Status (Doktrin) Agama-Agama Pra-Islam

Rabu, 17 Juni 2015 - 08:08 WIB
Status (Doktrin) Agama-Agama Pra-Islam
Status (Doktrin) Agama-Agama Pra-Islam
A A A
Faisal Ismail
Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

”Islam tidak Menganulir Agama- Agama Pra-Islam”. Demikian judul tulisan Imas Damayanti yang diangkat dari acara peluncuran buku Sadullah Afandy, Menyoal Status Agama Pra-Islam.

Menurut penulis buku, kedatangan agama Islam tidak mengabrogasi (menghapus) status agama-agama sebelum Islam. Agama Yahudi dan Nasrani/Kristen yang sudah eksis jauh sebelum kedatangan agama Islam tidak dibatalkan oleh agama Islam yang datang kemudian.

Karena agama Yahudi dan Nasrani itu tidak dibatalkan, dua agama tersebut masih tetap diberlakukan oleh Allah sesudah kedatangan agama Islam dan tentu berlanjut sampai sekarang ini. Sadullah bahkan berpendapat, teori nasikh (penghapusan) itu tidak hanya tidak berlaku dalamhubunganinternal( terhadap Yahudi dan Nasrani), tetapi juga tidak berlaku dalam hubungan eksternal (terhadap agama-agamaluar/ non-Islam).

Dengankata lain, Islam tidak mengabrogasi agama-agama non-Islam (agama/ kepercayaan paganisme, ashshabiash- shabiah , dan Majusi) yang telah eksis terlebih dahulu sebelum kedatangan agama Islam. Poin ini perlu ditekankan di sini untuk diskusi lebih lanjut.

*** Jika diformulasi, secara garis besar doktrin agama-agama yang dibawa oleh para nabi (sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad) dapat dibagi menjadi dua ajaran pokok yaitu doktrin akidah dan ajaran syariah (hukum). Dari segi akidah, semua nabi mengajarkan agama/kepercayaan tauhid atau monoteisme (tidak ada tuhan yang patut disembah selain Allah), kepercayaan kepada para malaikat, kepercayaan kepada hari akhir (akhirat), dan kepercayaan kepada adanya surga dan neraka.

Jadi dari segi akidah, ajaran semua nabi adalah persis sama, tidak ada perbedaan, dan tidak ada revisi sedikit pun walaupun masing-masing nabi melaksanakan misinya pada zaman yang berbeda dan di tengah umat yang berbeda. Jadi akidah tauhid (monoteisme), kepercayaan kepada adanya para malaikat, kepercayaan kepada adanya akhirat (hidup sesudah mati), dan kepercayaan kepada adanya surga dan neraka yang diajarkan oleh Nabi Musa (pembawa agama Yahudi), Nabi Isa (pembawa agama Nasrani), dan nabi-nabi sebelumnya tidak direvisi, apalagi diabrogasi, oleh Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad.

Syariah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah (ibadah) tentu ada perbedaan. Di zaman nabi sebelum Nabi Muhammad, orang melaksanakan salat sehari semalam sebanyak puluhan kali. Pada zaman Nabi Muhammad, salat cukup lima kali. Pada zaman Nabi Musa dan Isa, jumlah hari orang berpuasa berbeda dengan jumlah hari orang berpuasa (Ramadan) pada masa Nabi Muhammad. Syariah yang mengatur hubungan antarmanusia tentu ada perbedaan juga.

Pada zaman Nabi Adam, pernikahan pria-wanita sesaudara kandung dapat dilakukan. Kalau tidak nikah dengan saudara kandung, nikah dengan siapa lagi? Pada zaman Nabi Muhammad, pernikahan sesaudara kandung dilarang. Allah sebagai Zat Yang Maha Bijaksana ”merevisi” syariah- Nya ketika Dia mengutus seorang nabi kepada umatnya masing-masing sesuai dinamika transformasi sosial dan setting budaya yang berkembang dalam kehidupan masyarakat itu sendiri.

Saya menafsirkan hal ini sebagai ”revisi” bukan abrogasi atau ”pembatalan” syariah-Nya. Jadi status doktrin akidah yang diajarkan oleh Nabi Musa dan Nabi Isa (bahkan oleh nabinabi terdahulu) tidak direvisi, apalagi dibatalkan, oleh agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Juga, status doktrin syariah agama-agama pra-Islam (Yahudi dan Nasrani) dan bahkan syariah yang diajarkan nabi-nabi terdahulu adalah sah pada masa misi kenabian masing-masing. Analog dengan ini, syariah yang diajarkan Nabi Muhammad adalah sah bagi umat Islam.

*** Diskusi selanjutnya adalah tentang agama/kepercayaan paganisme (penyembahan berhala), agama/kepercayaan ashshabiash- shabiah (penyembahan benda-benda langit), dan agama Majusi. Tiga agama tersebut sudah ada di Timur Tengah jauh sebelum agama Islam lahir di Arab. Dalam konteks ini, perlu dicatat kembali episode sejarah ”Fathu Mekkah ” pada 8 H/630 M. Ketika Nabi Muhammad dan kaum muslimin berhasil ”menaklukkan” Mekkah, akhirnya kaum Quraisy menyatakan diri beriman kepada Nabi Muhammad dan mereka pun masuk Islam.

Semua berhala yang disembah oleh kaum Quraisy dibersihkan oleh kaum muslimin dari lingkungan Kakbah. Alquran merekam episode sejarah penting ini: ”Telah datang kebenaran dan telah hancur kebatilan. Sesungguhnya yang batil itu pasti hancur” (QS Bani Israil: 81). Jadi, menurut Alquran, status agama/kepercayaan paganisme (dan ashshabiash- shabiah) yang menyekutukan Allah adalah batil.

Sejak Nabi Adam (nabi pertama) diutus oleh Allah, status agama/ kepercayaan paganisme (dan ash-shabiash-shabiah) yang politeistik sudah dinyatakan batil. Semua nabi (Nabi Adam sampai Nabi Muhammad) mengajarkan agama/kepercayaan tauhid (monoteisme) dan semua nabi itu melalui dakwah mereka berupaya keras melenyapkan segala bentuk kemusyrikan/ politeisme (plus atheisme/kekafiran). Jadi, menurut doktrin Alquran, status agama/kepercayaan politeisme pra-Islam itu tidak diterima Allah, tidak benar, atau batil.

Agama Majusi didirikan oleh Zoroaster atau Zarathustra sebagai agama kuno di Persia (Iran). Agama Majusi (Zoroasterianisme) mengajarkan dualisme kepercayaan yaitu kepercayaan kepada tuhan kebaikan (disebut Ahura Mazda) dan tuhan keburukan (Ahriman). Mempercayai kitab suci Zend Avesta, kaum Majusi dikenal sebagai penyembah Dewa Api sebagai lambang terang (kebaikan) menurut kepercayaan mereka. Kepercayaan seperti ini sama sekali tidak pernah dikenal dalam Alquran.

Kitab suci Alquran hanya mengajarkan kepercayaan tauhid (keesaan Allah), tidak ada simbolisme, tidak ada dualisme, tidak ada perantara, dan tidak ada sekutu bagi-Nya baik berupa benda, metafor, lambang, atau makhluk lain. Dapat disimpulkan, Islam tidak merevisi apalagi mengabrogasi doktrin akidah tauhid yang diajarkan Nabi Musa dan Isa. Justru Nabi Muhammad (pembawa agama Islam) meneruskan ajaran tauhid ini. Islam juga membenarkan doktrin syariah yang diajarkan Nabi Musa dan Isa pada masa kenabian masing-masing.

Islam tidak membenarkan agama/kepercayaan paganisme, ash-shabiash- shabiah, Majusi yang bercorak politeistik. Islam tidak membenarkan dan memandang batil segala bentuk penyembahan berhala, bendabenda langit, dan penyembahan (dewa) api. Sangat naif kalau pernyataan ini ditafsirkan antikerukunan antarumat beda kepercayaan.

(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3622 seconds (0.1#10.140)