Perkembangan Wahabi
A
A
A
Al Chaidar
Pengajar pada Departemen Antropologi,
Universitas Malikussaleh,
Lhokseumawe, Aceh
Pada 19 Juni 2015, hari Jumat yang penuh berkah, orang-orang mulai memenuhi Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh untuk melakukan salat Jumat. Ritual kongregasi mingguan ini sangat penting bagi orang Aceh yang mayoritas muslim.
Tanpa dinyana, tiba-tiba masuk sekelompok ulama tradisional dengan bersorban dan berjubah menginterupsi jalannya prosesi ritual ini. Disertai pendukungnya yang berompi dan berjaket, sambil meneriakkan “Allahu Akbar” berkali-kali, mereka menuntut tata laksana ibadah ini diubah sesuai tradisi mazhab Syafiiyah dan Maturidiyah. Mereka memaksa kumandang azan dua kali dan khatib diwajibkan memegang tombak atau tongkat. Kalau tidak begitu, dianggap tidak sah.
Para ulama tradisional dan pendukungnya adalah dari Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), Majelis Ulama Nanggroe Aceh (MUNA), dan Front Pembela Islam (FPI) yang resah dengan maraknya pengaruh Wahabisme di Aceh. Fenomena merebaknya benturan mazhab antaraWahabi dan kalangan tradisional Islam telah membuat banyak orang bertanya- tanya tentang apa itu Wahabi, bagaimana sejarahnya, dan apa bahaya dari mewabahnya aliran atau sekte yang dianggap radikal ini? Tulisan ini berusaha menjawab pertanyaan tersebut secara sekilas untuk mendudukkan perkara yang sebenarnya agar tidak terjadi kesalahpahaman yang bisa berakibat fatal.
Pada dasarnya, Islam itu hanya satu. Karena perkembangan sejarah, politik, ekonomi, dan budaya, Islam ikut berkembang berdasarkan wilayah persebarannya. Geopolitik Islam kontemporer sekarang ini menjadi tidak lagi satu, monolitik, dan integral seperti pada masa Nabi Muhammad SAW. Kini terdapat banyak kelompok, pecahan, aliran, sekte, dan mazhab yang cukup beragam.
Perpecahan pertama adalah pembelahan ideologis yang sangat besar antara (1) Sunni dan (2) Syiah. Sunni dan Syiah ini juga terpecah dalam berbagai kelompok-kelompok atau sekte dan mazhab yang semuanya mengklaim dirinya yang paling benar. Tidak akan ada kemunculan kelompok baru tanpa klaim kebenaran. Klaim kebenaran inilah yang menyebabkan terjadi perpecahan di dalam Islam.
Sunni adalah mazhab besar kaum pengikut ahlus sunnah wal jamaah yang sangat menghormati Nabi Muhammad SAW, beserta seluruh sahabat, dan keluarganya. Muhammadiyahdan Nahdlatul Ulama (NU), Persis, Al Washliyah, Al Irsyad, Perti, Masyumi, DI atau NII, JI, MMI, JAT, dan JAS adalah termasuk ke dalam kelompok Sunni.
Syiah adalah mazhab yang selektif dalam mengakui sahabat Nabi Muhammad SAW dan keluarganya. Mereka hanya mengagumi Ali ibn Abi Thalib RA dan anaknya yang kedua, Husen, dari 11 anak Ali RA. Karena minoritas, kelompok Syiah di Indonesia hanya sedikit dan organisasinya pun (beserta pecahannya) tak begitu tampil ke permukaan. Antara Sunni dan Syiah pun sering terjadi bentrokan yang melibatkan kekerasan berdarah.
Di kalangan Sunni perpecahan juga banyak terjadi dan membentuk banyak kelompok keagamaan, mazhab, sekte, dan aliran yang sangat beragam. Wahabi adalah salah sebuah mazhab dalam kalangan Sunni. Baru-baru ini di Madura ada sebuah lagu yang berjudul Wahabi yang sangat lugas menggambarkan apa itu aliran yang dianggap radikal oleh banyak kalangan.
Lagu itu menggambarkan Wahabi tidak suka maulid nabi, tidak mau tahlilan, tidak setuju ziarah kubur, tidak mengakui qunut, dan menganggap semua orang Islam di luar kelompoknya sebagai sesat, bidah , atau bahkan kafir. Stigma buruk sering disematkan kepada Wahabi dan label ekstrem sering ditujukan kepada kelompok ini. Dalam banyak hal lagu ini ada benarnya, namun tidak semua Wahabi berperilaku demikian.
Asal Wahabi
Menurut Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu (1986), Wahabi adalah paham keagamaan yang dianut kalangan yang tidak suka kepada adatistiadat dan kebiasaan yang menyimpang yang mengharap kekuatan leluhur, melanggar tradisi adat, tidak mau ikut maulid Nabi Muhammad SAW, tidak percaya kepada sunan, wali, dan keramat-keramatnya, antitakhayul, khurafat, dan bidah . Kata Wahabi adalah nisbat kepada Muhammad bin Abdul Wahab, padahal Abdul Wahab adalah nama ayahnya yang tidak pernah menulis satu kitab fikih pun.
Nisbat kepada nama Abdul Wahab ini dibuat oleh kalangan ilmuwan Barat yang biasanya mengambil nama belakang untuk katalogisasi kepustakaan. Wahabi digagas oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1792), seorang reformis (mujaddid ) Islam dari Najd, Arab Saudi, yang muncul di tengah galaunya umat Islam yang lama terasuh di bawah empat mazhab statis (Syafii, Maliki, Hambali, dan Hanafi).
Ia seorang mufti dari Daulah Suudiyah, cikal bakal Kerajaan Arab Saudi yang kita kenal sekarang. Muhammad bin Abdul Wahab menyeru kaumnya kepada tauhid, hanya berdoa memohon kepada Allah tanpa perantara, tidak mengagungkan para wali dan orang alim atau ulama atau orang-orang saleh sebagai orang yang lebih istimewa dan menolak menyembah kuburan.
Wahabi menganut prinsip egaliter dalam beribadah. Muhammad bin Abdul Wahab ini dianggap sebagai pembuat mazhab kelima setelah mazhab Syafii, Hambali, Hanafi, dan Maliki. Muhammad bin Abdul Wahab banyak menulis kitab yang isinya sejalan dengan pemikiran- pemikiran Ibnu Taymiyyah, Ibnu al-Qayyim, dan Ahmad bin Hanbal.
Karena dipengaruhi oleh pemikiran dari Ahmad bin Hanbal, Wahabisme ini agak mirip dengan mazhab Hambali. Pemikiran Wahabi ini kemudian dikembangkan oleh Bin Baz, Uthaymin, Syek Ahmad Khan, Jamaluddin Al Afghani, Rashid Ridha, Muhammad Abduh, HOS Tjokroaminoto, SM Kar-tosoewirjo, kemudian periode pascakolonialisme Sayyid Qutb, Muhammad Qutb, Hasan Al Banna, Abul Ala Al Maududi, Yusuf Qardhawi, Nashiruddin Al Albani, Bin Baz, kemudian ke masa revolusi di Afghanistan masa Abdullah Azzam, Osama Bin Laden, Ayman Al Zawahiry, hingga ke periode konflik Irak dan Suriah oleh Abu Mushab As Shuri.
Tipologi Wahabi
Wahabi tidak monolitik, artinya kelompok ini juga terpecah ke dalam beberapa varian yang satu sama lainnya tidak bersahabat, terkadang saling bermusuhan, atau bahkan juga bisa menjurus ke konflik berdarah. Wahabi sebenarnya adalah istilah yang generik untuk menyebut atau merujuk kepada kelompok salafi.
Namun, karena kaum tradisional Islam pun mengklaim dirinya sebagai salafi (yang melaksanakan tradisi Salafussholeh), label Wahabi dipilih agar mudah membedakannya secara teologis dengan kelompok-kelompok yang bukan Wahabi. Terminologi Wahabi pun dipakai sebagai eufemisme karena ada kelompok tertentu yang sangat sensitif dengan nama salafi. Secara antropologis terdapat setidaknya tiga tipologi Wahabisme di Indonesia yang bisa saya amati.
Pertama, Wahabi Shururi atau Wahabi yang dianggap antimaulid, antiazan dua kali, antitahlil, antiziarah kubur, dan antijihad dan sering menganggap masyarakat yang melawan pemerintah sebagai bughot (pemberontak). Kedua, Wahabi Jihadi, yaitu kelompok yang lebih fokus pada jihad dan berusaha melawan setiap kebijakan pemerintah, juga memiliki sikap penolakan yang sama dengan kelompok pertama.
Wahabi Jihadi di Indonesia pernah muncul dengan nama Darul Islam (DI) di Jawa Barat pada 1949 (dengan tokohnya Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo), Jawa Tengah pada 1950 (Amir Fatah Widjaja Kusuma), Sulawesi Selatan pada 1951 (Kahar Muzakkar), Kalimantan Selatan pada 1952 (Ibnu Hajar), dan Aceh pada 1953 (Daud Beureueh).
Kemudian ada juga Jamaah Islamiyyah (JI) pada 1992 hingga pada 2010 yang dituduhkan kepada Ustaz Abdullah Sungkar dan Abubakar Baasyir, Dr Azhari, Noordin Mat Top, Amrozi, Imam Samudra, Ali Ghufron, dan Ali Imron. Terakhir, kelompok Wahabi Jihadi ini muncul dalam bentuk Tanzhim Al Qaeda Serambi Mekkah (TQSM) dan banyak aktivisnya yang tertangkap setelah terbongkarnya kegiatan idad (persiapan/ latihan perang) di Bukit Jalin, Aceh Besar pada 2010.
Kelompok Wahabi Jihadi ini kini lebih kalem dan memilih jalur dakwah bil hikmah dalam kegiatan kesehariannya. Ketiga, Wahabi Takfiri yang suka menuduh orang lain di luar kelompoknya sebagai pelakubidah atau malah kafir. Kelompok ini ada di Aceh saat ini dan masih setia dengan baiat nya untuk mendukung Negara Islam Irak dan Syam (NIIS) atau lebih dikenal dengan ISIS.
Di internal kalangan Wahabi ini sendiri juga terjadi saling tuding dan saling tuduh sesatmenyesatkan. Di tengah kiprah Wahabi dalam konflik komunal di Peristiwa Cumbok di Aceh (1946), Ambon (1999), Poso (2001), dan lain-lain tempat, juga ada kiprah Wahabi dalam kekerasan politik di Sulawesi Selatan serta kiprah Wahabi dalam terorisme yang diperankan oleh Jamaah Islamiyyah, Darul Islam, dan sebagainya sejak 2000 hingga 2014. Inilah yang kemudian membuat Wahabi menjadiparagon of ugly yang sulit untuk dibantah.
Seharusnya Wahabi lebih tampil sebagai paragon of beauty dan mengharumkan agama Islam di mata dunia. Kejadian-kejadian kekerasan di Irak dan Suriah di mana ISIS memperlihatkan kekejamannya yang mengerikan telah membuat Wahabi sebagai pihak yang dianggap bertanggung jawab secara teologis atas kekerasan dan kebiadaban selama ini. Padahal, banyak sekali jasa Wahabi dalam membela kaum tertindas di muka bumi ini.
Bantuan kepada pengungsi Rohingya justru datang dari Arab Saudi yang dianggap sebagai negara Wahabi. Kita haruslah menilai Wahabi ini secara lebih adil sebelum menjatuhkan stigma atau label radikal, ekstremis, dan teroris kepada semuanya yang berasal dari mainstream Wahabi.
Padahal, ada Wahabi yang antijihad, yang antipemberontakan, dan juga Wahabi yang bisa menerima ziarah kubur, tahlil, maulidan, juga masih bersedia datang ke kenduri-kenduri untuk menyantap hidangan. Di tengah banyaknya tudingan terhadap kalangan Wahabi yang dianggap telah mempermalukan agama Islam, namun harus diakui bahwa ada banyak jasa Wahabi dalam membela kaum tertindas, khususnya yang beragam Islam.
Hampir dapat dipastikan kebanyakan yang dibela oleh Wahabi adalah umat Islam tanpa membedakan sekte dan mazhab. Bantuan kemanusiaan yang diberikan kaum Wahabi menyebar ke seluruh dunia dalam bentuk filantropi zakat, sedekah, kurban, dan pembangunan masjid serta lembaga pendidikan.
Pengajar pada Departemen Antropologi,
Universitas Malikussaleh,
Lhokseumawe, Aceh
Pada 19 Juni 2015, hari Jumat yang penuh berkah, orang-orang mulai memenuhi Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh untuk melakukan salat Jumat. Ritual kongregasi mingguan ini sangat penting bagi orang Aceh yang mayoritas muslim.
Tanpa dinyana, tiba-tiba masuk sekelompok ulama tradisional dengan bersorban dan berjubah menginterupsi jalannya prosesi ritual ini. Disertai pendukungnya yang berompi dan berjaket, sambil meneriakkan “Allahu Akbar” berkali-kali, mereka menuntut tata laksana ibadah ini diubah sesuai tradisi mazhab Syafiiyah dan Maturidiyah. Mereka memaksa kumandang azan dua kali dan khatib diwajibkan memegang tombak atau tongkat. Kalau tidak begitu, dianggap tidak sah.
Para ulama tradisional dan pendukungnya adalah dari Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), Majelis Ulama Nanggroe Aceh (MUNA), dan Front Pembela Islam (FPI) yang resah dengan maraknya pengaruh Wahabisme di Aceh. Fenomena merebaknya benturan mazhab antaraWahabi dan kalangan tradisional Islam telah membuat banyak orang bertanya- tanya tentang apa itu Wahabi, bagaimana sejarahnya, dan apa bahaya dari mewabahnya aliran atau sekte yang dianggap radikal ini? Tulisan ini berusaha menjawab pertanyaan tersebut secara sekilas untuk mendudukkan perkara yang sebenarnya agar tidak terjadi kesalahpahaman yang bisa berakibat fatal.
Pada dasarnya, Islam itu hanya satu. Karena perkembangan sejarah, politik, ekonomi, dan budaya, Islam ikut berkembang berdasarkan wilayah persebarannya. Geopolitik Islam kontemporer sekarang ini menjadi tidak lagi satu, monolitik, dan integral seperti pada masa Nabi Muhammad SAW. Kini terdapat banyak kelompok, pecahan, aliran, sekte, dan mazhab yang cukup beragam.
Perpecahan pertama adalah pembelahan ideologis yang sangat besar antara (1) Sunni dan (2) Syiah. Sunni dan Syiah ini juga terpecah dalam berbagai kelompok-kelompok atau sekte dan mazhab yang semuanya mengklaim dirinya yang paling benar. Tidak akan ada kemunculan kelompok baru tanpa klaim kebenaran. Klaim kebenaran inilah yang menyebabkan terjadi perpecahan di dalam Islam.
Sunni adalah mazhab besar kaum pengikut ahlus sunnah wal jamaah yang sangat menghormati Nabi Muhammad SAW, beserta seluruh sahabat, dan keluarganya. Muhammadiyahdan Nahdlatul Ulama (NU), Persis, Al Washliyah, Al Irsyad, Perti, Masyumi, DI atau NII, JI, MMI, JAT, dan JAS adalah termasuk ke dalam kelompok Sunni.
Syiah adalah mazhab yang selektif dalam mengakui sahabat Nabi Muhammad SAW dan keluarganya. Mereka hanya mengagumi Ali ibn Abi Thalib RA dan anaknya yang kedua, Husen, dari 11 anak Ali RA. Karena minoritas, kelompok Syiah di Indonesia hanya sedikit dan organisasinya pun (beserta pecahannya) tak begitu tampil ke permukaan. Antara Sunni dan Syiah pun sering terjadi bentrokan yang melibatkan kekerasan berdarah.
Di kalangan Sunni perpecahan juga banyak terjadi dan membentuk banyak kelompok keagamaan, mazhab, sekte, dan aliran yang sangat beragam. Wahabi adalah salah sebuah mazhab dalam kalangan Sunni. Baru-baru ini di Madura ada sebuah lagu yang berjudul Wahabi yang sangat lugas menggambarkan apa itu aliran yang dianggap radikal oleh banyak kalangan.
Lagu itu menggambarkan Wahabi tidak suka maulid nabi, tidak mau tahlilan, tidak setuju ziarah kubur, tidak mengakui qunut, dan menganggap semua orang Islam di luar kelompoknya sebagai sesat, bidah , atau bahkan kafir. Stigma buruk sering disematkan kepada Wahabi dan label ekstrem sering ditujukan kepada kelompok ini. Dalam banyak hal lagu ini ada benarnya, namun tidak semua Wahabi berperilaku demikian.
Asal Wahabi
Menurut Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu (1986), Wahabi adalah paham keagamaan yang dianut kalangan yang tidak suka kepada adatistiadat dan kebiasaan yang menyimpang yang mengharap kekuatan leluhur, melanggar tradisi adat, tidak mau ikut maulid Nabi Muhammad SAW, tidak percaya kepada sunan, wali, dan keramat-keramatnya, antitakhayul, khurafat, dan bidah . Kata Wahabi adalah nisbat kepada Muhammad bin Abdul Wahab, padahal Abdul Wahab adalah nama ayahnya yang tidak pernah menulis satu kitab fikih pun.
Nisbat kepada nama Abdul Wahab ini dibuat oleh kalangan ilmuwan Barat yang biasanya mengambil nama belakang untuk katalogisasi kepustakaan. Wahabi digagas oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1792), seorang reformis (mujaddid ) Islam dari Najd, Arab Saudi, yang muncul di tengah galaunya umat Islam yang lama terasuh di bawah empat mazhab statis (Syafii, Maliki, Hambali, dan Hanafi).
Ia seorang mufti dari Daulah Suudiyah, cikal bakal Kerajaan Arab Saudi yang kita kenal sekarang. Muhammad bin Abdul Wahab menyeru kaumnya kepada tauhid, hanya berdoa memohon kepada Allah tanpa perantara, tidak mengagungkan para wali dan orang alim atau ulama atau orang-orang saleh sebagai orang yang lebih istimewa dan menolak menyembah kuburan.
Wahabi menganut prinsip egaliter dalam beribadah. Muhammad bin Abdul Wahab ini dianggap sebagai pembuat mazhab kelima setelah mazhab Syafii, Hambali, Hanafi, dan Maliki. Muhammad bin Abdul Wahab banyak menulis kitab yang isinya sejalan dengan pemikiran- pemikiran Ibnu Taymiyyah, Ibnu al-Qayyim, dan Ahmad bin Hanbal.
Karena dipengaruhi oleh pemikiran dari Ahmad bin Hanbal, Wahabisme ini agak mirip dengan mazhab Hambali. Pemikiran Wahabi ini kemudian dikembangkan oleh Bin Baz, Uthaymin, Syek Ahmad Khan, Jamaluddin Al Afghani, Rashid Ridha, Muhammad Abduh, HOS Tjokroaminoto, SM Kar-tosoewirjo, kemudian periode pascakolonialisme Sayyid Qutb, Muhammad Qutb, Hasan Al Banna, Abul Ala Al Maududi, Yusuf Qardhawi, Nashiruddin Al Albani, Bin Baz, kemudian ke masa revolusi di Afghanistan masa Abdullah Azzam, Osama Bin Laden, Ayman Al Zawahiry, hingga ke periode konflik Irak dan Suriah oleh Abu Mushab As Shuri.
Tipologi Wahabi
Wahabi tidak monolitik, artinya kelompok ini juga terpecah ke dalam beberapa varian yang satu sama lainnya tidak bersahabat, terkadang saling bermusuhan, atau bahkan juga bisa menjurus ke konflik berdarah. Wahabi sebenarnya adalah istilah yang generik untuk menyebut atau merujuk kepada kelompok salafi.
Namun, karena kaum tradisional Islam pun mengklaim dirinya sebagai salafi (yang melaksanakan tradisi Salafussholeh), label Wahabi dipilih agar mudah membedakannya secara teologis dengan kelompok-kelompok yang bukan Wahabi. Terminologi Wahabi pun dipakai sebagai eufemisme karena ada kelompok tertentu yang sangat sensitif dengan nama salafi. Secara antropologis terdapat setidaknya tiga tipologi Wahabisme di Indonesia yang bisa saya amati.
Pertama, Wahabi Shururi atau Wahabi yang dianggap antimaulid, antiazan dua kali, antitahlil, antiziarah kubur, dan antijihad dan sering menganggap masyarakat yang melawan pemerintah sebagai bughot (pemberontak). Kedua, Wahabi Jihadi, yaitu kelompok yang lebih fokus pada jihad dan berusaha melawan setiap kebijakan pemerintah, juga memiliki sikap penolakan yang sama dengan kelompok pertama.
Wahabi Jihadi di Indonesia pernah muncul dengan nama Darul Islam (DI) di Jawa Barat pada 1949 (dengan tokohnya Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo), Jawa Tengah pada 1950 (Amir Fatah Widjaja Kusuma), Sulawesi Selatan pada 1951 (Kahar Muzakkar), Kalimantan Selatan pada 1952 (Ibnu Hajar), dan Aceh pada 1953 (Daud Beureueh).
Kemudian ada juga Jamaah Islamiyyah (JI) pada 1992 hingga pada 2010 yang dituduhkan kepada Ustaz Abdullah Sungkar dan Abubakar Baasyir, Dr Azhari, Noordin Mat Top, Amrozi, Imam Samudra, Ali Ghufron, dan Ali Imron. Terakhir, kelompok Wahabi Jihadi ini muncul dalam bentuk Tanzhim Al Qaeda Serambi Mekkah (TQSM) dan banyak aktivisnya yang tertangkap setelah terbongkarnya kegiatan idad (persiapan/ latihan perang) di Bukit Jalin, Aceh Besar pada 2010.
Kelompok Wahabi Jihadi ini kini lebih kalem dan memilih jalur dakwah bil hikmah dalam kegiatan kesehariannya. Ketiga, Wahabi Takfiri yang suka menuduh orang lain di luar kelompoknya sebagai pelakubidah atau malah kafir. Kelompok ini ada di Aceh saat ini dan masih setia dengan baiat nya untuk mendukung Negara Islam Irak dan Syam (NIIS) atau lebih dikenal dengan ISIS.
Di internal kalangan Wahabi ini sendiri juga terjadi saling tuding dan saling tuduh sesatmenyesatkan. Di tengah kiprah Wahabi dalam konflik komunal di Peristiwa Cumbok di Aceh (1946), Ambon (1999), Poso (2001), dan lain-lain tempat, juga ada kiprah Wahabi dalam kekerasan politik di Sulawesi Selatan serta kiprah Wahabi dalam terorisme yang diperankan oleh Jamaah Islamiyyah, Darul Islam, dan sebagainya sejak 2000 hingga 2014. Inilah yang kemudian membuat Wahabi menjadiparagon of ugly yang sulit untuk dibantah.
Seharusnya Wahabi lebih tampil sebagai paragon of beauty dan mengharumkan agama Islam di mata dunia. Kejadian-kejadian kekerasan di Irak dan Suriah di mana ISIS memperlihatkan kekejamannya yang mengerikan telah membuat Wahabi sebagai pihak yang dianggap bertanggung jawab secara teologis atas kekerasan dan kebiadaban selama ini. Padahal, banyak sekali jasa Wahabi dalam membela kaum tertindas di muka bumi ini.
Bantuan kepada pengungsi Rohingya justru datang dari Arab Saudi yang dianggap sebagai negara Wahabi. Kita haruslah menilai Wahabi ini secara lebih adil sebelum menjatuhkan stigma atau label radikal, ekstremis, dan teroris kepada semuanya yang berasal dari mainstream Wahabi.
Padahal, ada Wahabi yang antijihad, yang antipemberontakan, dan juga Wahabi yang bisa menerima ziarah kubur, tahlil, maulidan, juga masih bersedia datang ke kenduri-kenduri untuk menyantap hidangan. Di tengah banyaknya tudingan terhadap kalangan Wahabi yang dianggap telah mempermalukan agama Islam, namun harus diakui bahwa ada banyak jasa Wahabi dalam membela kaum tertindas, khususnya yang beragam Islam.
Hampir dapat dipastikan kebanyakan yang dibela oleh Wahabi adalah umat Islam tanpa membedakan sekte dan mazhab. Bantuan kemanusiaan yang diberikan kaum Wahabi menyebar ke seluruh dunia dalam bentuk filantropi zakat, sedekah, kurban, dan pembangunan masjid serta lembaga pendidikan.
(bbg)