Pancasila dan Kisruh PSSI

Kamis, 18 Juni 2015 - 08:57 WIB
Pancasila dan Kisruh PSSI
Pancasila dan Kisruh PSSI
A A A
Sabtu, 30 Mei 2015, resmi FIFA menjatuhkan sanksi pada PSSI. Bekunya persepakbolaan nasional akibat sanksi FIFA adalah buah kekisruhan politik antara PSSI dan Kemenpora.

Baik PSSI dan Kemenpora memiliki argumennya sendiri akan kasus intervensi PSSI oleh Kemenpora. Kedua pihak merasa paling benar dan berhak untuk mengurusi masalah sepak bola Tanah Air. Tidak ada yang mau mengalah hingga tenggat waktu penyelesaian yang diberikan oleh FIFA. Tidak ada rasa pengertian, kedewasaan, dan pemikiran untuk mengedepankan kepentingan nasional dibanding ego masingmasing pihak.

Sementara jika kita membandingkan 70 tahun silam, ada peristiwa besar negara ini. Pancasila dirumuskan sebagai dasar republik yang masih prematur. Ego kesukuan, agama, dan simbol- simbol primordial masih kental saat itu. Namun adakah kita lihat Ir. Soekarno, Mr. Muh. Yamin, atau Mr. Soepomo saling memaksakan argumen mereka? Adakah ketiga tokoh itu ngambek-ngambekan gara-gara merasa gagasan masing-masing sebagai yang paling ok untuk menyusun Republik?

Padahal, proses penyusunan Pancasila jauh lebih sakral daripada isu persepakbolaan Tanah Air. Bahkan dapat kita lihat, suatu kede-wasaan politik dan pengesampingan ego golongan, ketika kalimat pertama Pancasila, ”Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, diubah menjadi ”Ketuhanan yang Maha Esa”. Siapa yang mengubahnya? Bukan tokoh Hindu, Buddha, Kristen, atau Katolik, namun tokoh-tokoh Islam itu sendiri.

Proses pengambilan keputusan, berpolitik, dan mengurus hajat publik dewasa ini, hendaknya berkaca kembali pada proses perumusan Pancasila puluhan tahun silam. Tidak ada ego golongan, suku, agama, atau kelompok- kelompok kepentingan lainnya. Semua demi kemajuan bangsa dan negara. PSSI dan Kemenpora harus membuka kembali buku pelajaran SDnya, agar mereka paham bagaimana proses menyusun kebijakan seperti Pancasila.

Namun sayangnya, mereka berbicara lain. Tidak ada rasa bersalah atau mengalah satu sama lain, bahkan ketika palu telah diketuk dan sanksi telah dilemparkan. Bangsa ini harusnya bergerak maju sejak puluhan tahun silam, termasuk dalam proses dan kedewasaan berpolitik, bukan justru berjalan mundur. PSSI dan Kemenpora harus segera menyelesaikan masalah persepakbolaan Tanah Air.

Sepak bola sangat dekat dengan rasa nasionalisme. Jika isu sepak bola ini tidak ditangani dengan baik dan cepat, bukan tidak mungkin nasionalisme kita akan goyah. Ribuan rakyat Papua sudah marah beberapa waktu lalu gara-gara Persipura tidak jadi tampil di AFC Cup. Jika hal ini dibiarkan berlarutlarut, bukan tidak mungkin isu separatis akan kembali muncul. Padahal ini bukanlah hal yang dicita-citakan Pancasila.

Jika sampai hal ini terjadi, maka berdukalah kita untuk Ir. Soekarno, Mr. M Yamin, Mr. Soepomo, serta panitia perumus Pancasila lainnya.

Izzan Fathurrahman
Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Anggota Badan Otonom Pers Suara Mahasiswa
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6182 seconds (0.1#10.140)