Human Error di Kabinet Kerja
A
A
A
Akhirnya, Presiden Joko Widodo memang perlu menyoal loyalitas dan kapabilitas para menteri. Masyarakat akar rumput sekalipun bisa merasakan pemerintahan sekarang ini belum efektif kendati masa baktinya sudah masuk bulan kesembilan.
Begitu sering muncul permasalahan akibat human error yang dilakukan para menteri Kabinet Kerja. Masalah terakhir yang membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) seperti kecolongan adalah protes komunitas pekerja terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46/ 2015 tentang Tata Cara Pencairan Dana Jaminan Hari Tua (JHT) yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.
Karena protes itu, Presiden memerintahkan Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri menyiapkan naskah revisi PP No 46/2015 itu. Lucu, PP ini hanya berumur tiga hari. Kalau PP itu sudah direvisi, para pekerja yang di- PHK atau tidak lagi bekerja bisa mencairkan JHT sebulan setelah kehilangan pekerjaannya. Kalau PP itu hanya berumur tiga hari dan harus direvisi, berarti terjadi dua human error.
Pertama, di tingkat menteri teknis danmanajemenBPJS. Para menteri berperilaku arogan dengan kewenangannya. PP itu dirancang tanpa mendengarkan aspirasi pekerja. Mereka coba mengintervensi kehidupan pekerja terlalu jauh dengan membatasi hak pekerja mencairkan dana JHT. Padahal, dana JHT itu milik si pekerja. Kalau para menteri teknis mau mendengarkan masukan pekerja tentang mekanisme pencairan dana jaminan hari tua, perpres itu tidak akan bermasalah.
Masih berkait dengan PP No 46/2015 itu, human error kedua terjadi juga di Kantor Presiden dan dilakukan oleh orang-orang kepercayaan Jokowi. Tanpa membaca dan mempelajari muatan PP itu, mereka langsung menyodorkannya ke Presiden untuk ditandatangani. Jelas bahwa menteri sekretaris kabinet atau menteri sekretaris negara patut dipersalahkan. Mensekab dan mensesneg seharusnya tidak asal-asalan dalam menyodorkan dokumen apa pun yang memerlukan tanda tangan Presiden.
Keduanya, atau salah satu dari keduanya, wajib memperlajari muatan dokumen itu sebelum dibawa ke meja Presiden untuk ditandatangani. Kalau dianggap perlu, mensesneg dan mensekab bisa meminta pertimbangan dan masukan dari Dewan Pertimbangan Presiden atau para ahli yang seharihari membantu Presiden. Prosedur ini rupanya tidak dijalankan sehingga Presiden lagi-lagi dipermalukan.
Apakah itu sekadar human error atau kesalahan yang sengaja diperbuat untuk menjerumuskan Presiden? Bagaimanapun, kemungkinankemungkinan seperti itu patut diwaspadai Presiden. Sudah barang tentu para menteri itu tidak perlu diingatkan lagi bahwa mereka harus bijaksana dan wajib berhati-hati. Bijak dan kehati-hatian sudah melekat pada jabatan mereka.
Kecerobohan mereka tidak bisa ditoleransi karena rancangan kebijakan mereka menyentuh langsung kehidupan puluhan juta rakyat. Karena itu, kecerobohan para menteri dalam kasus PP No 46/2015 itu tidak boleh disederhanakan. Presiden patut mempertanyakan ketidakhati- hatian itu kepada para menteri. Dari situ, Presiden bisa mengukur loyalitas dan kapabilitas menteri menteri bersangkutan.
Publik mempersepsikan kasus revisi PP tersebut sebagai bukti bahwa manajemen pemerintahan Presiden Jokowi dan Kantor Presiden masih amburadul, sekaligus menjadi indikasi terlalu banyaknya orang yang tidak qualified dalam pemerintahan Jokowi. Karena tidak qualified itulah, Kabinet Kerja sarat human error.
Kebisingan di ruang publik akibat kesalahan pada rancangan PP No 46/2015 seperti melanjutkan kebisingan sebelumnya akibat human error yang juga dilakukan para menteri. Baru-baru ini seorang menteri bertutur kepada pers bahwa ada menteri yang mengejek Presiden.
Sebelumnya lagi, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly menjalankan agendanya sendiri dalam merespons sengketa internal Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Bahkan human error pun terjadi pada komunikasi antara Presiden dan Wapres.
Pertama, terjadi pada isu tentang organisasi Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI). Wapres memerintahkan Menteri Pemuda dan Olahraga mencabut surat keputusan pembekuan PSSI. Namun, Presiden Jokowi justru memerintahkan sebaliknya dan meminta menpora mempertahankan pembekuan PSSI. Human error kedua terjadi pada isu tentang revisi UU KPK. Wapres, Jaksa Agung, serta Menteri Hukum dan HAM setuju UU KPK direvisi, tetapi Presiden menolak revisi dimaksud.
Menteri Bermanuver
Kalau Presiden dan Wapres akhir-akhir ini sudah bisa mencegah human error di antara keduanya, para menteri tetap saja masih tidak peduli pada pentingnya bersikap bijak dan berhati-hati. Contohnya pada kasus seorang menteri yang bertutur kepada publik bahwa ada koleganya di kabinet yang mengejek Presiden.
Dalam kapasitasnya sebagai menteri, sikap dan penuturannya itu benar-benar konyol dan amatiran. Dia menjadi contoh nyata tentang pejabat tinggi negara yang tidak mampu bersikap arif dan bijaksana. Dia, yang seharusnya berkewajiban menjaga soliditas dan citra kabinet, justru bertindak sebaliknya, merusak kekompakan anggota kabinet dan mencoreng citra kabinet di mata publik.
Kalau benar ada menteri berani mengejek Presiden, itu seharusnya menjadi rahasia kabinet. Siapa pun menteri yang mengetahui ejekan itu cukup melapor ke Presiden untuk kemudian diselesaikan sendiri oleh Presiden. Etika tak tertulis ini lazim diadopsi para pejabat negara yang derajat kearifan dan kebijaksanaannya sudah teruji. Tidak semua persoalan di internal kabinet harus diumbar ke ruang publik.
Sejumlah masalah atau kasus bisa dilokalisasisebagairahasiakabinet. Apalagi kalau persoalannya personal dan tidak mengganggu kepentingan umum. Kalau etika seperti itu ditaati, pejabat negara biasanya bisa menahan diri untuk tidak menyulut kegaduhan yang tak perlu. Dari kasus ”menteri mengejek Presiden” itu, Presiden minimal dirugikan dari dua aspek.
Pertama, soliditas kabinetnya justru dicabik-cabik oleh bawahannya ketika Presiden sedang gencar-gencarnya mendorong para menteri bekerja ekstrakeras demi percepatan penyerapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015. Kedua, ada motif lain di balik tindakan mengungkap kasus itu kepada publik.
Motifnya adalah intrik politik yang bertujuan menambah tekanan kepada Presiden agar segera melakukan reshuffle kabinet. Menteri yang diduga mengejek Presiden itu tentu saja menjadi salah satu target. Dipersepsikan bahwa karena mengejek Presiden, menteri itu harus dikeluarkan dari kabinet. Keanehan Kabinet Kerja benar-benar luar biasa sebab ada menteri yang bermanuver melakukan intrik untuk memaksa Presiden segera merombak formasi kabinet.
Kalau ada menteri berani memaksakan kehendak dan memiliki agenda sendiri, loyalitasnya memang harus diragukan. Barangkali ini menjadi kasus pertama dalam sejarah pemerintahan di Indonesia. Pada rezim pemerintahan terdahulu, publik tidak pernah menyaksikan perilaku aneh para menteri. Karena itu, bukannya mengada- ada jika kepada Presiden Jokowi disarankan untuk menyoal atau mempertanyakan lagi loyalitas dan kapabilitas para menteri.
Saran ini bukan bagian dari arus desakan reshuffle kabinet. Saran ini dikedepankan karena human error di Kabinet Kerja sangat memprihatinkan dan juga memalukan. Kasus PP No 46/2015 hingga beras plastik mencerminkan rendahnya kapabilitas beberapa menteri. Selain itu, Presiden juga harus berani memerangi loyalitas ganda yang diperlihatkan beberapa menteri.
Kalau jabatan mereka menteri, bos mereka hanya satu, Presiden. Dengan begitu, loyalitas para menteri kepada ketua umum partainya harus diakhiri. Begitu konsekuensi logisnya dan begitu juga etikanya.
Bambang Soesatyo
Sekretaris Fraksi Partai Golkar/ Anggota Komisi III DPR RI
Begitu sering muncul permasalahan akibat human error yang dilakukan para menteri Kabinet Kerja. Masalah terakhir yang membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) seperti kecolongan adalah protes komunitas pekerja terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46/ 2015 tentang Tata Cara Pencairan Dana Jaminan Hari Tua (JHT) yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.
Karena protes itu, Presiden memerintahkan Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri menyiapkan naskah revisi PP No 46/2015 itu. Lucu, PP ini hanya berumur tiga hari. Kalau PP itu sudah direvisi, para pekerja yang di- PHK atau tidak lagi bekerja bisa mencairkan JHT sebulan setelah kehilangan pekerjaannya. Kalau PP itu hanya berumur tiga hari dan harus direvisi, berarti terjadi dua human error.
Pertama, di tingkat menteri teknis danmanajemenBPJS. Para menteri berperilaku arogan dengan kewenangannya. PP itu dirancang tanpa mendengarkan aspirasi pekerja. Mereka coba mengintervensi kehidupan pekerja terlalu jauh dengan membatasi hak pekerja mencairkan dana JHT. Padahal, dana JHT itu milik si pekerja. Kalau para menteri teknis mau mendengarkan masukan pekerja tentang mekanisme pencairan dana jaminan hari tua, perpres itu tidak akan bermasalah.
Masih berkait dengan PP No 46/2015 itu, human error kedua terjadi juga di Kantor Presiden dan dilakukan oleh orang-orang kepercayaan Jokowi. Tanpa membaca dan mempelajari muatan PP itu, mereka langsung menyodorkannya ke Presiden untuk ditandatangani. Jelas bahwa menteri sekretaris kabinet atau menteri sekretaris negara patut dipersalahkan. Mensekab dan mensesneg seharusnya tidak asal-asalan dalam menyodorkan dokumen apa pun yang memerlukan tanda tangan Presiden.
Keduanya, atau salah satu dari keduanya, wajib memperlajari muatan dokumen itu sebelum dibawa ke meja Presiden untuk ditandatangani. Kalau dianggap perlu, mensesneg dan mensekab bisa meminta pertimbangan dan masukan dari Dewan Pertimbangan Presiden atau para ahli yang seharihari membantu Presiden. Prosedur ini rupanya tidak dijalankan sehingga Presiden lagi-lagi dipermalukan.
Apakah itu sekadar human error atau kesalahan yang sengaja diperbuat untuk menjerumuskan Presiden? Bagaimanapun, kemungkinankemungkinan seperti itu patut diwaspadai Presiden. Sudah barang tentu para menteri itu tidak perlu diingatkan lagi bahwa mereka harus bijaksana dan wajib berhati-hati. Bijak dan kehati-hatian sudah melekat pada jabatan mereka.
Kecerobohan mereka tidak bisa ditoleransi karena rancangan kebijakan mereka menyentuh langsung kehidupan puluhan juta rakyat. Karena itu, kecerobohan para menteri dalam kasus PP No 46/2015 itu tidak boleh disederhanakan. Presiden patut mempertanyakan ketidakhati- hatian itu kepada para menteri. Dari situ, Presiden bisa mengukur loyalitas dan kapabilitas menteri menteri bersangkutan.
Publik mempersepsikan kasus revisi PP tersebut sebagai bukti bahwa manajemen pemerintahan Presiden Jokowi dan Kantor Presiden masih amburadul, sekaligus menjadi indikasi terlalu banyaknya orang yang tidak qualified dalam pemerintahan Jokowi. Karena tidak qualified itulah, Kabinet Kerja sarat human error.
Kebisingan di ruang publik akibat kesalahan pada rancangan PP No 46/2015 seperti melanjutkan kebisingan sebelumnya akibat human error yang juga dilakukan para menteri. Baru-baru ini seorang menteri bertutur kepada pers bahwa ada menteri yang mengejek Presiden.
Sebelumnya lagi, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly menjalankan agendanya sendiri dalam merespons sengketa internal Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Bahkan human error pun terjadi pada komunikasi antara Presiden dan Wapres.
Pertama, terjadi pada isu tentang organisasi Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI). Wapres memerintahkan Menteri Pemuda dan Olahraga mencabut surat keputusan pembekuan PSSI. Namun, Presiden Jokowi justru memerintahkan sebaliknya dan meminta menpora mempertahankan pembekuan PSSI. Human error kedua terjadi pada isu tentang revisi UU KPK. Wapres, Jaksa Agung, serta Menteri Hukum dan HAM setuju UU KPK direvisi, tetapi Presiden menolak revisi dimaksud.
Menteri Bermanuver
Kalau Presiden dan Wapres akhir-akhir ini sudah bisa mencegah human error di antara keduanya, para menteri tetap saja masih tidak peduli pada pentingnya bersikap bijak dan berhati-hati. Contohnya pada kasus seorang menteri yang bertutur kepada publik bahwa ada koleganya di kabinet yang mengejek Presiden.
Dalam kapasitasnya sebagai menteri, sikap dan penuturannya itu benar-benar konyol dan amatiran. Dia menjadi contoh nyata tentang pejabat tinggi negara yang tidak mampu bersikap arif dan bijaksana. Dia, yang seharusnya berkewajiban menjaga soliditas dan citra kabinet, justru bertindak sebaliknya, merusak kekompakan anggota kabinet dan mencoreng citra kabinet di mata publik.
Kalau benar ada menteri berani mengejek Presiden, itu seharusnya menjadi rahasia kabinet. Siapa pun menteri yang mengetahui ejekan itu cukup melapor ke Presiden untuk kemudian diselesaikan sendiri oleh Presiden. Etika tak tertulis ini lazim diadopsi para pejabat negara yang derajat kearifan dan kebijaksanaannya sudah teruji. Tidak semua persoalan di internal kabinet harus diumbar ke ruang publik.
Sejumlah masalah atau kasus bisa dilokalisasisebagairahasiakabinet. Apalagi kalau persoalannya personal dan tidak mengganggu kepentingan umum. Kalau etika seperti itu ditaati, pejabat negara biasanya bisa menahan diri untuk tidak menyulut kegaduhan yang tak perlu. Dari kasus ”menteri mengejek Presiden” itu, Presiden minimal dirugikan dari dua aspek.
Pertama, soliditas kabinetnya justru dicabik-cabik oleh bawahannya ketika Presiden sedang gencar-gencarnya mendorong para menteri bekerja ekstrakeras demi percepatan penyerapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015. Kedua, ada motif lain di balik tindakan mengungkap kasus itu kepada publik.
Motifnya adalah intrik politik yang bertujuan menambah tekanan kepada Presiden agar segera melakukan reshuffle kabinet. Menteri yang diduga mengejek Presiden itu tentu saja menjadi salah satu target. Dipersepsikan bahwa karena mengejek Presiden, menteri itu harus dikeluarkan dari kabinet. Keanehan Kabinet Kerja benar-benar luar biasa sebab ada menteri yang bermanuver melakukan intrik untuk memaksa Presiden segera merombak formasi kabinet.
Kalau ada menteri berani memaksakan kehendak dan memiliki agenda sendiri, loyalitasnya memang harus diragukan. Barangkali ini menjadi kasus pertama dalam sejarah pemerintahan di Indonesia. Pada rezim pemerintahan terdahulu, publik tidak pernah menyaksikan perilaku aneh para menteri. Karena itu, bukannya mengada- ada jika kepada Presiden Jokowi disarankan untuk menyoal atau mempertanyakan lagi loyalitas dan kapabilitas para menteri.
Saran ini bukan bagian dari arus desakan reshuffle kabinet. Saran ini dikedepankan karena human error di Kabinet Kerja sangat memprihatinkan dan juga memalukan. Kasus PP No 46/2015 hingga beras plastik mencerminkan rendahnya kapabilitas beberapa menteri. Selain itu, Presiden juga harus berani memerangi loyalitas ganda yang diperlihatkan beberapa menteri.
Kalau jabatan mereka menteri, bos mereka hanya satu, Presiden. Dengan begitu, loyalitas para menteri kepada ketua umum partainya harus diakhiri. Begitu konsekuensi logisnya dan begitu juga etikanya.
Bambang Soesatyo
Sekretaris Fraksi Partai Golkar/ Anggota Komisi III DPR RI
(ftr)