Pragmatisme Partai Politik
A
A
A
Fenomena baru terjadi dalam politik Tanah Air. Sebanyak 12 daerah terpaksa kembali membuka pendaftaran pemilihan kepala daerah (pilkada).
Gara-garanya, hingga batas akhir pendaftaran kandidat yang ditutup pada Rabu (29/7) lalu, hanya ada calon tunggal yang mendaftar. Malahan KPU Kabupaten Bolaang Mongondow Timur, Sulawesi Utara, tidak berhasil menjaring satu pun pasang kandidat. Sesuai aturan UU Pilkada dan PKPU Nomor 12/2015, daerah tersebut harus kembali melakukan sosialisasi dan menggelar pendaftaran ulang. Jika kembali gagal, mereka tidak bisa mengikuti pilkada serentak yang kali pertama digelar dinegeri ini pada 9 Desember nanti, tapi pada pilkada serentak gelombang dua pada 2017.
Kondisi tersebut tentu mengundang pertanyaan: apakah tidak ada lagi calon potensial yang bisa memimpin di daerah tersebut? Sedemikian hebatkah pasangan kandidat yang sudah mendaftar sehingga tidak ada yang berani menyaingi? Atau jika lebih kritis, muncul pertanyaan, ada apakah sehingga partai-partai politik hanya memunculkan satu pasang calon? Terlalu naif jika suatu daerah tidak ada tokoh potensial yang diharapkan bisa memimpin.
Mereka bisa dari kalangan akademik, ormas, birokrasi, atau bahkan dari parpol sendiri. Bahkan, bisa jadi mereka mempunyai leadership , kapasitas, integritas dan sejumlah prasyarat utama yang mesti dimiliki seorang kepala daerah jauh melebihi kandidat yang ada.
Begitu juga terlalu naif jika disimpulkan calon tunggal semuanya incumbent yang diajukan parpol secara beramai-ramai atau calon incumbent yang diusung mayoritas parpol adalah mereka yang berprestasi mengembangkan daerah dan sukses meningkatkan kesejahteraan masyarakat, seperti menjadi tugas pokok mereka.
Barangkali bisa dipahami jika misalnya Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Bupati Banyuwangi Azwar Anas, atau para kepala daerah yang selama ini terbukti membuat terobosan nyata dan bisa dinikmati warganya sehingga memanen segudang prestasi, diusung parpol beramai-ramai untuk maju kembali. Tapi incumbent yang menjadi calon tunggal atau diusung beramai-ramai parpol sebagian besar tidak jelas prestasi dan kontribusi untuk daerahnya.
Karena itu, persoalan utamanya mengarah pada parpol itu sendiri yang memilih pragmatis. Mereka menjadikan orientasi asal menang sebagai basis utama pertimbangan. Fitand propertest yangdigelarhampir semua parpol kehilangan makna, karena pada akhirnya pertimbangan kekuatan uang dan kekuasaan kandidat yang menentukan. Parpol terjebak oligarki karena mengedepankan kepentingan pengurus di atas kepentingan masyarakat.
Dengan demikian, mereka sangat mudah terkooptasi kekuasaan calon incumbent , kemudian ”diborong” menjadi kendaraan mereka, bahkan untuk melanggengkan dinasti politik penguasa-penguasa lokal. Mereka malahan tidak peduli kandidat yang diusungnya terlibat kasus korupsi, pernah menjadi terpidana, atau cacat moral di depan masyarakat.
Elite politik yang memegang kendali parpol pun lupa fungsi parpol seperti disebut para guru ilmu politik dan dalam beragam buku referensi, di antaranya rekrutmen politik, pendidikan politik, penyalur aspirasi politik. Bahkan, fungsi-fungsi tersebut secara nyata sudah diamanatkan konstitusi, seperti disebut dalam Pasal 10 ayat 1 dan 2 UU Nomor 2/2008 tentang Partai Politik.
Jika amanat tersebut dijalankan, mustahil pilkada hanya bisa menjaring satu pasang kandidat kalau pun ada selebihnya boneka karena parpol sudah menelurkan kader andal yang bisa diterima masyarakat. Atau menjaring kandidat dari khalayak yang diinginkan masyarakat, bukan sekadar menjadi bagian sistematis pelanggengan kekuasaan dan dinasti politik. Nyatanya, parpol terlalu asyik menikmati definisi sempit politik, yakni hanya untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan, dan kemudian berhenti pada menikmati kekuasaan yang diraih.
Jika demikian, parpol yang semestinya menjadi tulang punggung pembangunan demokrasi dan bangsa, telah berubah menjadi perusahaan politik yang memperjualbelikan kuasa politik atas nama demokrasi.
Gara-garanya, hingga batas akhir pendaftaran kandidat yang ditutup pada Rabu (29/7) lalu, hanya ada calon tunggal yang mendaftar. Malahan KPU Kabupaten Bolaang Mongondow Timur, Sulawesi Utara, tidak berhasil menjaring satu pun pasang kandidat. Sesuai aturan UU Pilkada dan PKPU Nomor 12/2015, daerah tersebut harus kembali melakukan sosialisasi dan menggelar pendaftaran ulang. Jika kembali gagal, mereka tidak bisa mengikuti pilkada serentak yang kali pertama digelar dinegeri ini pada 9 Desember nanti, tapi pada pilkada serentak gelombang dua pada 2017.
Kondisi tersebut tentu mengundang pertanyaan: apakah tidak ada lagi calon potensial yang bisa memimpin di daerah tersebut? Sedemikian hebatkah pasangan kandidat yang sudah mendaftar sehingga tidak ada yang berani menyaingi? Atau jika lebih kritis, muncul pertanyaan, ada apakah sehingga partai-partai politik hanya memunculkan satu pasang calon? Terlalu naif jika suatu daerah tidak ada tokoh potensial yang diharapkan bisa memimpin.
Mereka bisa dari kalangan akademik, ormas, birokrasi, atau bahkan dari parpol sendiri. Bahkan, bisa jadi mereka mempunyai leadership , kapasitas, integritas dan sejumlah prasyarat utama yang mesti dimiliki seorang kepala daerah jauh melebihi kandidat yang ada.
Begitu juga terlalu naif jika disimpulkan calon tunggal semuanya incumbent yang diajukan parpol secara beramai-ramai atau calon incumbent yang diusung mayoritas parpol adalah mereka yang berprestasi mengembangkan daerah dan sukses meningkatkan kesejahteraan masyarakat, seperti menjadi tugas pokok mereka.
Barangkali bisa dipahami jika misalnya Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Bupati Banyuwangi Azwar Anas, atau para kepala daerah yang selama ini terbukti membuat terobosan nyata dan bisa dinikmati warganya sehingga memanen segudang prestasi, diusung parpol beramai-ramai untuk maju kembali. Tapi incumbent yang menjadi calon tunggal atau diusung beramai-ramai parpol sebagian besar tidak jelas prestasi dan kontribusi untuk daerahnya.
Karena itu, persoalan utamanya mengarah pada parpol itu sendiri yang memilih pragmatis. Mereka menjadikan orientasi asal menang sebagai basis utama pertimbangan. Fitand propertest yangdigelarhampir semua parpol kehilangan makna, karena pada akhirnya pertimbangan kekuatan uang dan kekuasaan kandidat yang menentukan. Parpol terjebak oligarki karena mengedepankan kepentingan pengurus di atas kepentingan masyarakat.
Dengan demikian, mereka sangat mudah terkooptasi kekuasaan calon incumbent , kemudian ”diborong” menjadi kendaraan mereka, bahkan untuk melanggengkan dinasti politik penguasa-penguasa lokal. Mereka malahan tidak peduli kandidat yang diusungnya terlibat kasus korupsi, pernah menjadi terpidana, atau cacat moral di depan masyarakat.
Elite politik yang memegang kendali parpol pun lupa fungsi parpol seperti disebut para guru ilmu politik dan dalam beragam buku referensi, di antaranya rekrutmen politik, pendidikan politik, penyalur aspirasi politik. Bahkan, fungsi-fungsi tersebut secara nyata sudah diamanatkan konstitusi, seperti disebut dalam Pasal 10 ayat 1 dan 2 UU Nomor 2/2008 tentang Partai Politik.
Jika amanat tersebut dijalankan, mustahil pilkada hanya bisa menjaring satu pasang kandidat kalau pun ada selebihnya boneka karena parpol sudah menelurkan kader andal yang bisa diterima masyarakat. Atau menjaring kandidat dari khalayak yang diinginkan masyarakat, bukan sekadar menjadi bagian sistematis pelanggengan kekuasaan dan dinasti politik. Nyatanya, parpol terlalu asyik menikmati definisi sempit politik, yakni hanya untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan, dan kemudian berhenti pada menikmati kekuasaan yang diraih.
Jika demikian, parpol yang semestinya menjadi tulang punggung pembangunan demokrasi dan bangsa, telah berubah menjadi perusahaan politik yang memperjualbelikan kuasa politik atas nama demokrasi.
(bhr)