Kota Mudik
A
A
A
Beberapa hari ke depan Jakarta dan beberapa kota besar lainnya akan menjadi kota lengang seiring dengan mudiknya warga Jakarta ke berbagai kota di Indonesia.
Berdasarkan catatan Polda Metro Jaya, tahun ini diperkirakan lebih dari 9 juta warga Jakarta akan melakukan tradisi mudik ke berbagai daerah. Jumlah ini meningkat sebanyak 12,8% dibandingkan dengan musim mudik tahun lalu. Artinya, sepertiga warga Jakarta tahun ini akan mudik. Paling tidak diperkirakan selama satu minggu setelah lebaran Idul Fitri Jakarta akan menjadi kota antimacet.
Warga yang tidak mudik akan menikmati dengan sepuasnya jalanjalan di Jakarta. Tidak terdengar lagi suara klakson mobil dan motor yang menderu-deru. Sesaat kita tak lagi melihat perilaku-perilaku kasar dan beringas bagaimana menembus jalanan Jakarta yang sangat semrawut tersebut. Sebuah fenomena tahunan yang menjadikan kota ini istirahat sejenak dari gegap gempita ancaman kemacetan total.
Berbagai kantor swasta, pemerintah maupun industri akan libur sejenak selama liburan lebaran. Fasilitas pelayanan publik akan rehat sejenak dalam rangka merayakan Idul Fitri. Di sisi lain, jutaan warga Jakarta akan secara masif berpindah untuk sementara waktu ke berbagai daerah di Indonesia.
Mereka meninggalkan ingarbingar Jakarta untuk merayakan dan berbagi kebahagiaan bersama keluarga tercinta di kampung halamannya. Mereka lepas dari rutinitas ala Jakarta yang mengekang mereka, berangkat pagi dan pulang malam dengan berjam-jam di jalanan.
Fenomena Universal
Fenomena mudik sebenarnya bukan hanya terjadi di Indonesia. Fenomena ini juga terjadi di beberapa negara lainnya. Di Prancis misalnya, umat Islam yang minoritas juga banyak melakukan mudik ke negara asalnya. Muslim di Prancis sebagian besar berasal dari Aljazair, Maroko, Tunisia, Turki, dan beberapa negara Afrika lainnya.
Meski dilahirkan dan dibesarkan di Prancis, mereka merayakan Idul Fitri di negara leluhurnya. Pelaksanaan puasa sering kali bersamaan dengan liburan musim panas. Pada liburan musim panas, anak-anak sekolah libur selama lima minggu. Banyak juga karyawan yang menggunakan jatah cutinya selama liburan musim panas.
Bahkan, mereka pulang kampung negara leluhurnya untuk melaksanakan ibadah puasa. Di kampung halamannya, mereka berkumpul dan bersilaturahmi dengan keluarga besarnya seperti orang tua, kakek/ nenek, dan keluarga lainnya. Bagi muslim yang berkecukupan, mereka mudik menggunakan pesawat terbang.
Sementara keluarga yang terbatas keuangannya, mereka menggunakan mobil pribadi dengan melalui jalur kapal laut selama dua hari di perjalanan. Mereka menggunakan jalur pelabuhan di Marseille untuk menyeberang ke Aljazair, Maroko, maupun Tunisia. Mereka yang membawa mobil pribadi dapat berkeliling bersilaturahmi dengan keluarga besar di kampung halamannya.
Menariknya, warga Prancis yang mudik membawa mobil memasang bagasi tambahan di atas mobilnya. Kondisi ini tidak jauh beda dengan warga Indonesia yang mudik menggunakan mobil pribadi. Beberapa hari setelah Idul Fitri, mereka kembali ke Prancis.
Di Malaysia, tradisi mudik lazim disebut balik kampong. Setiap tahunnya kegiatan ”Balik Kampung” juga menjadi tradisi warga negeri jiran ini terutama mereka yang bekerja di kota besar seperti Kuala Lumpur yang kembali ke kampung halamannya.
Tradisi mudik juga dilakukan warga Bangladesh dan Pakistan. Bahkan, di dua negara tersebut kondisi mudik warganya tidak jauh berbeda dengan warga Indonesia dalam menggunakan transportasi publik, seperti kereta api. Di beberapa tayangan televisi, ribuan warga dua negara tersebut berjejal dan tumpah ruah menggunakan sarana kereta api.
Perspektif Ruang Sosial
Sementara ditinggal warganya, Jakarta menjadi ruang sosial yang nyaman, kondusif, lebih humanis dan tentu saja sangat manusiawi bagi warganya. Meski lengang dan sepi, itu menjadi penting bagi berlangsungnya metabolisme kehidupan Jakarta itu sendiri. Dalam satu tahun, Jakarta memang memerlukan waktu rehat sejenak untuk menyusun kembali energi baru dinamika kehidupan warga kotanya.
Meski hanya berlangsung satu minggu selama liburan Idul Fitri, maknanya terasa sangat penting terhadap keberlangsungan kota Jakarta itu sendiri. Sesungguhnya, selain momentum Idul Fitri, Jakarta juga menjadi sedikit lebih lengang karena momentum liburan Natal dan Tahun Baru. Apalagi, momentum tersebut bersamaan juga dengan liburan sekolah.
Meski jumlahnya tak sefantastis dengan fenomena Idul Fitri, fenomena itu membuat warga Jakarta lebih menikmati sarana transportasi dibandingkan hari-hari biasa. Kemacetan dan dinamika Jakarta selama liburan tersebut akan pindah ke berbagai kota di Indonesia. Kota-kota dan kampungkampung di daerah akan bergeliat dan penuh dengan dinamikanya.
Kehidupan akan berpindah di kota-kota para pemudik. Macetnya Jakarta untuk sementara akan pindah di daerah-daerah tempat para pemudik. Di berbagai daerah, pelat nomor kendaraan pribadi dipastikan akan dipadati pelat nomor B (Jakarta). Hal yang positif juga adalah terjadi perputaran uang di daerah selama mudik berlangsung. Kota di daerah akan menjadi ruang perputaran kapital yang signifikan selama mudik.
Maklum, para pemudik membelanjakan uangnya untuk berbagai kebutuhan selama mudik. Di kota-kota pemudik, berbagai ATM akan dipenuhi dengan antrean panjang warga pendatang. Berbagai mal, pusat perbelanjaan, dan pusat hiburan akan dipenuhi dengan warga pendatang.
Mereka membelanjakan uangnya dengan mengunjungi berbagai pusat wisata dan hiburan, menikmati suguhan kuliner khas kampung halamannya, ataupun membeli oleholeh untuk kerabat dan relasi di Jakarta. Kota-kota pemudik akan mengalami geliatnya selama tradisi mudik tersebut. Pada level ini, kita sebenarnya dapat berharap bahwa pusat pertumbuhan akan bergerak secara masif di berbagai kota yang lain.
Tidak lagi bertumpu pada Jakarta yang sudah melebihi kapasitasnya. Pertumbuhan kota ini kita harap tidak hanya berlangsung secara instan selama tradisi mudik tersebut, tetapi juga dapat berlangsung secara konsisten di luar tradisi mudik tersebut.
Rakhmat Hidayat
Dosen Sosiologi Perkotaan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) & Ketua Laboratorium Sosiologi (LabSos) UNJ
Berdasarkan catatan Polda Metro Jaya, tahun ini diperkirakan lebih dari 9 juta warga Jakarta akan melakukan tradisi mudik ke berbagai daerah. Jumlah ini meningkat sebanyak 12,8% dibandingkan dengan musim mudik tahun lalu. Artinya, sepertiga warga Jakarta tahun ini akan mudik. Paling tidak diperkirakan selama satu minggu setelah lebaran Idul Fitri Jakarta akan menjadi kota antimacet.
Warga yang tidak mudik akan menikmati dengan sepuasnya jalanjalan di Jakarta. Tidak terdengar lagi suara klakson mobil dan motor yang menderu-deru. Sesaat kita tak lagi melihat perilaku-perilaku kasar dan beringas bagaimana menembus jalanan Jakarta yang sangat semrawut tersebut. Sebuah fenomena tahunan yang menjadikan kota ini istirahat sejenak dari gegap gempita ancaman kemacetan total.
Berbagai kantor swasta, pemerintah maupun industri akan libur sejenak selama liburan lebaran. Fasilitas pelayanan publik akan rehat sejenak dalam rangka merayakan Idul Fitri. Di sisi lain, jutaan warga Jakarta akan secara masif berpindah untuk sementara waktu ke berbagai daerah di Indonesia.
Mereka meninggalkan ingarbingar Jakarta untuk merayakan dan berbagi kebahagiaan bersama keluarga tercinta di kampung halamannya. Mereka lepas dari rutinitas ala Jakarta yang mengekang mereka, berangkat pagi dan pulang malam dengan berjam-jam di jalanan.
Fenomena Universal
Fenomena mudik sebenarnya bukan hanya terjadi di Indonesia. Fenomena ini juga terjadi di beberapa negara lainnya. Di Prancis misalnya, umat Islam yang minoritas juga banyak melakukan mudik ke negara asalnya. Muslim di Prancis sebagian besar berasal dari Aljazair, Maroko, Tunisia, Turki, dan beberapa negara Afrika lainnya.
Meski dilahirkan dan dibesarkan di Prancis, mereka merayakan Idul Fitri di negara leluhurnya. Pelaksanaan puasa sering kali bersamaan dengan liburan musim panas. Pada liburan musim panas, anak-anak sekolah libur selama lima minggu. Banyak juga karyawan yang menggunakan jatah cutinya selama liburan musim panas.
Bahkan, mereka pulang kampung negara leluhurnya untuk melaksanakan ibadah puasa. Di kampung halamannya, mereka berkumpul dan bersilaturahmi dengan keluarga besarnya seperti orang tua, kakek/ nenek, dan keluarga lainnya. Bagi muslim yang berkecukupan, mereka mudik menggunakan pesawat terbang.
Sementara keluarga yang terbatas keuangannya, mereka menggunakan mobil pribadi dengan melalui jalur kapal laut selama dua hari di perjalanan. Mereka menggunakan jalur pelabuhan di Marseille untuk menyeberang ke Aljazair, Maroko, maupun Tunisia. Mereka yang membawa mobil pribadi dapat berkeliling bersilaturahmi dengan keluarga besar di kampung halamannya.
Menariknya, warga Prancis yang mudik membawa mobil memasang bagasi tambahan di atas mobilnya. Kondisi ini tidak jauh beda dengan warga Indonesia yang mudik menggunakan mobil pribadi. Beberapa hari setelah Idul Fitri, mereka kembali ke Prancis.
Di Malaysia, tradisi mudik lazim disebut balik kampong. Setiap tahunnya kegiatan ”Balik Kampung” juga menjadi tradisi warga negeri jiran ini terutama mereka yang bekerja di kota besar seperti Kuala Lumpur yang kembali ke kampung halamannya.
Tradisi mudik juga dilakukan warga Bangladesh dan Pakistan. Bahkan, di dua negara tersebut kondisi mudik warganya tidak jauh berbeda dengan warga Indonesia dalam menggunakan transportasi publik, seperti kereta api. Di beberapa tayangan televisi, ribuan warga dua negara tersebut berjejal dan tumpah ruah menggunakan sarana kereta api.
Perspektif Ruang Sosial
Sementara ditinggal warganya, Jakarta menjadi ruang sosial yang nyaman, kondusif, lebih humanis dan tentu saja sangat manusiawi bagi warganya. Meski lengang dan sepi, itu menjadi penting bagi berlangsungnya metabolisme kehidupan Jakarta itu sendiri. Dalam satu tahun, Jakarta memang memerlukan waktu rehat sejenak untuk menyusun kembali energi baru dinamika kehidupan warga kotanya.
Meski hanya berlangsung satu minggu selama liburan Idul Fitri, maknanya terasa sangat penting terhadap keberlangsungan kota Jakarta itu sendiri. Sesungguhnya, selain momentum Idul Fitri, Jakarta juga menjadi sedikit lebih lengang karena momentum liburan Natal dan Tahun Baru. Apalagi, momentum tersebut bersamaan juga dengan liburan sekolah.
Meski jumlahnya tak sefantastis dengan fenomena Idul Fitri, fenomena itu membuat warga Jakarta lebih menikmati sarana transportasi dibandingkan hari-hari biasa. Kemacetan dan dinamika Jakarta selama liburan tersebut akan pindah ke berbagai kota di Indonesia. Kota-kota dan kampungkampung di daerah akan bergeliat dan penuh dengan dinamikanya.
Kehidupan akan berpindah di kota-kota para pemudik. Macetnya Jakarta untuk sementara akan pindah di daerah-daerah tempat para pemudik. Di berbagai daerah, pelat nomor kendaraan pribadi dipastikan akan dipadati pelat nomor B (Jakarta). Hal yang positif juga adalah terjadi perputaran uang di daerah selama mudik berlangsung. Kota di daerah akan menjadi ruang perputaran kapital yang signifikan selama mudik.
Maklum, para pemudik membelanjakan uangnya untuk berbagai kebutuhan selama mudik. Di kota-kota pemudik, berbagai ATM akan dipenuhi dengan antrean panjang warga pendatang. Berbagai mal, pusat perbelanjaan, dan pusat hiburan akan dipenuhi dengan warga pendatang.
Mereka membelanjakan uangnya dengan mengunjungi berbagai pusat wisata dan hiburan, menikmati suguhan kuliner khas kampung halamannya, ataupun membeli oleholeh untuk kerabat dan relasi di Jakarta. Kota-kota pemudik akan mengalami geliatnya selama tradisi mudik tersebut. Pada level ini, kita sebenarnya dapat berharap bahwa pusat pertumbuhan akan bergerak secara masif di berbagai kota yang lain.
Tidak lagi bertumpu pada Jakarta yang sudah melebihi kapasitasnya. Pertumbuhan kota ini kita harap tidak hanya berlangsung secara instan selama tradisi mudik tersebut, tetapi juga dapat berlangsung secara konsisten di luar tradisi mudik tersebut.
Rakhmat Hidayat
Dosen Sosiologi Perkotaan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) & Ketua Laboratorium Sosiologi (LabSos) UNJ
(ftr)