Halalbihalal: Perspektif Antropologi

Kamis, 23 Juli 2015 - 10:19 WIB
Halalbihalal: Perspektif...
Halalbihalal: Perspektif Antropologi
A A A
HAJRIYANTO Y THOHARI
Alumni Pascasarjana Antropologi
Universitas Indonesia dan
mantan Wakil Ketua MPR RI 2009-2014.

Mungkin hanya di Indonesia hari-hari dalam rangkaian perayaan Hari Raya Idul Fitri masih terus berlanjut sampai habis bulan Syawal 1436 H nanti. Tradisi halalbihalal, demikian ia disebut, terus berlanjut dan hanya berpindah tempat saja dari lingkungan keluarga,

baik keluarga batih atau inti (nucler family) maupun keluarga luas (extended family) ke paguyuban-paguyuban sosial politik-ekonomi: yakni organisasi-organisasi massa, partai politik, kantor, perusahaan, dan patembayanpatembayan lainnya. Sungguh tradisi halalbihalal ini sangat fenomenal di negeri ini, bahkan telah menjadi fenomena keindonesiaan itu sendiri.

Adalah sangat menarik di dunia Arab, Idul Fitri (1 Syawal) disebut al-‘ied al-shaghir (hari raya kecil, a small festival ) dan Idul Adha (10 Zulhijah disebut al-‘ied al-kabir (hari raya besar, a big festival). Di dunia Arab, terutama di Arab Saudi, Idul Fitri hanya dirayakan dengan membaca takbir di malam terakhir bulan Ramadan,

salat Idul Fitri di tanggal 1 Syawal pagi, dan diakhiri dengan bersalam-salaman sambil mengucapkan ‘Ied mubarak (Id yang diberkahi) diiringi dengan saling tukar doa yang berbunyi taqabbalallaahu minnaa wa minkum wa ja’alanaa minal-‘aaidiin wal-faaiziin wa ‘lmaqbuuliin (artinya semoga Allah menerima amal kita semua dan Dia menjadikan kita termasuk orang-orang yang kembali kepada fitrah, selalu berbahagia, dan diterima oleh- Nya). Dan, perayaan Idul Fitri pun selesai pada hari itu juga.

Terobosan genial

Sementara di Indonesia, terutama di Jawa, Idul Adha memang disebut Bhadha Besar dan bulan Jawa-Islam juga dinamakan sasi Besar (bulan Besar), tetapi dalam praktiknya Idul Fitri dirayakan secara lebih masif dari Idul Adha. Alhasil, Idul Fitri di Indonesia menjadi Hari Raya Besar (al-‘Ied al-Kabir) dan Idul Adha menjadi Hari Raya Kecil (al-‘Ied al-Shaghir).

Orang Indonesia memang mempunyai cara sendiri yang sangat khas dan kaya dalam menyambut Idul Fitri yang oleh budayawan Umar Kayam disebut sebagai terobosan (budaya) yang genial. Dalam menyambut Idul Fitri ada tuntutan dan ada pula kebijakan tunjangan hari raya (THR) untuk membeli pakaian baru, menyiapkan makananmakanan yang khas, biaya mudik, membagi hadiah atau fitrah (semacam angpau ) kepada sanak saudara, anak-anak, dan mereka yang tidak beruntung.

Liburan Idul Fitri pun-resmi atau tidak resmi-berlangsung sampai beberapa hari. Umat Islam menyambut dengan penuh antusiasme mulai dari malam takbiran, salat Idul Fitri di masjid atau lapangan, mengucapkan selamat Hari Raya Idul Fitri dengan bersalam- salaman seraya saling mendoakan yang berbunyi minal-‘ aaidiin wal-faaiziin (dimaknai- benar atau salah-sebagai berarti "mohon maaf lahir dan batin"),

saling berkunjung secara langsung (dalam perkembangannya juga melalui kartu Lebaran, e-mail, SMS, WhatsApp, BlackBerry Messenger, Facebook, Twitter, dan lain-lain), tradisi sungkeman sebagai simbol bakti kepada orang tua dan sesepuh pinisepuh, ngapura ing ngapura, tradisi halalbihalal, pertemuan keluarga besar (trah atau bani), pertemuan dengan sejawat di kantor-kantor dan tempat bekerja, pertemuan dengan kawan atau lawan politik yang dibungkus secara budaya, diteruskan dengan Bhadha Kupat,

dan lain-lainnya yang rangkaian acaranya bisa sampai sebulan lebih lamanya. Idul Fitri di Arab, jantungnya dunia Islam, tidak melahirkan tradisi yang sebanyak di Indonesia, seperti, misalnya saja, halalbihalal. Bayangkan saja bahkan frase halalbihalal (atau alhalaalu bil-halaali) yang merupakan rangkaian kata-kata Arab (terdiri dari tiga kata: halal, bi, dan halal ) tidak dikenal dalam bahasa Arab.

Halal dalam bahasa Arab artinya diizinkan, tidak dilarang, sah, atau boleh; bi artinya dengan atau bersama. Walhasil, halalbihalal secara bahasa artinya halal dengan halal atau absah dengan absah. Tetapi, secara antropologis frase ini artinya maaf-memaafkan pada hari-hari Lebaran sehingga relasi di antara mereka yang ber-halalbihalal kembali ke kondisi nol atau zero (bersih dari kesalahan) karena masingmasing pihak saling memaafkannya. Tak heran jika orang Arab pun bingung mendapati frase halalbihalal. Halalbihalal adalah bahasa Arab made in Indonesia !

Momentum rekonsiliasi

Idul Fitri yang merupakan ritual keagamaan yang khusus (eksklusif) di Indonesia dirayakan secara umum dan masif yang bersifat lintas agama, lintas kepercayaan, lintas suku dan lintas golongan (inklusif). Dalam konteks dan perspektif ini maka tidak berlebihan jika Clifford Geertz dalam magnum opus -nya The Religion of Java (1960) menyatakan bahwa Hari Raya Idul Fitri (bahasa Indonesia) atau Riyaya (Jawa) adalah perayaan keagamaan yang paling umum, paling meriah dan paling kolektif di Indonesia.

Riyaya telah lama menjadi bukan hanya hari raya santri karena faktanya dirayakan oleh semua orang Jawa, tidak peduli apa pun agama dan kepercayaannya. Riyaya dengan demikian secara sangat jelas menampakkan kesatuan dasar orang Jawa dan di balik itu kesatuan orang Indonesia pada umumnya. Riyaya mampu menyatukan keseluruhan rangkaian kepercayaan dan praktik keagamaan yang merupakan karakteristik Indonesia dewasa ini.

Kata Geertz, abangan, santri, priyayi; nasionalis yang bersemangat maupun tradisionalis yang sudah menipis; petani, pedagang, dan klerek; orang kota dan orang desa -semua bisa menemukan jenis lambang yang cocok buat mereka dalam pesta rakyat yang paling sinkretis. Sinkretisme dalam bentuk toleransi yang lancar dalam keanekaragaman agama dan ideologi ini merupakan karakter kebudayaan Jawa yang fundamental, sekalipun ada peningkatan konflik antargolongan dewasa ini.

Tetapi baru atau bukan, konflik itu pun juga menemukan ekspresinya dalam Riyaya . Dalam beberapa hal Riyaya merupakan lambang yang sempurna untuk kultur Jawa. Dan kalau orang benarbenar mengerti segala sesuatu yang diamatinya dalam Riyaya - yang tentu saja tidak mudahmaka orang bisa mengatakan dirinya memahami orang Jawa. Maka dari itu Riyaya, kata Geertz selanjutnya, adalah hari raya yang paling nasionalis di antara semua ritual umat Islam.

Ia menandakan realitas dan kemungkinan tercapainya apa yang sekarang menjadi cita-cita semua orang Indonesia yang sangat jelas, yaitu kesatuan budaya dan kemajuan sosial yang terus berkesinambungan. Idul Fitri atau Riyaya dengan serangkaian tradisi halalbihalal yang dilahirkannya dapat menjadi sumber daya kultural untuk mewujudkan rekonsiliasi nasional dan mengukuhkan integrasi bangsa.

Hal ini sangat relevan apalagi ketika ketegangan dan konflik horizontal dan antarelite nasional dewasa ini tampak semakin banal dan pekat, bahkan sering dengan aroma balas dendam yang tak berkesudahan. Kita harus bisa memanfaatkan tradisi halalbihalal ini untuk kemaslahatan umat dan bangsa. Semoga.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0742 seconds (0.1#10.140)