Ironi Keadilan

Sabtu, 11 Juli 2015 - 08:58 WIB
Ironi Keadilan
Ironi Keadilan
A A A
Kasus suap terkait penanganan perkara di lembaga peradilan kita bagaikan jamur di musim hujan. Satu dua jamur dibersihkan, tapi dalam waktu bersamaan puluhan jamur baru tumbuh menutupi batang pohon.

Entah sudah berapa kali operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilakukan. Namun, suapmenyuap untuk memenangkan perkara di lembaga peradilan tetap saja terjadi. Lebih celaka lagi, pelakunya adalah kalangan penegak hukum sendiri mulai hakim, panitera, hingga pengacara.

Apa jadinya jika aparat penegak hukum kita yang sudah diberi gaji secara layak oleh negara masih doyan uang haram hasil jual-beli perkara? Tentu saja bangunan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan ini semakin terkikis dan tidak lama akan roboh digerogoti ulah tidak bermoral para aparaturnya sendiri. Ini akan menjadi tragedi yang hanya bisa kita sesali jika tidak segera dilakukan langkah cepat dan luar biasa untuk mengatasinya.

Tertangkapnya tiga hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan, seorang panitera PTUN, dan seorang pengacara dalam OTT KPK pada Kamis (9/7) lalu adalah fenomena puncak gunung es. Kelihatannya kecil di permukaan, tapi kita tidak tahu persis seberapa parah sebenarnya praktik suap-menyuap dalam penanganan perkara yang melibatkan aparat penegak hukum.

Jangan-jangan perilaku seperti ini sudah menjadi hal lumrah di lembaga peradilan. Uang dan harta telah membutakan mata dan hati para penegak hukum dalam memutus perkara. Yang berani membayar besar yang menang, dan yang tidak punya uang akan terus jadi pecundang saat mencari keadilan.

Keadilan telah menjadi barang yang langka di lembaga peradilan kita. Sering kali perkara diputus di luar sidang pengadilan, yakni di lorong-lorong gelap yang pengap dan kotor dalam suasana sangat transaksional. Lantas, ke mana lagi rakyat mencari keadilan jika ruang-ruang peradilan sudah demikian sesak oleh oknum-oknum yang miskin integritas itu?

Wacana untuk meningkatkan hukuman kepada aparat penegak hukum yang terbukti terlibat suap menyuap dalam penanganan perkara sudah sering kali terdengar. Selama ini aparat penegak hukum yang terbukti melakukan pidana dijatuhi hukuman dua kali lebih berat dari pelaku tindak pidana dari kalangan biasa.

Namun, penjatuhan hukuman dua kali lebih berat ini pun seolah tak sanggup menghentikan praktik suap-menyuap dalam penanganan perkara yang telah merusak pilar-pilar keadilan itu. Karena itu, perlu para cerdik pandai dan pengambil kebijakan perlu duduk bersama untuk menemukan cara lain yang lebih ampuh agar aparat penegak hukum tidak main-main dalam penanganan perkara.

Efek jera itu harus dilipatgandakan agar tidak ada lagi yang berani bermain-main dengan menyelewengkan hukum. Mungkinkah hukuman berat atau sanksi apa pun namanya akan mampu menihilkan praktik suap-menyuap di lembaga peradilan? Rasanya sulit dan tidak ada jaminan akan berhasil. Namun, kita tidak boleh menyerah dengan situasi. Bagaimanapun, kewibawaan lembaga peradilan harus terus ditegakkan sampai kapan pun.

Tidak boleh ada kata menyerah meski sesulit apa pun hambatan dan rintangan yang harus dihadapi. Pengawasan formal dari lembaga-lembaga pengawas peradilan, pengawas hakim, jaksa, pengacara, dan sebagainya harus terus digelorakan tanpa henti. Partisipasi aktif masyarakat untuk berani melaporkan praktik-praktik suap di lembaga peradilan, juga menjadi faktor yang tak kalah penting.

Gerakan sadar hukum di masyarakat juga harus terus dipupuk agar semakin banyak orang yang mengerti tata cara berhukum yang berkeadilan dan berintegritas. Namun sebenarnya, pencegahan di sumber masalah menjadi yang paling krusial untuk mencari solusi persoalan ini.

Kurikulum hukum perlu direviu kembali, penanaman nilai-nilai moral keagamaan juga harus dipupuk sehingga bisa menjadi ruh dari setiap aparat penegak hukum dalam mengemban misi mulianya, menegakkan keadilan di bumi pertiwi.
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7415 seconds (0.1#10.140)