Kembali Fitri, Kembali pada Kesadaran Sejati

Kamis, 16 Juli 2015 - 12:18 WIB
Kembali Fitri, Kembali...
Kembali Fitri, Kembali pada Kesadaran Sejati
A A A
Muhammad Muchlas Rowi
Aktivis Muhammadiyah

Idul Fitri merupakan titik puncak perjalanan spiritual ibadah puasa. Momen ini menandai kembalinya orangorang yang berpuasa kepada fitrahnya sebagai makhluk Tuhan yang memiliki tingkat kesadaran tertinggi dibanding makhluk-makhluk lainnya.

Kesadaran yang membuat manusia berhasil masuk nominasi sebagai khalifah di muka bumi. Dan pada akhirnya, kesadaran ini pulalah yang membuat manusia tetap saja dipilih Sang Maha Pencipta untuk dijadikan khalifah, meski protes keras sempat dilontarkan oleh makhluk-makhluk lainnya, terutama malaikat yang mengatakan bahwa kesadaran dan hawa nafsu manusia amat tipis tingkatannya.

Artinya manusia bisa ”sadar”, tapi bisa juga kebablasan dan bahkan menjadi hina. Idul fitri dengan demikian semestinya memiliki makna yang lebih dibandingkan dengan apa yang selama ini lebih banyak kita pahami sebagai ”kembali ke kampung”, atau akrab di telinga dengan istilah mudik.

Patologi Evakuasi Mudik

Dari segi bahasa, mudik atau pulang kampung memang sama sekali tak ada kaitannya dengan puasa atau bahkan Idul Fitri. Mudik yang berasal dari kata udik (bahasa Jawa), yang bermakna hulu, atau wetan dalam bahasa Sunda menggambarkan kerinduan seseorang akan kepulangan (homesick ).

Ketidakterkaitan inilah yang membuat mudik, kemudian lebih berkembang sebagai tradisi kaum kapitalis religius dalam masyarakat modern. Sebagai tradisi fenomenal, yang gemuruh evakuasinya hanya bisa dikalahkan perjalanan ibadah haji (pilgrimage ) telah cukup jauh melenceng dari makna kembali kepada kesadaran (Idul Fitri) yang sesungguhnya. Mudik yang ada sekarang ini merupakan ajang untuk memperlihatkan eksistensi kelas tertentu.

Sebagai perantau yang sukses di negeri orang dan hendak kembali ke kampung halaman dengan membawa segenap hasil kesuksesannya. Selain itu, prosesi mudik ternyata juga ikut melibatkan kekuatan kapital yang begitu dahsyat, dan dikomersialkan. Untuk mempertahankan daya kapitalnya, tradisi ini dijaga dan dirawat dengan sebaik mungkin.

Pemaknaan idul fitri yang tentu saja jauh dari makna kembali kepada kesadaran bukan? Padahal, baik secara kultural maupun spiritual, mudik sebetulnya memiliki makna yang jauh lebih dalam. Karena meniscayakan manusia untuk ingat akan asal usulnya, kembali ke tempat asal, lalu menyatu dengan alam dan penciptanya.

Puasa Setengah Kosong

Alasan Tuhan memilih manusia sebagai khalifah di muka bumi sekali lagi tentu saja bukan karena semata manusia memiliki kelebihan hawa nafsu yang berpotensi mengeksploitasi alam, menghambur-hamburkan uang di pusat-pusat perbelanjaan, atau memamerkan harta tatkala pulang kampung. Tapi alasannya adalah karena manusia mampu memiliki kesadaran tertinggi untuk menjaga keseimbangan hidup, baik secara ekologis, sosiologis maupun politis.

Dengan kesadarannya, manusia akan mampu mencegah kerusakan alam. Mencegah perampokan uang negara dalam kasus-kasus korupsi. Mampu mencegah pemasungan kreativitas karena aturan kaku dan keliru penguasa. Mampu mencegah liberalisasi pertanian dan melindungi petani dari serbuan produk luar negeri. Mampu menjaga kebebasan pers, dan mencegah kesewenang-wenangan kelompok tertentu.

Mampu mencegah kriminalisasi aktivis pro terhadap pemberantasan korupsi. Mampu mencegah adanya fenomena politik dinasti yang tentu saja hanya menguntungkan kelompok tertentu. Maka seandainya pasca pelaksanaan Idul Fitri, semua soft instrument yang mengarahkan pada lahir kembalinya hyperpresidensialism atau totalitarianism bergaya lembut dengan sangat mudah melenggang ke sidang paripurna, lalu diamini oleh seluruh elemen bangsa.

Maka jangan-jangan seperti yang disabdakan oleh Nabi Muhammad, rubba sharubba shaimin hadhulul juimin hadhulul juu walu walathasy, wa rubba qaimin haduhus syahar. Banyak orang berpuasa hanya memperoleh lapar dan dahaga. Dan banyak orang yang salat tarawih hanya memperoleh jaga di malam hari. Raihan puasa setengah isi, setengah kosong yang tentu saja sangat merugikan siapa pun mengingat lamanya prosesi ritual tersebut, juga tak ada seorang pun yang tahu kalau kesempatan untuk menikmati Ramadan berikutnya masih ada.

Seperti diketahui pada umumnya, bahwa semangat utama puasa adalah menahan; menahan syahwat keduniaan agar tak begitu menggebu, namun tak pula layu. Puasa menghendaki keseimbangan dalam bersikap, termasuk dalam soal asupan makanan. Kebiasaan kita pada bulan-bulan di luar puasa adalah melahap begitu banyak makanan, namun tak jelas kualitas gizinya.

Di sinilah kemudian puasa mengajarkan kita untuk lebih memperhatikan makanan. Anjuran Rasulullah agar memakan makanan yang manis terlebih dahulu tatkala berbuka tentu saja bukan tanpa alasan, ia menyajikan resep kuliner yang paling harmonis untuk kondisi tubuh manusia. Anjuran-anjuran itu lebih jauh merupakan isyarat, bila agama tak menyukai sikap berlebih-lebihan (ghuluw).

Atas alasan itulah, kemudian kita dianjurkan supaya di hari-hari berikutnya pasca idul fitri untuk terus menjaga spirit puasa; jujur pada diri sendiri, jujur pada Tuhan, sabar akan cobaan dan godaan, seimbang dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi. Kembali fitri, dan kembali pada kesadaran sejati.

(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0804 seconds (0.1#10.140)