Reshuffle, Tunggu Apa Lagi?

Sabtu, 20 Juni 2015 - 11:53 WIB
Reshuffle, Tunggu Apa...
Reshuffle, Tunggu Apa Lagi?
A A A
Setelah tenggelam untuk beberapa saat, wacana bongkar pasang Kabinet Kerja kembali mengemuka. Sinyal itu disampaikan langsung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) ketika meminta laporan kinerja enam bulanan kepada para menterinya.

Desakan agar Presiden Jokowi mengganti para menteri yang kurang mampu sudah bergulir sejak 100 hari pemerintahan bekerja. Kabinet Kerja dinilai lamban dan kurang gereget untuk memenuhi harapan rakyat kepada Presiden Jokowi. Banyak janji-janji kampanye yang belum terlaksana karena berbagai sebab.

Kondisi diperburuk situasi ekonomi global yang kurang kondusif dan mengakibatkan tertekannya perekonomian nasional. Pertumbuhan ekonomi kuartal I 2015 yang jauh dari harapan (hanya sekitar 4,7%), nilai tukar rupiah yang terus merosot terhadap dolar Amerika (USD), defisit neraca perdagangan, lambannya belanja pemerintah, harga-harga kebutuhan pokok, kenaikan harga BBM dan tarif listrik adalah rangkaian persoalan yang muncul akibat kelemahan kerja kabinet.

Namun menuntut pergantian menteri yang baru bekerja dalam waktu 100 hari memang terlalu dini. Waktu 3 bulan pertama bagi seorang menteri adalah masa-masa sulit. Menteri baru harus mengenal betul siapa partner kerjanya di birokrasi, bagaimana mengidentifikasi masalah-masalah yang ada di kementeriannya, menentukan skala prioritas, kemudian menyelaraskan keinginan Presiden dengan fakta-fakta di lapangan yang dihadapi.

Belum lagi banyaknya kelompok kepentingan dan kelompok penekan yang bisa jadi faktor pengganggu yang paling bandel. Tentu saja, menangani persoalan itu bukan urusan mudah. Tapi bagaimanapun menteri sudah disumpah sewaktu pelantikan bahwa mereka akan bekerja maksimal untuk kepentingan bangsa dan negara. Apa pun risiko yang dihadapi, menteri harus menjalankan tugas-tugasnya sebagai pembantu Presiden.

Jika memang merasa diri tidak mampu, akan lebih elegan jika dari awal menyatakan mundur kepada atasannya. Daripada menimbulkan masalah dan menjadi beban dalam tubuh kabinet, mengundurkan diri adalah pilihan yang baik. Tapi memang tidak semudah dikatakan. Butuh keberanian dan nyali besar bagi seorang menteri untuk melepas jabatan yang sudah diantre banyak orang itu.

Kita belum punya kebiasaan seperti itu meskipun sudah ada satu dua kasus yang pernah terjadi dalam perpolitikan nasional. Nah, jika menteri yang kurang cakap itu terus bertahan di kabinet, padahal posisinya sangat vital, tentu saja kinerja tim akan terganggu. Tidak ada cara lain kecuali Presiden yang meminta baikbaik anak buahnya itu untuk mengundurkan diri sesuai dengan adat ketimuran yang kita anut.

Tapi jika sang menteri tetap bersikukuh menolak mundur, berarti bola ada di tangan Presiden. Dia memiliki hak prerogatif untuk mengganti para pembantunya dengan alasan subjektif maupun objektif. Inilah yang dinamakan reshuffle kabinet. Reshuffle adalah hak yang melekat pada diri Presiden yang dijamin undang-undang.

Siapa pun tidak boleh menghalangi jika Presiden ingin mengganti menterinya. Namun siapa saja boleh memberikan pandangan, pendapat, opini kepada Presiden sejauh keputusan itu belum diketuk. Tapi ketika sudah diketuk, tidak ada yang bisa dilakukan kecuali menerima keputusan itu. Kecewa atau gembira dengan pilihan Presiden, itu hal yang wajar.

Jika ternyata pilihan Presiden banyak mengecewakan, hukuman akan dijatuhkan masyarakat pada Pemilu 2019 nanti. Karenaitu, agar publik tidak disuguhi harapan palsu lagi, sebaiknya Presiden tidak perlu mengumbar statemen yang justru memperkeruh situasi. Silakan saja copot menteri atau pejabat yang tidak mampu bekerja secepatnya.

Ganti dengan orang-orang kredibel dan bisa bekerja cepat dan tepat. Jangan jadikan reshuffle sebagai ajang pengalihan isu atau strategi buying time . Rupiah butuh pertolongan cepat, sektor riil perlu segera bergerak, dan janji-janji perlu segera ditunaikan. Ini saatnya bertindak bukan berwacana.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8386 seconds (0.1#10.140)