Kekeringan dan Risiko Ketahanan Pangan

Kamis, 13 Agustus 2015 - 08:12 WIB
Kekeringan dan Risiko...
Kekeringan dan Risiko Ketahanan Pangan
A A A
POSMAN SIBUEA
Guru Besar Ilmu Pangan Unika Santo Thomas Sumatera Utara,
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Sumatera Utara dan Ketua Persatuan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Sumatera Utara

Pemerintah saat ini berupaya keras menanggulangi dampak kekeringan terhadap stabilitas ketahanan pangan.

Pasalnya, musim kemarau tahun ini bakal lebih lama dan diperkirakan awal musim hujan 2015 akan mundur satu sampai dua bulan. Bahkan, di daerah-daerah tertentu, musim kemarau berlangsung hingga Februari 2016. Di sejumlah daerah dampak kekeringan semakin masif.

Di Jawa Tengah, 487 desa di 122 kecamatan di 8 kabupaten dilaporkan dalam siaga darurat kekeringan. Meski hujan sudah mulai turun, bukan berarti musim kemarau berakhir. Kekeringan pun bermuara pada gagal panen. Dampaknya tidak hanya mengancam ketahanan pangan, tetapi juga berpotensi menjadi sumber konflik baru, menetaskan kelaparan dan defisit gizi di tengah warga.

Keterlambatan dalam memobilisasi dan memberikan bantuan akan berakibat makin parahnya penderitaan warga. Penderitaan itulah yang dialami sejumlah warga di Nusa Tenggara Timur dan Puncak Jaya, Papua akibat kelaparan. Gagal panen yang dipicu kemarau panjang bisa menambah jumlah penderita gizi buruk di kalangan anak-anak.

Konsekuensinya, pemerintah harus lebih siap dari tahuntahun sebelumnya menghadapi kekeringan guna mencegah defisit pangan nasional. Koordinasi antarlembaga harus solid dan terpadu untuk penanggulangan. Sekadar menyebut contoh penanggulangan bencana harus terkoordinasi antara pusat dan daerah untuk bergerak cepat menyiapkan bantuan bahan pangan.

Belum Teratasi

Meski Indonesia sudah merdeka 70 tahun, musim kemarau yang acap memantik krisis air di sektor pertanian pangan belum bisa teratasi dengan baik. Bagi petani dan warga miskin di perdesaan, kondisi ini akan menghantam ketahanan ekonomi dan memperburuk kemiskinan warga. Harga bahan pangan dan kebutuhan hidup lainnya semakin mahal.

Kenaikan harga beras yang amat signifikan baru-baru ini dan masuknya berbagai pangan impor secara ilegal mengindikasikan pemerintah telah gagal merevitalisasi pertanian. Implikasinya, kedaulatan pangan sebagai buah revitalisasi pertanian seperti yang diamanatkan UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan belum bisa terwujud dengan baik.

Kedaulatan pangan yang disebutkan sebagai bentuk kemandirian untuk menentukan kebijakan pangan nusantara sesuai dengan potensi sumber daya lokal kini mulai diragukan. Di sisi lain, musim kemarau berkepanjangan akan bermetamorfosa menjadi ”bom waktu” yang menghancurkan kehidupan jika kepedulian pada lingkungan kian menipis.

Fungsinya sebagai sumber kehidupan, menempatkan air tidak lagi sebagai ”komoditas” yang diperdagangkan untuk mencari keuntungan, apalagi memandangnya sebagai objek yang harus dieksploitasi. Penebangan hutan yang makin masif dan tanpa aturan menjadi ancaman serius terhadap pembangunan pertanian dan ketahanan pangan.

Praktik pembangunan ekonomi yang tak berkelanjutan telah menguras sumber daya hutan secara berlebihan yang pada gilirannya mengganggu ketersediaan air untuk sektor pertanian. Kedaulatan pangan semakin jauh dari jangkauan bangsa karena melupakan berbagai faktor pendukung pembangunan pertanian berkelanjutan.

Namun, pemerintah selalu ”bernyanyi” tentang keberhasilan pembangunan pertanian pangan dengan produksi beras yang meningkat setiap tahun. Bahkan produksi gabah kering giling (GKG) dipacu ke angka 75,55 juta ton pada 2015 untuk pencapaian surplus 10 juta ton beras. Peningkatan ini terkesan hanya sebatas wacana politik.

Niat yang seakan-akan berpihak pada peningkatan kesejahteraan petani ini cenderung ambisius di tengah alih fungsi lahan yang kian cepat, minimnya konservasi sumbersumber air untuk pertanian, makin mahalnya harga pupuk dan benih. Pembangunan ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat masih dilakukan setengah hati.

Sepuluh tahun pemerintahan SBY menggulirkan program revitalisasi pertanian, perikanan, kehutanan dan perkebunan supaya negara agraris ini dapat memutus mata rantai pangan impor kini kandas. Revitalisasi yang dilakukan dengan tujuan akhir menyejahterakan petani lokal justru makin meminggirkan sektor pertanian.

Selama ini, sektor pertanian terkesan dipaksakan harus mampu menyediakan beras dengan harga murah guna mengamankan variabel-variabel makro (inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan kemiskinan). Pertanian juga dituntut mendukung sektor industri dengan menyediakan bahan baku murah bagi para pekerja di kota.

Sementara keseriusan pemerintah membangun pertanian yang berdaya saing tinggi untuk mengawal kedaulatan pangan semakin lama kian lemah. Indonesia kini berada di bawah bayang-bayang krisis pangan yang membuat bangsa ini menjadi pangsa pasar pangan global yang empuk dan petani lokal makin miskin.

Namun, yang membuat para pengamat ketahanan pangan takjub adalah produksi beras menurut versi pemerintah selalu di atas kebutuhan konsumsi alias surplus. Badan Pusat Statistik memprediksikan produksi padi 2015 akan meningkat 6,64% atau 75,55 juta ton dibandingkan tahun sebelumnya. Angka ini merupakan yang tertinggi dalam 10 tahun terakhir dengan kenaikan 6,64%.

Produksi padi gabah kering giling 2014 sebanyak 70,85 juta ton atau turun 0,43 juta ton dibanding 2013. Peningkatan produksi 2015 yang signifikan ini seakan-akan mengabaikan sejumlah kendala yang menghambat peningkatan produksi beras.

Membuka Impor

Pola konsumsi masyarakat yang masih berpusat pada beras memaksa pemerintah menutup defisit beras dengan membuka keran impor yang justru memukul harga beras produk domestik. Petani yang sudah lama menjadi objek pembangunan kembali mengalami hidup di bawah bayang-bayang kemelaratan dan kemiskinan. Produk pangan domestik kalah bersaing dengan impor.

Belum lagi aksi penyelundupan beras impor yang merajalela. Sementara itu, harga pupuk yang kian mahal, meningkatnya laju konversi lahan pertanian, dan buruknya penyediaan benih unggul sudah pasti bermuara pada produktivitas padi yang kian melandai. Lahan pertanian pangan kian menyempit dengan laju tahunan konversi yang mencapai rata-rata sekitar 100.000 hektare.

Tanpa diikuti pencetakan sawah baru di luar Jawa, sulit meningkatkan produksi padi signifikan. Manakala konversi lahan terus berlanjut, tidak ada upaya pengawalan yang ketat, fenomena ini akan menetaskan ancaman kelaparan bagi jutaan warga. Asumsinya, 1 hektare lahan yang dikonversi menghilangkan produksi beras 5 ton. Ironisnya, pemerintah selalu menempuh solusi instan dengan ”pemberian” raskin (beras untuk rakyat miskin) manakala terjadi ancaman krisis pangan dan kelaparan.

Pemerintah mengatasi kemiskinan dengan memurahmurahkan harga beras lewat penyediaan raskin, bukan dengan jalan membuka lapangan kerja baru untuk mengatrol daya beli. Padahal untuk hidup sehat supaya tidak dilabeli status gizi buruk, seseorang tidak hanya mengonsumsi makanan berkarbohidrat bernama beras. Ia juga harus makan daging, ikan, telur dan susu untuk sumber protein hewani.

Sekedar menyebut contoh tingkat konsumsi susu di Indonesia hanya 20 tetes per hari dan mengonsumsi telur satu butir per minggu. Krisis pangan masih membayangi perjalanan hidup wong cilik yang berada dalam ruang kemiskinan.

Standar kemiskinan yang sesungguhnya seharusnya disadari pemerintah selalu berimplikasi dengan relasi keterbelakangan, kebodohan, dan ketidakmampuan untuk mengakses kesejahteraan hidup. Hidup miskin tidak hanya berarti defisit pangan (baca: raskin), sandang, dan papan seperti ukuran Orde Lama.

Di tengah zaman yang semakin maju, salah satu indikator hidup miskin ialah ketidakmampuan mengakses informasi lewat pendidikan formal. Mereka terabaikan dan terpinggirkan sehingga tidak berkesempatan untuk berhubungan dengan kehidupan masa depan yang sarat kemajuan ilmu pengetahuan.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9780 seconds (0.1#10.140)