Keluar dari Resesi

Rabu, 08 Juli 2015 - 08:25 WIB
Keluar dari Resesi
Keluar dari Resesi
A A A
Salah satu definisi yang banyak dirujuk tentang resesi dinyatakan pada 1975 oleh ahli statistik bernama Julius Shiskin.

Menurutnya, resesi adalah ketika suatu perekonomian mengalami pertumbuhan negatif pada dua kuartal berturut. Berdasarkan definisi tersebut, ekonomi Indonesia yang pada triwulan IV-2014 kontraksi/negatif 2,06% dan negatif 0,18% di triwulan I-2015 sudah berada dalam resesi. Tidak semua resesi sama bahayanya. Intensitas dan sumber resesi juga berbeda-beda.

Resesi bisa berjalan singkat dan bisa juga lama. Dengan mengetahui karakteristik resesi kali ini, dapat disusun kebijakan yang tepat untuk akselerasi jalan keluar pada paruh kedua 2015. Data BPS menunjukkan bahwa pertumbuhan triwulan IV terhadap triwulan sebelumnya pada 2011-2014 selalu negatif sehingga tidak perlu terlalu dikhawatirkan.

Pertumbuhan pada triwulan IV-2014 justru paling tinggi dibanding tiga tahun sebelumnya yang selalu lebih rendah dari -2.14%. Bagaimana dengan triwulan I-2015? Sejak 2012, triwulan I selalu menjadi triwulan terendah kedua pertumbuhannya dengan tren menurun (0.8% pada 2012, 0.56% pada 2013, dan 0.11% pada 2014).

Berdasarkan data tersebut, diagnosis awal bahwa resesi kali ini masih pada tahap ringan dan tidak parah. Tapi, respons harus disesuaikan dengan tantangan eksternal dan kondisi internal sehingga tidak terjadi lagi.

Tantangan Eksternal

Kondisi ekonomi dunia sedang bergolak di Eropa dan China serta membaik di Amerika yang ketiganya memiliki pengaruh negatif ke Indonesia. Penolakan Yunani pada referendum akan memicu ketidakpastian dan penurunan pertumbuhan di Eropa. Ekonomi Amerika setahun ini tumbuh lebih tinggi dari tahun sebelumnya dan terjadi penurunan pengangguran yang cukup signifikan.

Tingkat bunga efektif The Fed selama beberapa tahun ini ditekan hanya sekitar 0,1-0.2% untuk mendorong recovery disertai dengan open market operation yang masif di pasar modal. Kekhawatiran kenaikan bunga The Fed setelah kondisi ekonomi membaik telah menekan nilai tukar dan pasar modal banyak negara berkembang termasuk Indonesia.

China yang biasanya menjadi penyerap ekspor negara berkembang juga mengalami masalah ekonomi. Pertumbuhan yang sempat menembus 12% pada 2010, pada triwulan I- 2015 turun drastis menjadi ”hanya” 7%. China juga sedang melakukan transisi dari dimotori ekspor ke aktivitas domestik. Akibatnya, impornya dari negara berkembang juga berkurang.

Sumber Perlambatan

Data BPS menunjukkan bahwa terdapat beberapa sektor yang melambat secara signifikan dalam enam bulan terakhir yaitu pertambangan, industri, perdagangan, dan konstruksi. Dengan pertumbuhan sektor pertambangan - 9,2% pada triwulan I-2015, sekilas terkesan mengkhawatirkan. Namun, kebijakan moratorium ekspor mineral mentah adalah amanat UU Minerba yang perlu dilaksanakan untuk meraih nilai tambah melalui pembangunan smelter yang butuh waktu.

Pada Repelita III ditetapkan moratorium ekspor kayu gelondongan untuk mendorong industri kayu lapis yang berdampak negatif pada jangka pendek. Sektor ini juga terpengaruh dari penurunan harga komoditas sehingga nilainya merosot jauh walau volume ekspor tidak banyak berubah. Kontribusi sektor industri terhadap pertumbuhan turun drastis dari 1% di triwulan I- 2014 menjadi 0,85% di triwulan I-2015.

Otomotif adalah yang subsektor yang paling terpengaruh dengan penjualan mobil Januari-Mei 2015 turun 16% dibanding 2014. Mengingat kita akan memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN, di mana Thailand dan Malaysia mempunyai basis industri yang kuat, percepatan dan penguatan tahun ini sangat mendesak. Perdagangan juga mengalami kontraksi dari berkontribusi 0,82% pada pertumbuhan menjadi hanya 0,5%.

Subsektor pergudangan dan transportasi khususnya tumbuh negatif 1.2%. Adapun sektor konstruksi juga mengalami pertumbuhan negatif sebesar 5.9%. Perlambatan beberapa sektor di atas adalah pertanda melemahnya konsumsi masyarakat. Data BPS menunjukkan, apabila pilar ini tetap sekuat triwulan I-2014, pertumbuhan ekonomi triwulan I-2015 akan naik hampir 0,2%.

Kenaikan harga pada penghujung 2014 dan awal 2015 menjadi faktor kuat melemahnya konsumsi rumah tangga. Tapi, setelah kenaikan bahan bakar minyak (BBM) dan beberapa komoditas akhir 2014, ternyatainflasiJanuari— Juni2015 sebesar 0,97% yang masih lebih rendah dibandingkan periode serupa pada 2014 (1,98%) dan 2013(3,31). Artinya, permintaan masyarakat masih bisa dipicu dengan risiko inflasi masih di bawah target 2015 (3-5%.)

Jalur Keluar Resesi

Paket kebijakan pembebasan PPN yang diumumkan menteri keuangan sepertinya ditargetkan untuk memicu konsumsi masyarakat. Sayangnya, produk luks seperti tas mewah puluhan juga dibebaskan, padahal distributornya terbatas dan bisa diawasi dengan ketat. Pemerintah perlu mempercepat pengisian eselon I dan II sehingga APBN bisa dicairkan.

Dana desa juga harus segera dikucurkan dengan sistem pelaporan dan pengawasan yang baik. Jargon membangun dari pinggir dan dari desa memiliki multiplier effect yang tinggi pada pertumbuhan dan pengentasan kemiskinan bila dilaksanakan dengan konsisten. Walaupun berorientasi jangka panjang dengan infrastruktur, program padat kerja perlu dipertimbangkan untuk mendorong perekonomian jangka pendek.

Loan to deposit ratio (LDR) di perbankan yang kian tinggi membatasi ekspansi kredit. Data dari Bank Indonesia menunjukkan bahwa ada perlambatan pertumbuhan kredit di triwulan I-2015 menjadi hanya 13%. Jauh lebih rendah dari pertumbuhan di tiga triwulan sebelumnya yang di atas 75%. Perlambatan yang cukupbesardialamikreditpada sektorpertambangan(-40,4%) dan kredit multiguna konsumsi (-35.9%).

Adapun kredit KUR-UMKM yang mengalami penurunan - 13,9%. Perubahan formula LDR menjadi loan to funding bisa mendorong ekspansi kredit tanpa mengharuskan penambahan modal. Kebijakan baru untuk subsidi bunga KUR diharapkan bisa mendorong pertumbuhan kredit dan usaha kecil. Namun, supaya efektif, diperlukan sosialisasi yang efektif agar UMKM mengetahui dan bisa mengajukan.

Bank juga dapat berkolaborasi dengan menitipkan dana KUR pada bank yang memiliki track record dalam menangani golongan debitur ini. Investasi yang turun kontribusinya pada pertumbuhan 0,1% perlu didorong lagi. Selain dengan promosi investasi, langkah riil yang diperlukan adalah simplifikasi perizinan dan kebijakan politik anggaran dengan memberikan tambahan dana transfer (khususnya DAU) pada daerah yang lebih baik iklim usahanya.

Tren penurunan pertumbuhan ekonomi yang dialami Indonesia tidak mudah untuk dilawan dan dibalikkan arahnya. Dibutuhkan kebijakan yang koheren dengan dirigen dan tim ekonomi yang kokoh. Tapi, bila prinsip the right person at the right place diimbangi dengan pembagian tugas yang baik dan akuntabilitas yang tegas, masa resesi dapat diakhiri dan periode pertumbuhan dapat dimulai.

Berly Martawardaya
Ekonom UI dan Ketua PP Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0497 seconds (0.1#10.140)