Status Gawat Darurat Lembaga Peradilan
A
A
A
Frans H Winarta
Ketua Umum PERADIN,
Guru Besar Fakultas Hukum
Universitas Pelita Harapan
Tertangkapnya 3 hakim di pengadilan TUN, 1 panitera, dan 1 advokat baru-baru ini di Medan adalah bukti nyata bahwa sistem peradilan di Indonesia sudah lama sakit dan tidak berfungsi semestinya.
Negara hukum yang dicita-citakan para pendiri Republik Indonesia betulbetul dalam keadaan yang menyedihkan. Dewi Keadilan sedang menangis melihat perilaku para hakim yang seharusnya memberi keadilan dan kepastian hukum kepada pencari keadilan justru mempermainkan keadilan dan hukum itu sendiri.
Sama halnya dengan panitera dan advokat yang terlibat sudah jauh melewati batas-batas fungsi semestinya, yaitu sebagai administrator pengadilan dan pembela klien. Sudah lama keadaan ini dibiarkan. Upaya untuk memperbaikinya baik dari Mahkamah Agung RI, Komisi Yudisial, KPK, Organisasi Advokat, LSM, YLBHI, dan unsur-unsur independen di masyarakat masih belum memadai dan terkesan tidak komprehensif dan tuntas.
Patut disesalkan upaya Komisi Yudisial dalam mengawasi para hakim dan membuat rekomendasi pemecatan dan skorsing hakim”nakal” belum direspons dan didengar seutuhnya oleh Mahkamah Agung RI. Salah satu unsur dalam sistem peradilan kita, yaitu subsistem advokat masih belum responsif dan belum ada kemauan untuk menindak anggotanya yang menyeleweng dan menyuap hakim.
Tanggapan dan sikap organisasi selalu klasik yaitu belum adanya laporan pelanggaran etika. Padahal, pelanggaran hukum, apalagi yang berat seperti suap, seharusnya membuka peluang organisasi profesi advokat untuk bertindak dan memecat advokat yang kriminal tersebut. Apalagi, hal ini termasuk korupsi yudisial yang dilarang di mana-mana secara universal dan merupakan tindak pidana menurut KUH Pidana.
Keengganan organisasi profesi advokat menindak anggotanya yang kriminal tidak perlu menunggu putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, dan harus dilakukan segera tanpa menunda- nunda lagi. Sebab bertemu hakim tanpa dihadiri lawan beperkara saja sudah melanggar kode etik apalagi menyuap.
Organisasi profesi advokat bisa bekerja sama dengan KPK mendengarkan rekaman hasil penyadapan upaya menyuap hakim dan melihat film hasil rekaman CCTV dalam upaya penyuapan hakim tersebut. Cukup dengan fakta-fakta itu si advokat dapat dipecat sebagai perilaku dan perbuatan pelanggaran berat kode etik profesi advokat.
Organisasi profesi advokat harus bersikap tegas, tidak boleh lagi bersikap permisif untuk suap dan korupsi yudisial. Semua ketegasan ini hanya bisa dilakukan jika organisasi advokat dipimpin orang-orang bersih, jujur, berintegritas, melepaskan diri dari semangat korps membela sesama rekan sejawat, dan mempunyai kemauan kuat dan tujuan tidak lain dari pada membersihkan profesi advokat dari praktik suap dan korupsi yudisial.
Tetapi fakta berbicara lain, organisasi profesi advokat malah terlihat lebih asyik mengisi kas organisasi dari kursus advokat baru (PKPA), penyumpahan advokat, dan pendidikan hukum berkelanjutan. Padahal, roda organisasi profesi advokat menurut kaidah internasional seharusnya dibiayai dari iuran para anggotanya.
Keadaan diperparah lagi dengan adanya sistem wadah tunggal yang tidak memungkinkan adanya persaingan sehat di antara 15 organisasi advokat di Indonesia. Monopoli hal-hal yang disebutkan di atas menyebabkan konsentrasi finansial di satu organisasi yang kemudian menjadi sewenangwenang dan tidak terkontrol lagi. Penulis sudah berulang kali mengingatkan bahwa sistem wadah tunggal tidak sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia yang pluralis.
Sekarang semuanya kembali kepada DPR dan pemerintah untuk segera mengesahkan RUU Advokat yang baru yang mengubah sistem wadah tunggal ( single bar association) menjadi wadah jamak (multi bar association), sehingga ada persaingan sehat dan organisasi yang sehat yang dikelola oleh pimpinan yang berintegritas sajalah yang dapat bertahan dan didukung anggota-anggotanya.
Semoga dengan sistem wadah jamak ini pengawasan dan penegakan kode etik profesi advokat dapat berjalan dan praktik suap dan korupsi yudisial dapat dikurangi sedemikian rupa, sehingga mempunyai dampak yang signifikan terhadap pemberantasan korupsipada umumnya.
Dengan pengadilan, hakim, polisi, jaksa, dan advokat yang berintegritas, jujur, dan profesionallah kita baru dapat menegakkan hukum dan mewujudkan negara hukum (rechtsstaat) yang sebenarnya.
Ketua Umum PERADIN,
Guru Besar Fakultas Hukum
Universitas Pelita Harapan
Tertangkapnya 3 hakim di pengadilan TUN, 1 panitera, dan 1 advokat baru-baru ini di Medan adalah bukti nyata bahwa sistem peradilan di Indonesia sudah lama sakit dan tidak berfungsi semestinya.
Negara hukum yang dicita-citakan para pendiri Republik Indonesia betulbetul dalam keadaan yang menyedihkan. Dewi Keadilan sedang menangis melihat perilaku para hakim yang seharusnya memberi keadilan dan kepastian hukum kepada pencari keadilan justru mempermainkan keadilan dan hukum itu sendiri.
Sama halnya dengan panitera dan advokat yang terlibat sudah jauh melewati batas-batas fungsi semestinya, yaitu sebagai administrator pengadilan dan pembela klien. Sudah lama keadaan ini dibiarkan. Upaya untuk memperbaikinya baik dari Mahkamah Agung RI, Komisi Yudisial, KPK, Organisasi Advokat, LSM, YLBHI, dan unsur-unsur independen di masyarakat masih belum memadai dan terkesan tidak komprehensif dan tuntas.
Patut disesalkan upaya Komisi Yudisial dalam mengawasi para hakim dan membuat rekomendasi pemecatan dan skorsing hakim”nakal” belum direspons dan didengar seutuhnya oleh Mahkamah Agung RI. Salah satu unsur dalam sistem peradilan kita, yaitu subsistem advokat masih belum responsif dan belum ada kemauan untuk menindak anggotanya yang menyeleweng dan menyuap hakim.
Tanggapan dan sikap organisasi selalu klasik yaitu belum adanya laporan pelanggaran etika. Padahal, pelanggaran hukum, apalagi yang berat seperti suap, seharusnya membuka peluang organisasi profesi advokat untuk bertindak dan memecat advokat yang kriminal tersebut. Apalagi, hal ini termasuk korupsi yudisial yang dilarang di mana-mana secara universal dan merupakan tindak pidana menurut KUH Pidana.
Keengganan organisasi profesi advokat menindak anggotanya yang kriminal tidak perlu menunggu putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, dan harus dilakukan segera tanpa menunda- nunda lagi. Sebab bertemu hakim tanpa dihadiri lawan beperkara saja sudah melanggar kode etik apalagi menyuap.
Organisasi profesi advokat bisa bekerja sama dengan KPK mendengarkan rekaman hasil penyadapan upaya menyuap hakim dan melihat film hasil rekaman CCTV dalam upaya penyuapan hakim tersebut. Cukup dengan fakta-fakta itu si advokat dapat dipecat sebagai perilaku dan perbuatan pelanggaran berat kode etik profesi advokat.
Organisasi profesi advokat harus bersikap tegas, tidak boleh lagi bersikap permisif untuk suap dan korupsi yudisial. Semua ketegasan ini hanya bisa dilakukan jika organisasi advokat dipimpin orang-orang bersih, jujur, berintegritas, melepaskan diri dari semangat korps membela sesama rekan sejawat, dan mempunyai kemauan kuat dan tujuan tidak lain dari pada membersihkan profesi advokat dari praktik suap dan korupsi yudisial.
Tetapi fakta berbicara lain, organisasi profesi advokat malah terlihat lebih asyik mengisi kas organisasi dari kursus advokat baru (PKPA), penyumpahan advokat, dan pendidikan hukum berkelanjutan. Padahal, roda organisasi profesi advokat menurut kaidah internasional seharusnya dibiayai dari iuran para anggotanya.
Keadaan diperparah lagi dengan adanya sistem wadah tunggal yang tidak memungkinkan adanya persaingan sehat di antara 15 organisasi advokat di Indonesia. Monopoli hal-hal yang disebutkan di atas menyebabkan konsentrasi finansial di satu organisasi yang kemudian menjadi sewenangwenang dan tidak terkontrol lagi. Penulis sudah berulang kali mengingatkan bahwa sistem wadah tunggal tidak sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia yang pluralis.
Sekarang semuanya kembali kepada DPR dan pemerintah untuk segera mengesahkan RUU Advokat yang baru yang mengubah sistem wadah tunggal ( single bar association) menjadi wadah jamak (multi bar association), sehingga ada persaingan sehat dan organisasi yang sehat yang dikelola oleh pimpinan yang berintegritas sajalah yang dapat bertahan dan didukung anggota-anggotanya.
Semoga dengan sistem wadah jamak ini pengawasan dan penegakan kode etik profesi advokat dapat berjalan dan praktik suap dan korupsi yudisial dapat dikurangi sedemikian rupa, sehingga mempunyai dampak yang signifikan terhadap pemberantasan korupsipada umumnya.
Dengan pengadilan, hakim, polisi, jaksa, dan advokat yang berintegritas, jujur, dan profesionallah kita baru dapat menegakkan hukum dan mewujudkan negara hukum (rechtsstaat) yang sebenarnya.
(bbg)