Kepercayaan Publik terhadap DPR
A
A
A
Jika sudah ada ketidakpercayaan yang besar, apa pun rasionalisasi yang dilemparkan suatu pihak tak akan bisa diterima pihak lain. Kurang lebih hal itulah yang terjadi pada DPR saat ini jika berhadapan dengan rakyat.
Segala macam usulan program dari DPR yang dianggap bisa memberikan privilese atau kemudahan bagi para anggotanya serta-merta akan mendapatkan penolakan publik yang luar biasa. Ada kecurigaan yang sangat besar dari publik terhadap segala tindak-tanduk DPR. Situasi ini tentu di satu sisi menguntungkan karena DPR jadi tidak bisa seenaknya dalam menjalankan fungsinya, tetapi di sisi lain bisa mendatangkan masalah besar bagi sistem perpolitikan negeri ini.
Sekalipun suatu waktu DPR menghasilkan atau memprogramkan suatu rencana legislasi yang baik, tetap nada miring yang akan menyambutnya. DPR jelas sudah harus serius untuk memperbaiki citranya. Karena kalau tidak, semua usulannya akan ditanggapi sinis oleh publik.
Sebelumnya kita ingat berbagai usulan DPR mengenai anggaran untuk Dewan disudutkan publik. Lihat saja rencana pembangunan gedung untuk DPR. Kalau kita melihat skala kebutuhannya tentu sangat rasional. Ruang kerja DPR sangat kecil, bahkan terkesan sesak jika diisi tiga staf. Sementara ke depan anggota DPR butuh lebih banyak staf untuk mendorong anggota DPR yang kian profesional.
Namun publik tak menerima logika tersebut karena ketidak percayaan terhadap DPR. Tentu DPR tidak bisa seterusnya menggunakan kacamata kuda dalam menghadapi kekecewaan publik. Salah satu yang terbaru adalah konsep Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) yang lazim dikenal masyarakat dengan nama dana aspirasi.
Publik habis-habisan mencerca langkah DPR yang mengusulkan agar UP2DP bisa masuk dalam APBN 2016. Konsep tersebut akan memberikan kesempatan anggota DPR mengusulkan program pembangunan di daerah pemilihannya (dapil) dengan plafon Rp20 miliar tiap anggota. Dana ini baru saja disetujui rapat paripurna DPR pada Selasa (23/6) lalu untuk diajukan sebagai usulan DPR untuk masuk ke APBN 2016.
Total jika gol akan ada Rp11,2 triliun anggaran APBN 2016 yang penggunaannya akan dialokasikan anggota DPR langsung. Memang konsep ini terkesan menarik karena dianggap bisa menarik langsung aspirasi dari daerah. Anggota Dewan pun tak usah lagi merogoh kocek pribadi untuk program-program di dapilnya yang selama ini menjadi salah satu pendorong terjadinya korupsi, selain alasan ketamakan.
Bahkan penggunaan dana aspirasi bisa menjadi salah satu tolok ukur kinerja anggota Dewan di dapilnya, selain tentu kinerjanya di pusat. Dari sini mungkin kita bisa melihat makin banyak anggotaDewanyangbisabertahandiSenayandalambeberapaperiode berturut-turut karena dianggap rakyat serius membangun dapilnya.
Namun jika ditilik lebih lanjut, ini adalah langkah instan dari sebagian fraksi di DPR dalam menyikapi pembangunan di dapil masing-masing. Para pengusung program UP2DP ini seperti mengibarkan bendera putih untuk memperjuangkan daerahnya dalam proses penyusunan RAPBN sehingga dana aspirasi menjadi sarana paling mudah dan jalan instan. Ada ancaman juga bagi konsep ketatanegaraan.
Kita tahu bahwa negeri ini mengusung konsep trias politica dengan pembagian tiga cabang kekuasaan yang jelas, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pada titik ini DPR masuk terlalu jauh dalam cabang kekuasaan eksekutif. Harusnya DPR porsinya mengawasi agar semua daerah mendapatkan porsi pembangunan yang proporsional, bukannya menentukan program-program cabang kekuasaan eksekutif, sekalipun DPR berkelit masih dalam skema APBN.
Ada risiko pula akan ketidaksinkronan dengan rencana pembangunan nasional seperti denganRencanaPembangunanJangkaMenengah Nasional (RPJMN). Kemungkinan besar jika dana aspirasi digolkan dalam bentuk disetujui Presiden Jokowi, rencana-rencana yang tersusun akan terdistorsi dengan usulan tiap dapil anggota Dewan. Tentunya kita harus menghindari spontanitas-spontanitas usulan yang mungkin tidak selaras dengan agenda nasional sekalipun kita tetap mendorong pemerintah perlu punya spontanitas.
Segala macam usulan program dari DPR yang dianggap bisa memberikan privilese atau kemudahan bagi para anggotanya serta-merta akan mendapatkan penolakan publik yang luar biasa. Ada kecurigaan yang sangat besar dari publik terhadap segala tindak-tanduk DPR. Situasi ini tentu di satu sisi menguntungkan karena DPR jadi tidak bisa seenaknya dalam menjalankan fungsinya, tetapi di sisi lain bisa mendatangkan masalah besar bagi sistem perpolitikan negeri ini.
Sekalipun suatu waktu DPR menghasilkan atau memprogramkan suatu rencana legislasi yang baik, tetap nada miring yang akan menyambutnya. DPR jelas sudah harus serius untuk memperbaiki citranya. Karena kalau tidak, semua usulannya akan ditanggapi sinis oleh publik.
Sebelumnya kita ingat berbagai usulan DPR mengenai anggaran untuk Dewan disudutkan publik. Lihat saja rencana pembangunan gedung untuk DPR. Kalau kita melihat skala kebutuhannya tentu sangat rasional. Ruang kerja DPR sangat kecil, bahkan terkesan sesak jika diisi tiga staf. Sementara ke depan anggota DPR butuh lebih banyak staf untuk mendorong anggota DPR yang kian profesional.
Namun publik tak menerima logika tersebut karena ketidak percayaan terhadap DPR. Tentu DPR tidak bisa seterusnya menggunakan kacamata kuda dalam menghadapi kekecewaan publik. Salah satu yang terbaru adalah konsep Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) yang lazim dikenal masyarakat dengan nama dana aspirasi.
Publik habis-habisan mencerca langkah DPR yang mengusulkan agar UP2DP bisa masuk dalam APBN 2016. Konsep tersebut akan memberikan kesempatan anggota DPR mengusulkan program pembangunan di daerah pemilihannya (dapil) dengan plafon Rp20 miliar tiap anggota. Dana ini baru saja disetujui rapat paripurna DPR pada Selasa (23/6) lalu untuk diajukan sebagai usulan DPR untuk masuk ke APBN 2016.
Total jika gol akan ada Rp11,2 triliun anggaran APBN 2016 yang penggunaannya akan dialokasikan anggota DPR langsung. Memang konsep ini terkesan menarik karena dianggap bisa menarik langsung aspirasi dari daerah. Anggota Dewan pun tak usah lagi merogoh kocek pribadi untuk program-program di dapilnya yang selama ini menjadi salah satu pendorong terjadinya korupsi, selain alasan ketamakan.
Bahkan penggunaan dana aspirasi bisa menjadi salah satu tolok ukur kinerja anggota Dewan di dapilnya, selain tentu kinerjanya di pusat. Dari sini mungkin kita bisa melihat makin banyak anggotaDewanyangbisabertahandiSenayandalambeberapaperiode berturut-turut karena dianggap rakyat serius membangun dapilnya.
Namun jika ditilik lebih lanjut, ini adalah langkah instan dari sebagian fraksi di DPR dalam menyikapi pembangunan di dapil masing-masing. Para pengusung program UP2DP ini seperti mengibarkan bendera putih untuk memperjuangkan daerahnya dalam proses penyusunan RAPBN sehingga dana aspirasi menjadi sarana paling mudah dan jalan instan. Ada ancaman juga bagi konsep ketatanegaraan.
Kita tahu bahwa negeri ini mengusung konsep trias politica dengan pembagian tiga cabang kekuasaan yang jelas, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pada titik ini DPR masuk terlalu jauh dalam cabang kekuasaan eksekutif. Harusnya DPR porsinya mengawasi agar semua daerah mendapatkan porsi pembangunan yang proporsional, bukannya menentukan program-program cabang kekuasaan eksekutif, sekalipun DPR berkelit masih dalam skema APBN.
Ada risiko pula akan ketidaksinkronan dengan rencana pembangunan nasional seperti denganRencanaPembangunanJangkaMenengah Nasional (RPJMN). Kemungkinan besar jika dana aspirasi digolkan dalam bentuk disetujui Presiden Jokowi, rencana-rencana yang tersusun akan terdistorsi dengan usulan tiap dapil anggota Dewan. Tentunya kita harus menghindari spontanitas-spontanitas usulan yang mungkin tidak selaras dengan agenda nasional sekalipun kita tetap mendorong pemerintah perlu punya spontanitas.
(bhr)