Logika Petahana

Jum'at, 07 Agustus 2015 - 09:42 WIB
Logika Petahana
Logika Petahana
A A A
Dua fenomena penting terjadi jelang pilkada serentak yang bakal digelar pada 9 Desember 2015 nanti.

Pertama adalah adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan upaya membabat berkembangnya gurita dinasti politik yang kini banyak mewarnai daerah di Tanah Air. Kedua, sejumlah daerah harus membuka kembali pendaftaran karena hanya ada satu pasangan calon.

Kedua peristiwa tersebut jika ditelusuri berujung pada satu kesimpulan: kepala daerah petahana (incumbent) yang sudah kuat saat ini akan semakin kuat, dan seterusnya semakin kuat. Selanjutnya bisa diprediksi bahwa dinasti politik akan menggurita karena akan tumbuh dinasti-dinasti baru.

Dinasti politik juga semakin mencengkeram politik lokal karena mereka kian memahami kekuasaan yang mereka pegang bisa dimanfaatkan. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi?

Putusan MK yang mengatakan Pasal 7 huruf r UU Nomor 8/2015 tentang Perubahan UU Nomor 1/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota bertentangan dengan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 telah memberikan basis konstitusi sekaligus moral bagi petahana untuk membangun dinasti politik.

Konstitusi di Tanah Air telah memberikan ruang gerak seluasluasnya bagi mereka untuk membangun dinasti di daerah-daerah, dengan mencalonkan istri, anak, adik, menantu, cucu, dan seterusnya. Itulah fakta demokrasi kita hari ini: tidak ada batasan struktural, apalagi etika, bagi mereka yang ingin membangun dinasti.

Selama mereka bisa membangun dinasti, tidak ada yang salah dengan ambisi mereka. Mengenai banyaknya pilkada yang hanya diikuti calon tunggal menjadi pelajaran empiris bagi siapa pun yang saat ini atau nanti menjadi petahana dan siapa pun yang ingin membangun atau melanggengkan dinasti politik bahwa mempertahankan kekuasaan itu mudah.

Dengan kekuasaan yang ada di tangan, mereka bisa mengendalikan dan mengatur peta dukungan karena memahami bahwa partai politik lokal sejatinya telah dikuasai oligarki politik. Dengan demikian, mereka tidak perlu lagi mendengar suara rakyat, apalagi suara sumbang di bawah, karena sebagian besar partai politik cenderung membangun tembok pemisah dengan rakyat.

Para elite yang menguasai partai politik lokal telah membangun kepentingannya sendiri, entah itu uang, pembagian kekuasaan, atau istilah lain yang lazim dalam perilaku politik kekuasaan. Karena itu, kunci untuk bisa mencengkeramkan kekuasaan lebih dalam adalah cukup memenuhi kepentingan mereka.

Cukup dengan langkah sederhana tersebut, mereka bisa dengan mudah memborong partai politik untuk mengeliminasi munculnya pesaing atau membangun persekongkolan dengan membuat kandidat boneka yang bisa dikendalikan.

Fakta begitu mudahnya petahana mempertahankan kekuasaan dan semakin berkembangnya dinasti politik menunjukkan bahwa para kepala daerah tersebut sangat memahami perilaku aktor atau partai politik lokal tidaklah basa-basi. Seperti disampaikan WA Robson, politik fokus pada upaya mencapai dan mempertahankan kekuasaan.

Atau dalam definisi Harold D Laswell, politik sekadar urusan who gets what, when, and how. Pemahaman atas realitas tersebut kemudian menemukan bentuk utuhnya dengan naluri penguasa yang selalu ingin mempertahankan kekuasaannya. Siapa pun yang telanjur menikmati kursi empuk kekuasaan pasti enggan melepaskan.

Ilustrasinya sederhana, dari atas siapa pun bisa melihat apa pun tampak indah bisa dinikmati; dan kecil-bisa dikendalikan. Siapa tidak mau mendapat kenikmatan dan mempunyai kekuasaan mengendalikan?

Pemahaman akan fakta konstitusi, realitas perilaku politik, dan ambisi manusiawi itulah yang kemudian membentuk logika politik para petahana dan dinasti politik. Karena itu, jangan berharap dinasti politik membatasi gerak politik mereka, apalagi menyerahkan kekuasaan mereka kepada orang lain.

Jangan pula berharap mereka fokus memperhatikan nasib rakyatnya karena merasa cukup mengendalikan partai politiknya. Dan jangan kaget seperti disampaikan KPK dan ICW jika mereka cenderung korup.
(bhr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0751 seconds (0.1#10.140)