Saatnya Mandiri Olah Kekayaan
A
A
A
Alpin Hardiansah
Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Adab dan Humaniora
Indonesia sebagai negara yang terletak di garis khatulistiwa, kekayaannya sungguh sangat luar biasa.
Semua yang dibutuhkan negara-negara di dunia hampir seluruhnya ada di negeri ini, seperti hasil pertanian, perkebunan, minyak, gas, mineral, tambang.
Akan tetapi, kekayaan itu tidak lantas membuat Indonesia bertengger di puncak daftar negara-negara dengan PDB terbesar di dunia. Atau kekayaan itu juga tidak membuat rakyatnya bahagia, bila menyandarkan pada hasil survei Gross National Happiness (GNH) yang dilakukan lembaga internasional. Kekayaan yang semestinya dinikmati rakyat pada praktiknya justru lebih banyak dinikmati asing.
Bukan hanya dinikmati, namun juga dikuasai asing. Sebut saja ladang-ladang kaya minyak, seperti Blok Cepu dan Blok Mahakam, yang masing-masing dikelola perusahaan raksasa asal AS, ExxonMobil, di mana pendapatannya saja mengalahkan PDB negeri ini, dan kemudian perusahaan minyak asal Prancis, Total. Perusahaan-perusahaan itu telah lama sekali mengolah dan menikmati kekayaan negeri ini, khususnya dalam hal perminyakan. Setali tiga uang dengan perminyakan, kekayaan tambang Indonesia pun kondisinya tak jauh berbeda. PT Freeport adalah aktornya.
Perusahaan tambang yang juga asal AS itu juga telah lama mengeruk kekayaan Indonesia yang ada di Bumi Cenderawasih. Anehnya, walau PT Freeport sering bermasalah, pemerintah tetap memberikan Freeport kebebasan. Yang terbaru, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), akhirnya memberikan rekomendasi perpanjangan izin ekspor konsentrat tembaga untuk enam bulan ke depan kepada PT Freeport. Kebijakan itu melengkapi kebijakan sebelumnya, yakni memperpanjang izin operasi hingga 20 tahun ke depan.
Belum lagi izin operasi kontrak karya (KK) akan diubah menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) yang memungkinkan PT Freeport untuk mengeruk kekayaan negeri ini hingga 20 tahun. Jadi, jika ditotal, Bumi Papua akan terus dikeruk kekayaannya hingga 2055 mendatang. Cita-cita kemandirian dan penguasaan sendiri kekayaan tambang milik rakyat pun makin terasa jauh dan memudar, padahal sudah sejak lama rakyat mengidamidamkan kemandirian bangsa ini terhadap kekayaannya sendiri.
Jika melihat keadaan bangsa sekarang, kini saat yang tepat untuk mengambil alih lokasi-lokasi tambang minyak, emas, dan gas, mengingat bangsa ini dirasa telah mampu untuk melakukannya. Semoga dengan momentum peringatan 70 tahun kemerdekaan Indonesia, pemerintah berpikir ulang mengenai keseriusannya mengolah kekayaan negeri ini secara mandiri.
Dengan begitu, impitan ekonomi yang tengah dirasakan rakyat Indonesia bisa segera terselesaikan dan berubah menjadi kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Adab dan Humaniora
Indonesia sebagai negara yang terletak di garis khatulistiwa, kekayaannya sungguh sangat luar biasa.
Semua yang dibutuhkan negara-negara di dunia hampir seluruhnya ada di negeri ini, seperti hasil pertanian, perkebunan, minyak, gas, mineral, tambang.
Akan tetapi, kekayaan itu tidak lantas membuat Indonesia bertengger di puncak daftar negara-negara dengan PDB terbesar di dunia. Atau kekayaan itu juga tidak membuat rakyatnya bahagia, bila menyandarkan pada hasil survei Gross National Happiness (GNH) yang dilakukan lembaga internasional. Kekayaan yang semestinya dinikmati rakyat pada praktiknya justru lebih banyak dinikmati asing.
Bukan hanya dinikmati, namun juga dikuasai asing. Sebut saja ladang-ladang kaya minyak, seperti Blok Cepu dan Blok Mahakam, yang masing-masing dikelola perusahaan raksasa asal AS, ExxonMobil, di mana pendapatannya saja mengalahkan PDB negeri ini, dan kemudian perusahaan minyak asal Prancis, Total. Perusahaan-perusahaan itu telah lama sekali mengolah dan menikmati kekayaan negeri ini, khususnya dalam hal perminyakan. Setali tiga uang dengan perminyakan, kekayaan tambang Indonesia pun kondisinya tak jauh berbeda. PT Freeport adalah aktornya.
Perusahaan tambang yang juga asal AS itu juga telah lama mengeruk kekayaan Indonesia yang ada di Bumi Cenderawasih. Anehnya, walau PT Freeport sering bermasalah, pemerintah tetap memberikan Freeport kebebasan. Yang terbaru, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), akhirnya memberikan rekomendasi perpanjangan izin ekspor konsentrat tembaga untuk enam bulan ke depan kepada PT Freeport. Kebijakan itu melengkapi kebijakan sebelumnya, yakni memperpanjang izin operasi hingga 20 tahun ke depan.
Belum lagi izin operasi kontrak karya (KK) akan diubah menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) yang memungkinkan PT Freeport untuk mengeruk kekayaan negeri ini hingga 20 tahun. Jadi, jika ditotal, Bumi Papua akan terus dikeruk kekayaannya hingga 2055 mendatang. Cita-cita kemandirian dan penguasaan sendiri kekayaan tambang milik rakyat pun makin terasa jauh dan memudar, padahal sudah sejak lama rakyat mengidamidamkan kemandirian bangsa ini terhadap kekayaannya sendiri.
Jika melihat keadaan bangsa sekarang, kini saat yang tepat untuk mengambil alih lokasi-lokasi tambang minyak, emas, dan gas, mengingat bangsa ini dirasa telah mampu untuk melakukannya. Semoga dengan momentum peringatan 70 tahun kemerdekaan Indonesia, pemerintah berpikir ulang mengenai keseriusannya mengolah kekayaan negeri ini secara mandiri.
Dengan begitu, impitan ekonomi yang tengah dirasakan rakyat Indonesia bisa segera terselesaikan dan berubah menjadi kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
(ars)