almarhum Mbah Sahal adalah dua dari tujuh tokoh perempuan di dalam jajaran Dewan Pakar PBNU kali ini.

Upaya-upaya yang dilakukan oleh tim formatur pengurus PBNU ini haruslah diapresiasi sebagai sebuah langkah penting untuk memastikan bahwa jam’iyyah diniyah Nahdlatul Ulama tetap bersatu di tengah keberagaman dan relevan dengan dinamika bangsa. Akomodasi yang terjadi di dalam kepengurusan PBUNU kali ini tidak berhenti kepada pelibatan dan pemilihan individu- individu sebagaimana disebutkan.

Tetapi, politisi NU dari berbagai partai juga dikomodasi di dalam jajaran kepengurusan PBNU. Ada unsur dari Golkar, PPP, Gerindra, dan PKB. Kepengurusan NU tidak dimonopoli oleh aktivis partai tertentu saja dan keberadaan mereka sebagai pengurus PBNU adalah hak mereka sebagai warga NU untuk berkhidmat bagi umat.

Di sinilah polemik mulai muncul tentang apakah NU akan berpolitik praktis dengan keterlibatan anasir partai di dalam kepengurusan PB NU kali ini dan menggerus khitah netralitas NU dari politik praktis ataukah ini strategi jitu NU dalam berpolitik dan memperkokoh politik nasional dan konsolidasi demokrasi?

Jam’iyyah Diniyah atau Gerakan Politik?

Tanggal 31 Januari 1926 adalah tonggak sejarah formal NU ketika Mbah Hasyim Asy’ari bersama beberapa ulama sepaham seperti Mbah Wahab Hasbullah serta ulama-ulama pesantren lainnya mendaftarkan NU sebagai sebuah organisasi sosial keagamaan di Surabaya.

Menurut Choirul Anam (1985), pendirian NU ini hanyalah penegasan formal dari mekanisme informal para ulama sepaham untuk mempertahankan dan memantapkan tradisi Ahlussunnah wal Jamaah di Nusantara.

Bentuk jam’iyyah diniyah (organisasi sosial keagamaan) dipilih sebagai sebuah pilihan yang dianggap strategis menurut konteks waktu itu, terutama berkaitan dengan upaya menjaga keberlangsungan jamaah tradisional berhadapan dengan arus paham pembaharuanIslam, yangketika itu telah terlembaga.

Selain itu, NU juga mempunyai arti penting dalam konteks perjuangan kemerdekaan dari penjajahan kolonial waktu itu. Adalah sesuatu yang tidak bisa dibantah bahwa perlawanan terhadap penjajah kolonial sangat erat kaitannya antara wacana keagamaan dan politik. Perang Diponegoro, Perang Padri, perlawanan rakyat Aceh, hanyalah beberapa contoh tentang fakta ini.

Dalam catatan Zuhri (1980), dorongan atau motivasi didirikan NU adalah murni karena kesadaran bertanggung jawab kepada Islam, kepada umat Islam, dan kepada Tanah Air. Identitas keagamaan dijadikan dasar bagi upaya pencapaian kemerdekaan politik. Inilah yang sebenarnya terjadi ketika NU didirikan. Sangatlah wajar bila kemudian pada zaman kemerdekaan, NU mentransformasikan diri menjadi partai politik.

Ini sebuah proses yang tidak lepas dari konteks perjalanan sejarah NU sendiri ketika bergabung ke dalam Majlisul Islam A’la Indonesia (MIAI) pada 1939. Meski MIAI secara umum bergerak di bidang keagamaan, setiap aktivitas MIAI sarat dengan muatan politik.

Khitah

Hasil muktamar Situbondo 1984 banyak dimaknai sebagai upaya NU untuk ”meninggalkan gelanggang politik praktis sama sekali” dan kembali ke Khitah 1926: jamiyyah diniyah. Apakah benar demikian?

Keputusan Muktamar NU No 01/MNU-27/1984 antara lain berbunyi: ”Dalam kurun waktu yang cukup lama, secara tidak disadari Nahdlatul Ulama telah menjadi kurang peka dalam menanggapi perkembangan keadaan, khususnya yang menyangkut kepentingan umat dan bangsanya. Salah satu sebab ialah keterlibatan yang berlebihan dalam kegiatan politik praktis ...”

Karim (1995) menyatakan bahwa pemakaian kata ”berlebihan” di dalam konsideran putusan ini tentu bukan tanpa makna. Pemulihan Khitah 1926 bukanlah dimaknai sebagai ”sama sekali turun dari pentas politik”, melainkan meminimalkan keterlibatan ”yang berlebihan” dalam politik yang telah menyebabkan terbengkalainya kepentingan umat karena kesibukan para tokoh NU berpolitik praktis.

Karena itu, keputusan muktamar ini harus dimaknai sebagai toleransi keterlibatan NU di dalam politik praktis sejauh tidak berlebihan dan didedikasikan kepada ”kepentingan umat dan bangsa”. NU tetap boleh berpolitik, tetapi tidak boleh berlebihan. Jadi, bila muncul politik ketika kepengurusan NU kali ini banyak diisi oleh wajah-wajah politisi NU dari berbagai partai (tentunya dengan bermacam kepentingan), ini tidak serta-merta menyalahi semangat dan sejarah NU.

Muktamar Situbondo juga tidak melarang NU berpolitik praktis. Mengendalikan NU supaya tidak dibawa berpolitik sebagaimana diungkapkan oleh Kang Said menjadi sesuatu menarik untuk diperhatikan dalam lima tahun ke depan.

Bisa jadi, kebinekaan di dalam PBNU kali ini justru akan membuat NU menjadi jam’iyah yang lebih moderat dan toleran dan bermanfaat bagi warga NU, bangsa, dan bahkan dunia sebagaimana yang digaungkan oleh Islam Nusantara. Wallahua’lam.

AHMAD QISA’I
Dosen Progr am Pascasarjana Universitas Paramadina
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0610 seconds (0.1#10.140)