Usul Pasal Hina Presiden, Pemerintah Dinilai Membangkang
A
A
A
JAKARTA - Langkah Pemerintah Joko Widodo mengusulkan pasal penghinaan terhadap presiden masuk dalam revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dinilai tidak tepat.
Usulan tersebut dinilai bisa dianggap sebagai pembangkangan terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah menganulir pasal penghinaan terhadap presiden pada 2006 silam.
"Bisa dianggap pembangkangan putusan pengadilan karena sama saja melakukan pengabaian (putusan MK)," ujar Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Parahyangan, Asep Warlan Yusuf kepada Sindonews, Kamis 6 Agustus 2015.
Dia mengatakan, alasan MK membatalkan pasal tersebut karena bertentangan dengan konstitusi, khususnya terkait hak kebebasan menyatakan pendapat. "Saat itu (pada 2006) MK menganggap pasal itu menghambat demokratisasi," ujarnya.
Dia mengatakan apabila pemerintah ingin membuat aturan yang bertujuan menjaga martabat presiden maka harus harus terlebih dahulu menyiapkan perangkat hukumnya.
"Tidak tiba-tiba begitu saja dimasukan dalam KUHP, itu namanya reaksioner," ujarnya. (Baca: Jokowi Pasrahkan Pasal Penghinaan Presiden ke DPR)
Menurut Asep, pemerintah bisa mengawalinya dengan membuat undang-undang yang mengatur tentang lembaga kepresidenan.
Dalam undang-undang tersebut, kata dia, pemerintah bisa memasukan definisi tentang martabat dan kehormatan presiden sebagai pelaksana presiden yang harus dilindungi.
Menurut dia, bisa juga pemerintah membuat UU yang khusus mengatur tentang perlindungan pejabat negara. Dalam UU tersebut, sambung dia, akan ada batasan yang jelas mengenai apa saja yang masuk kategori menghina kehormatan presiden.
"Pelanggaran terhadap kehormatan presiden masuk dalam kejahatan ketatanegaraan, tidak disamakan dengan kriminal biasa," katanya.
Dia menilai pasal penghinaan presiden akan membahayakan demokrasi, apalagi jika diterapkan secara begitu saja tanpa ada alasan-alasan yang logis.
"Pasal penghinaan itu pasal karet, siapa saja yang mengkritik presiden bisa kenal pasal itu," ujarnya.
Dia menyarankan kepada Presiden Joko Widodo dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly untuk terlebih dahulu berkonsultasi dengan para pakar hukum sebelum mengusulkan pasal tersebut.
"Sebelum mengusulkan (pasal penghinaan presiden), coba konsultasi kepada pakar
hukum, misalnya ke Pak Machfud MD, Jimly Asshiddiqie, Saldi Isra," tutur Asep.
PILIHAN:
Jokowi Klaim Pasal Penghinaan Presiden Warisan SBY
Usulan tersebut dinilai bisa dianggap sebagai pembangkangan terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah menganulir pasal penghinaan terhadap presiden pada 2006 silam.
"Bisa dianggap pembangkangan putusan pengadilan karena sama saja melakukan pengabaian (putusan MK)," ujar Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Parahyangan, Asep Warlan Yusuf kepada Sindonews, Kamis 6 Agustus 2015.
Dia mengatakan, alasan MK membatalkan pasal tersebut karena bertentangan dengan konstitusi, khususnya terkait hak kebebasan menyatakan pendapat. "Saat itu (pada 2006) MK menganggap pasal itu menghambat demokratisasi," ujarnya.
Dia mengatakan apabila pemerintah ingin membuat aturan yang bertujuan menjaga martabat presiden maka harus harus terlebih dahulu menyiapkan perangkat hukumnya.
"Tidak tiba-tiba begitu saja dimasukan dalam KUHP, itu namanya reaksioner," ujarnya. (Baca: Jokowi Pasrahkan Pasal Penghinaan Presiden ke DPR)
Menurut Asep, pemerintah bisa mengawalinya dengan membuat undang-undang yang mengatur tentang lembaga kepresidenan.
Dalam undang-undang tersebut, kata dia, pemerintah bisa memasukan definisi tentang martabat dan kehormatan presiden sebagai pelaksana presiden yang harus dilindungi.
Menurut dia, bisa juga pemerintah membuat UU yang khusus mengatur tentang perlindungan pejabat negara. Dalam UU tersebut, sambung dia, akan ada batasan yang jelas mengenai apa saja yang masuk kategori menghina kehormatan presiden.
"Pelanggaran terhadap kehormatan presiden masuk dalam kejahatan ketatanegaraan, tidak disamakan dengan kriminal biasa," katanya.
Dia menilai pasal penghinaan presiden akan membahayakan demokrasi, apalagi jika diterapkan secara begitu saja tanpa ada alasan-alasan yang logis.
"Pasal penghinaan itu pasal karet, siapa saja yang mengkritik presiden bisa kenal pasal itu," ujarnya.
Dia menyarankan kepada Presiden Joko Widodo dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly untuk terlebih dahulu berkonsultasi dengan para pakar hukum sebelum mengusulkan pasal tersebut.
"Sebelum mengusulkan (pasal penghinaan presiden), coba konsultasi kepada pakar
hukum, misalnya ke Pak Machfud MD, Jimly Asshiddiqie, Saldi Isra," tutur Asep.
PILIHAN:
Jokowi Klaim Pasal Penghinaan Presiden Warisan SBY
(dam)