Kacamata Urbanisasi Kini
A
A
A
Syamsi Alifia
Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni
Merantau dari tanah kelahiran merupakan sebuah tren yang berkembang di kalangan masyarakat selepas hari raya. Tidak peduli dengan uang atau kemampuan yang minim, bahkan hanya bermodalkan nekat untuk merantau.
Merantau ke kota atau lebih umum dikenal dengan urbanisasi seakanakan menjanjikan manisnya gula kehidupan. Dengan modal nekat yang dimiliki, urbanisasi menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindarkan oleh masyarakat saat ini.
Menjelang penghabisan libur hari raya, tempat-tempat umum seperti stasiun, terminal, pelabuhan, dan bandara seeloknya seperti menggelar hajatan besar karena dipenuhi oleh puluhan, bahkan jutaan orang.
Semua berbondong-bondong pergi ke kota besar demi mencoba peruntungan hidup. Sebut saja kota Jakarta yang tiap tahunnya, persis setelah Lebaran, kedatangan tamu dengan beragam latar belakang budaya, pendidikan, suku, dan agama. Ada yang memang berniat datang ke kota untuk mengubah nasib.
Mengubah segalanya yang buruk menjadi lebih baik. Mengubah jam makan menjadi tiga kali sehari atau bahkan lebih. Mengubah angan menjadi kenyataan. Mengubah lamunan menjadi asa.
Dan, mengubah status keluarga menjadi lebih terpandang. Ada lagi yang sekadar ikut-ikutan atau atas nama solidaritas antarteman atau saudara. Siapa pun yang beralasan seperti itu pastilah tidak akan lama atau hanya seumur jagung untuk bertahan di tanah rantau.
Jika sekadar ikut-ikutan, tujuan hidup di kota akan selalu bergantung pada teman atau saudara yang pertama kali mengajak hidup di kota. Ada pula yang tergiur oleh kisah-kisah orang terdahulu yang hidupnya sukses dan berhasil di kota. ”Jika orang lain bisa, masa kita tidak bisa,” begitulah pepatah yang hendak digaungkan sebagian masyarakat yang hendak berurbanisasi.
Mereka seakan tidak mau kalah berebut rahmat Sang Ilahi yang dipercayai lebih besar peluangnya bila hidup di kota. Intinya, mereka tidak ingin seperti katak dalam tempurung. Terakhir, alasan sebagian masyarakat berurbanisasi adalah melanjutkan pendidikan, baik itu pendidikan dasar, menengah, maupun pendidikan tinggi.
Tidak dapat dipungkiri bahwa fasilitas pendidikan di kota jauh lebih baik dan menunjang daripada di desa. Saat ini pun masih banyak ditemui sekolah yang berjarak jauh dari permukiman warga.
Tidak jarang pelajar harus melalui medanmedansulitsepertijembatanyangsudahdiujungtanduk, mengarungi rawa atau sungai dengan rakit sederhana atau perahu motor kecil, dan jalan setapak yang hanya cukup dilalui oleh pejalan kaki.
Belum lagi sarana dan prasarana penunjang pembelajaran yang masih jauh dari kata layak. Karenaitu, apakahurbanisasimasihdapatdibenarkan demi alasan untuk memperbaiki nasib? Siapakah yang harus disalahkan bila urbanisasi masih melahirkan banyak masalah, pemerintahkah atau masyarakatkah
Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni
Merantau dari tanah kelahiran merupakan sebuah tren yang berkembang di kalangan masyarakat selepas hari raya. Tidak peduli dengan uang atau kemampuan yang minim, bahkan hanya bermodalkan nekat untuk merantau.
Merantau ke kota atau lebih umum dikenal dengan urbanisasi seakanakan menjanjikan manisnya gula kehidupan. Dengan modal nekat yang dimiliki, urbanisasi menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindarkan oleh masyarakat saat ini.
Menjelang penghabisan libur hari raya, tempat-tempat umum seperti stasiun, terminal, pelabuhan, dan bandara seeloknya seperti menggelar hajatan besar karena dipenuhi oleh puluhan, bahkan jutaan orang.
Semua berbondong-bondong pergi ke kota besar demi mencoba peruntungan hidup. Sebut saja kota Jakarta yang tiap tahunnya, persis setelah Lebaran, kedatangan tamu dengan beragam latar belakang budaya, pendidikan, suku, dan agama. Ada yang memang berniat datang ke kota untuk mengubah nasib.
Mengubah segalanya yang buruk menjadi lebih baik. Mengubah jam makan menjadi tiga kali sehari atau bahkan lebih. Mengubah angan menjadi kenyataan. Mengubah lamunan menjadi asa.
Dan, mengubah status keluarga menjadi lebih terpandang. Ada lagi yang sekadar ikut-ikutan atau atas nama solidaritas antarteman atau saudara. Siapa pun yang beralasan seperti itu pastilah tidak akan lama atau hanya seumur jagung untuk bertahan di tanah rantau.
Jika sekadar ikut-ikutan, tujuan hidup di kota akan selalu bergantung pada teman atau saudara yang pertama kali mengajak hidup di kota. Ada pula yang tergiur oleh kisah-kisah orang terdahulu yang hidupnya sukses dan berhasil di kota. ”Jika orang lain bisa, masa kita tidak bisa,” begitulah pepatah yang hendak digaungkan sebagian masyarakat yang hendak berurbanisasi.
Mereka seakan tidak mau kalah berebut rahmat Sang Ilahi yang dipercayai lebih besar peluangnya bila hidup di kota. Intinya, mereka tidak ingin seperti katak dalam tempurung. Terakhir, alasan sebagian masyarakat berurbanisasi adalah melanjutkan pendidikan, baik itu pendidikan dasar, menengah, maupun pendidikan tinggi.
Tidak dapat dipungkiri bahwa fasilitas pendidikan di kota jauh lebih baik dan menunjang daripada di desa. Saat ini pun masih banyak ditemui sekolah yang berjarak jauh dari permukiman warga.
Tidak jarang pelajar harus melalui medanmedansulitsepertijembatanyangsudahdiujungtanduk, mengarungi rawa atau sungai dengan rakit sederhana atau perahu motor kecil, dan jalan setapak yang hanya cukup dilalui oleh pejalan kaki.
Belum lagi sarana dan prasarana penunjang pembelajaran yang masih jauh dari kata layak. Karenaitu, apakahurbanisasimasihdapatdibenarkan demi alasan untuk memperbaiki nasib? Siapakah yang harus disalahkan bila urbanisasi masih melahirkan banyak masalah, pemerintahkah atau masyarakatkah
(ars)