Rizal Ragukan Garuda
A
A
A
Suhu di lingkungan Kabinet Kerja sempat memanas setelah pelantikan pejabat kementerian hasil reshuffle. Adalah Menteri Koordinator (Menko) bidang Kemaritiman Rizal Ramli yang sengaja memantik suhu panas tersebut.
Mantan menteri koordinator bidang perekonomian era Presiden Gus Dur itu mengorek soal pembelian pesawat Garuda Indonesia. Maskapai penerbangan pelat merah itu diminta membatalkan pembelian pesawat Airbus A350 dengan mengganti pesawat yang kelasnya lebih rendah, yakni Airbus A320, karena dinilai lebih efisien.
Selain Garuda, Menko Bidang Kemaritiman yang baru dilantik itu juga membuat merah muka para pejabat yang mengurusi proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Rizal Ramli sebelum masuk dalam lingkaran kekuasaan memang termasuk salah seorang yang getol mengkritik kinerja pemerintah.
Pembangunan proyek kereta cepat yang diwarnai polemik dilingkungan pemerintah itu karena adanya duainvestoryang bersaing ketat, yakni dari China dan Jepang. Menurut Rizal Ramli, yang mengaku mendapat informasi langsung dari Presiden Jokowi, ada pejabat yang bermain. Pernyataan kontroversial Menko Bidang Kemaritiman itu langsung disambar Menteri BUMN Rini Soemarno.
Persoalan bisnis Garuda, sebagaimana ditegaskan Rini, janganlah dicampuri oleh pihak lain selain Kementerian Koordinator(Kemenko) Bidang Perekonomian di mana Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bertindak sebagai pemegang saham dan Kementerian BUMN sebagai kuasa pemegang saham. ”Garuda jelas dibawah Kemenko Bidang Perekonomian, bukan dibawah Kemenko Bidang Kemaritiman. Jadi, jangan ada yang mencampuri Garuda di luar Kemenko Bidang Perekonomian,” tolak Rini.
Bahkan lebih jauh lagi wanita yang sempat menjabat menteri perindustrian pada zaman Presiden Megawati Soekarnoputri itu mempertanyakan pernyataan Menko Bidang Kemaritiman yang mendesak Garuda membatalkan pembelian pesawat. Karena itu, Rini yang dikenal sangat dekat dengan Presiden Jokowi meminta Rizal Ramli yang baru bergabung di Kabinet Kerja untuk tidak berbicara tanpa dasar. Apalagi, maskapai nasional ini adalah perusahaan publik yang harus bertanggung jawab kepada masyarakat, terutama kepada para pemegang saham Garuda.
Sebelumnya, Garuda Indonesia telah memesan 90 pesawat senilai USD20 miliar atau setara Rp266 triliun pada kurs Rp13.300 per dolar AS sebagai rekor terbesar dalam pembelian selama ini. Ada 60 unit Boeing dengan rincian 30 unit B787-900 Dreamliners dan B373 MAX 8 senilai USD10,9 miliar dan 30 unit Airbus A350 XWB senilai USD9 miliar.
Pembelian pesawat itu, sebagaimana diungkapkan Direktur Utama Garuda Indonesia Arif Wibowo, sebagai bagian dari program revitalisasi Garuda untuk memperluas jaringan global, terutama untuk terbang ke Eropa. Namun, alasan manajemen Garuda membeli pesawat baru yang berukuran besar untuk rute penerbangan jarak jauh di mata Rizal Ramli justru akan memberatkan perusahaan.
Rute internasional, terutama tujuan Eropa, selalu merugi karena tingkat keterisiannya hanya 30%. Sehubungan itu, Rizal Ramli meminta Garuda membatalkan pembelian pesawat Airbus A350 dengan mengganti menjadi Airbus A320 demi memperkuat rute domestik dan regional Asia. Rupanya Rizal Ramli mengaku punya hubungan emosional dengan maskapai pemerintah itu.
Saat Rizal menjabat menteri koordinator bidang perekonomian Garuda nyaris bangkrut karena tak mampu bayar utang kepada konsorsium bank Eropa sebesar USD1,8 miliar. Para kreditor mengancam akan menyita semua pesawat Garuda. Rizal tidak tinggal diam dengan mengirim surat menuntut balik konsorsium bank Eropa karena menerima bunga dari kredit dengan ekstra 50%, konsorsium pun memilih damai. Dan, komisaris Bank BNI itu tak ingin peristiwa serupa terulang lagi.
Di satu sisi kekhawatiran Rizal Ramli tak bisa dilihat sebelah mata. Namun, sangat disayangkan cara mengomunikasikan masalah itu justru mempertontonkan kelemahan koordinasi pemerintah di mata publik. Di sisi lainnya, reaksi Menteri BUMN Rini Soemarno menanggapi masalah itu dengan sangat responsif seperti menunjukkan ada sesuatu yang tak beres dalam pembelian pesawat Garuda.
Seharusnya kedua pembantu Presiden itu duduk baik-baik membicarakan masalah Garuda. Namun, apa boleh buat persoalan itu sudah menjadi konsumsi publik yang mencerminkan bahwa para pembantu Presiden tidak kompak.
Mantan menteri koordinator bidang perekonomian era Presiden Gus Dur itu mengorek soal pembelian pesawat Garuda Indonesia. Maskapai penerbangan pelat merah itu diminta membatalkan pembelian pesawat Airbus A350 dengan mengganti pesawat yang kelasnya lebih rendah, yakni Airbus A320, karena dinilai lebih efisien.
Selain Garuda, Menko Bidang Kemaritiman yang baru dilantik itu juga membuat merah muka para pejabat yang mengurusi proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Rizal Ramli sebelum masuk dalam lingkaran kekuasaan memang termasuk salah seorang yang getol mengkritik kinerja pemerintah.
Pembangunan proyek kereta cepat yang diwarnai polemik dilingkungan pemerintah itu karena adanya duainvestoryang bersaing ketat, yakni dari China dan Jepang. Menurut Rizal Ramli, yang mengaku mendapat informasi langsung dari Presiden Jokowi, ada pejabat yang bermain. Pernyataan kontroversial Menko Bidang Kemaritiman itu langsung disambar Menteri BUMN Rini Soemarno.
Persoalan bisnis Garuda, sebagaimana ditegaskan Rini, janganlah dicampuri oleh pihak lain selain Kementerian Koordinator(Kemenko) Bidang Perekonomian di mana Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bertindak sebagai pemegang saham dan Kementerian BUMN sebagai kuasa pemegang saham. ”Garuda jelas dibawah Kemenko Bidang Perekonomian, bukan dibawah Kemenko Bidang Kemaritiman. Jadi, jangan ada yang mencampuri Garuda di luar Kemenko Bidang Perekonomian,” tolak Rini.
Bahkan lebih jauh lagi wanita yang sempat menjabat menteri perindustrian pada zaman Presiden Megawati Soekarnoputri itu mempertanyakan pernyataan Menko Bidang Kemaritiman yang mendesak Garuda membatalkan pembelian pesawat. Karena itu, Rini yang dikenal sangat dekat dengan Presiden Jokowi meminta Rizal Ramli yang baru bergabung di Kabinet Kerja untuk tidak berbicara tanpa dasar. Apalagi, maskapai nasional ini adalah perusahaan publik yang harus bertanggung jawab kepada masyarakat, terutama kepada para pemegang saham Garuda.
Sebelumnya, Garuda Indonesia telah memesan 90 pesawat senilai USD20 miliar atau setara Rp266 triliun pada kurs Rp13.300 per dolar AS sebagai rekor terbesar dalam pembelian selama ini. Ada 60 unit Boeing dengan rincian 30 unit B787-900 Dreamliners dan B373 MAX 8 senilai USD10,9 miliar dan 30 unit Airbus A350 XWB senilai USD9 miliar.
Pembelian pesawat itu, sebagaimana diungkapkan Direktur Utama Garuda Indonesia Arif Wibowo, sebagai bagian dari program revitalisasi Garuda untuk memperluas jaringan global, terutama untuk terbang ke Eropa. Namun, alasan manajemen Garuda membeli pesawat baru yang berukuran besar untuk rute penerbangan jarak jauh di mata Rizal Ramli justru akan memberatkan perusahaan.
Rute internasional, terutama tujuan Eropa, selalu merugi karena tingkat keterisiannya hanya 30%. Sehubungan itu, Rizal Ramli meminta Garuda membatalkan pembelian pesawat Airbus A350 dengan mengganti menjadi Airbus A320 demi memperkuat rute domestik dan regional Asia. Rupanya Rizal Ramli mengaku punya hubungan emosional dengan maskapai pemerintah itu.
Saat Rizal menjabat menteri koordinator bidang perekonomian Garuda nyaris bangkrut karena tak mampu bayar utang kepada konsorsium bank Eropa sebesar USD1,8 miliar. Para kreditor mengancam akan menyita semua pesawat Garuda. Rizal tidak tinggal diam dengan mengirim surat menuntut balik konsorsium bank Eropa karena menerima bunga dari kredit dengan ekstra 50%, konsorsium pun memilih damai. Dan, komisaris Bank BNI itu tak ingin peristiwa serupa terulang lagi.
Di satu sisi kekhawatiran Rizal Ramli tak bisa dilihat sebelah mata. Namun, sangat disayangkan cara mengomunikasikan masalah itu justru mempertontonkan kelemahan koordinasi pemerintah di mata publik. Di sisi lainnya, reaksi Menteri BUMN Rini Soemarno menanggapi masalah itu dengan sangat responsif seperti menunjukkan ada sesuatu yang tak beres dalam pembelian pesawat Garuda.
Seharusnya kedua pembantu Presiden itu duduk baik-baik membicarakan masalah Garuda. Namun, apa boleh buat persoalan itu sudah menjadi konsumsi publik yang mencerminkan bahwa para pembantu Presiden tidak kompak.
(bhr)