Balada Prajurit dan Hercules Tua
A
A
A
Sampai kapan pesawat TNI mengalami musibah? Pertanyaan ini seolah tiada habisnya dan belum juga menemukan jawabannya.
Malahan, terakhir, urgensi pertanyaan tersebut dikonfirmasi oleh kecelakaan pesawat Hercules C-130 milik TNI Angkatan Udara (AU) di Jalan Jamin Ginting, Medan, Sumatera Utara. Kecelakaan itu terasa menyesakkan dada. Bukan karena pesawatnya jatuh, tapi lantaran begitu banyak orang yang menjadi korban, yakni 142 orang. Di antara mereka adalah anak-anak terbaik bangsa yang selama ini mengabdikan diri untuk menjaga tiap jengkal tanah republik ini dari ancaman siapa pun.
Ada pilot, kopilot, dan semua kru Hercules; ada personel Paskhas TNI AU dan semua anggota TNI yang turut dalam penerbangan. Seperti memutar kaset lama, peristiwa tersebut merupakan ulangan kecelakaan pesawat sejenis yang jatuh di Magetan pada 2009 silam dengan jumlah korban yang juga melampaui 100 orang. Pada tahun sama, pesawat milik TNI lainnya, Fokker 27, juga jatuh dan terbakar di hanggar Husein Sastranegara dengan korban sebanyak 24 orang.
Sebagian besar mereka adalah siswa Paskhas TNI AU. Fokker kembali jatuh pada 2012 di Pangkalan Halim Perdanakusuma Jakarta dengan korban tewas 10 orang. Terlepas dari persoalan penyebab kecelakaan, kedua jenis pesawat angkut tersebut sama-sama pesawat tua. Pesawat Fokker merupakan buatan Belanda tahun 1975. Setelah kecelakaan di Halim Perdanakusuma, TNI AU memutuskan semua pesawat jenis tersebut di-grounded.
Hingga kecelakaan ini , belum satu kata pun keluar dari pimpinan TNI tentang rencana meng-grounded pesawat Hercules C-130. Padahal, Hercules merupakan peninggalan Presiden Pertama RI Soekarno sebagai barter atas Allan Pope, pilot swasta asal AS yang ditahan Indonesia setelah pesawatnya tertembak jatuh saat membantu PRRI/Permesta 1958.
Dengan demikian, Hercules C-130 sudah hampir 60 tahun melayani negeri ini. Dalam usia yang sudah demikian tua, ”Putra Dewa Zeus” dalam mitologi Yunani tersebut masih wara-wiri menyambangi pangkalan udara Indonesia yang tersebar dari Sabang hingga Merauke untuk melayani misi militer. Hercules juga harus siap menjalankan tugas nonmiliter untuk mengangkut bantuan di daerah bencana maupun saat terjadi musibah lain seperti membantu pencarian pesawat AirAsia yang jatuh di Laut Jawa pada akhir 2012 lalu.
Dalam logika awam, sangat tidak masuk akal jika pesawat yang sudah tua masih terbang tinggi di udara demi menjalankan tugas begitu berat dan berbahaya demikian. Sebagai perbandingan, saat ini kita sudah tidak menjumpai truk, bahkan kendaraan pribadi keluaran tahun sama yang tidak lagi berlalu-lalang di jalanan. Kalaupun ada, itu tidak lebih sebagai barang koleksi yang sesekali turun ke jalanan hanya untuk dipamerkan. Mestinya, dengan risiko yang demikian tinggi, Hercules C-130 sudah harus duduk manis di museum penerbangan menempati pojok jalan atau taman seperti legenda perang Timor-Timur, OV-F10 Bronco, yang usianya lebih muda daripada Hercules.
Meskipun sudah diretrofit, pengoperasian pesawat yang sudah sedemikian tua dari sisi apa pun tetap sangat berisiko. Tapi, apalahdaya, jumlahpesawatangkutTNImasihsangat terbatas. Saat ini TNI AU masih mengoperasikan 10 Hercules untuk angkut maupun pengisi bahan bakar dan sedang dalam proses menerima 9 pesawat bekas dari Australia, 16 CN235, dan sedang memesan C-295. Jumlah ini masih jauh dari kebutuhan meng-cover luas wilayah RI sebesar 5.193.250 km2.
Idealnya, seluruh Hercules seri lama dikandangkan. Sebagai gantinya TNI AU membeli pesawat angkut berat lebih baru seperti C-17 Globemaster III, Airbus A400 M. Tapi harganya sangat mahal dan anggaran pertahanan yang ada juga harus dialokasi untuk alutsista lain. AtaubisajugaTNIAU membelilebihbanyakC-295 yangbisadiproduksi sendiri oleh PT DI. Tapi lagi-lagi hal tersebut juga membutuhkan dana.
Dengan fakta demikian, dalam beberapa tahun ke depan, para prajurit TNI harus lebih banyak berdoa karena masih akan terus beradu nyawa di langit bersama Hercules tua. Adapun ”si badak” itu pun harus rela melanjutkan pengabdian, entah sampai kapan bisa istirahat. Itulah balada prajurit dan Hercules tua.
Malahan, terakhir, urgensi pertanyaan tersebut dikonfirmasi oleh kecelakaan pesawat Hercules C-130 milik TNI Angkatan Udara (AU) di Jalan Jamin Ginting, Medan, Sumatera Utara. Kecelakaan itu terasa menyesakkan dada. Bukan karena pesawatnya jatuh, tapi lantaran begitu banyak orang yang menjadi korban, yakni 142 orang. Di antara mereka adalah anak-anak terbaik bangsa yang selama ini mengabdikan diri untuk menjaga tiap jengkal tanah republik ini dari ancaman siapa pun.
Ada pilot, kopilot, dan semua kru Hercules; ada personel Paskhas TNI AU dan semua anggota TNI yang turut dalam penerbangan. Seperti memutar kaset lama, peristiwa tersebut merupakan ulangan kecelakaan pesawat sejenis yang jatuh di Magetan pada 2009 silam dengan jumlah korban yang juga melampaui 100 orang. Pada tahun sama, pesawat milik TNI lainnya, Fokker 27, juga jatuh dan terbakar di hanggar Husein Sastranegara dengan korban sebanyak 24 orang.
Sebagian besar mereka adalah siswa Paskhas TNI AU. Fokker kembali jatuh pada 2012 di Pangkalan Halim Perdanakusuma Jakarta dengan korban tewas 10 orang. Terlepas dari persoalan penyebab kecelakaan, kedua jenis pesawat angkut tersebut sama-sama pesawat tua. Pesawat Fokker merupakan buatan Belanda tahun 1975. Setelah kecelakaan di Halim Perdanakusuma, TNI AU memutuskan semua pesawat jenis tersebut di-grounded.
Hingga kecelakaan ini , belum satu kata pun keluar dari pimpinan TNI tentang rencana meng-grounded pesawat Hercules C-130. Padahal, Hercules merupakan peninggalan Presiden Pertama RI Soekarno sebagai barter atas Allan Pope, pilot swasta asal AS yang ditahan Indonesia setelah pesawatnya tertembak jatuh saat membantu PRRI/Permesta 1958.
Dengan demikian, Hercules C-130 sudah hampir 60 tahun melayani negeri ini. Dalam usia yang sudah demikian tua, ”Putra Dewa Zeus” dalam mitologi Yunani tersebut masih wara-wiri menyambangi pangkalan udara Indonesia yang tersebar dari Sabang hingga Merauke untuk melayani misi militer. Hercules juga harus siap menjalankan tugas nonmiliter untuk mengangkut bantuan di daerah bencana maupun saat terjadi musibah lain seperti membantu pencarian pesawat AirAsia yang jatuh di Laut Jawa pada akhir 2012 lalu.
Dalam logika awam, sangat tidak masuk akal jika pesawat yang sudah tua masih terbang tinggi di udara demi menjalankan tugas begitu berat dan berbahaya demikian. Sebagai perbandingan, saat ini kita sudah tidak menjumpai truk, bahkan kendaraan pribadi keluaran tahun sama yang tidak lagi berlalu-lalang di jalanan. Kalaupun ada, itu tidak lebih sebagai barang koleksi yang sesekali turun ke jalanan hanya untuk dipamerkan. Mestinya, dengan risiko yang demikian tinggi, Hercules C-130 sudah harus duduk manis di museum penerbangan menempati pojok jalan atau taman seperti legenda perang Timor-Timur, OV-F10 Bronco, yang usianya lebih muda daripada Hercules.
Meskipun sudah diretrofit, pengoperasian pesawat yang sudah sedemikian tua dari sisi apa pun tetap sangat berisiko. Tapi, apalahdaya, jumlahpesawatangkutTNImasihsangat terbatas. Saat ini TNI AU masih mengoperasikan 10 Hercules untuk angkut maupun pengisi bahan bakar dan sedang dalam proses menerima 9 pesawat bekas dari Australia, 16 CN235, dan sedang memesan C-295. Jumlah ini masih jauh dari kebutuhan meng-cover luas wilayah RI sebesar 5.193.250 km2.
Idealnya, seluruh Hercules seri lama dikandangkan. Sebagai gantinya TNI AU membeli pesawat angkut berat lebih baru seperti C-17 Globemaster III, Airbus A400 M. Tapi harganya sangat mahal dan anggaran pertahanan yang ada juga harus dialokasi untuk alutsista lain. AtaubisajugaTNIAU membelilebihbanyakC-295 yangbisadiproduksi sendiri oleh PT DI. Tapi lagi-lagi hal tersebut juga membutuhkan dana.
Dengan fakta demikian, dalam beberapa tahun ke depan, para prajurit TNI harus lebih banyak berdoa karena masih akan terus beradu nyawa di langit bersama Hercules tua. Adapun ”si badak” itu pun harus rela melanjutkan pengabdian, entah sampai kapan bisa istirahat. Itulah balada prajurit dan Hercules tua.
(bhr)