Aset Industri Syariah
A
A
A
Penetrasi pasar industri keuangan syariah di Indonesia masih rendah. Dalam lima tahun terakhir penetrasi pasar sekitar 5% dari aset cenderung tidak bergerak.
Pertumbuhan industri keuangan syariah yang tidak optimal di negara berpenduduk mayoritas muslim itu selalu menjadi pembahasan tersendiri, termasuk dalam acara pencanangan Gerakan Aku Cinta Keuangan Syariah akhir pekan lalu yang dihadiri Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) di Parkir Selatan, Senayan, Jakarta. Perkembangan industri keuangan syariah di Indonesia tertinggal jauh dengan negeri serumpun Malaysia.
Padahal, industri keuangan syariah di negeri ini yang mulai diperkenalkan sejak 1992 diklaim mengalami perkembangan yang cukup pesat, yang meliputi perbankan, industri nonbank yakni asuransi, dana pensiun, dan sejumlah sarana investasi di pasar modal melalui berbagai produk seperti reksadana dan saham syariah, sukuk, atau obligasi syariah. Berdasarkan data terbaru yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK), aset perbankan syariah tercatat Rp264 triliun, aset keuangan nonbank sekitar Rp50 triliun.
Dan, total saham syariah yang diperdagangkan senilai Rp3.037,46 triliun, sukuk korporasi sebesar Rp7,1 triliun, dan reksadana syariah senilai Rp11,7 triliun hingga kuartal pertama 2015. Yang menarik, sukuk (surat utang syariah) yang dikembangkan pemerintah dengan nama sukuk ritel telah mendapat respons positif dari masyarakat, hanya nilai sukuk ritel masih kecil. Begitu pula nilai sukuk yang diterbitkan perusahaan (korporasi) masih terlalu kecil dibanding dengan obligasi konvensional.
Tengok saja, total nilai sukuk korporasi baru mencapai Rp7,23 triliun per April 2015, bandingkan dengan periode yang sama nilai obligasi konvensional korporasi yang tercatat sebesar Rp224,04 triliun. Penerbit sukuk korporasi dari sebanyak 35 perusahaan didominasi sektor infrastruktur sekitar 38,17%, menyusul industri keuangan sebesar 33,47%, bidang properti mencapai 8,3%. Selebihnya berasal dari industri consumer goods , pertambangan, jasa, dan perdagangan.
Adapun pemegang sukuk tersebut meliputi pengelola reksadana sekitar 26,06%, asuransi 21,06%, dana pensiun 19,57%, perbankan 17,34%, pihak asing 4,83%, selebihnya dikuasai individu masyarakat. Sukuk salah satu sumber pendanaan bagi korporasi yang memiliki potensi pengembangan yang cukup besar ke depan. Seharusnya Indonesia dengan penduduk muslim terbesar di dunia menjadi lahan subur tumbuhnya industri keuangan syariah.
Kondisi tersebut membuat geregetan Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad bagaimana menghidupkan motor industri tersebut. Sekadar informasi, Malaysia telah sukses mengembangkan industri keuangan syariah, bahkan dikukuhkan sebagai negara dengan aset industri keuangan syariah terbesar di dunia yang mencapai sebesar USD423,2 miliar pada tahun lalu atau 10 kali lipat nilai aset industri keuangan syariah Indonesia. Apa yang salah dengan industri keuangan syariah di tengah potensi bertumbuh cukup subur di negeri ini?
Tidak ada salahnya mengintip resep yang diterapkan negeri tetangga dalam menggerakkan motor industri syariah yang juga mengalami perkembangan pesat di beberapa negara maju seperti di Inggris. Jujur saja, gaya antara Pemerintah Indonesia dan Malaysia mengembangkan industri keuangan syariah terbalik.
Dari awal Pemerintah Malaysia memberi sokongan penuh terhadap industri tersebut, sementara di Indonesia industri keuangan syariah lebih diarahkan tumbuh dari kalangan masyarakat. Bentuk campur tangan Pemerintah Malaysia terhadap industri keuangan syariah, di antaranya dana perusahaan milik negara, harus disimpan pada perbankan syariah. Jadi, meski jumlah rekening syariah di perbankan Malaysia lebih kecil dari Indonesia, dana yang dikelola perbankan syariah Negeri Jiran itu jauh lebih besar.
Tentu saja, selain dibutuhkan keberpihakan pemerintah secara nyata dalam mendorong pertumbuhan industri keuangan syariah di negeri ini, para pelaku industri tersebut juga dituntut lebih kreatif mengembangkan produk yang bisa menjawab kebutuhan masyarakat.
Pertumbuhan industri keuangan syariah yang tidak optimal di negara berpenduduk mayoritas muslim itu selalu menjadi pembahasan tersendiri, termasuk dalam acara pencanangan Gerakan Aku Cinta Keuangan Syariah akhir pekan lalu yang dihadiri Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) di Parkir Selatan, Senayan, Jakarta. Perkembangan industri keuangan syariah di Indonesia tertinggal jauh dengan negeri serumpun Malaysia.
Padahal, industri keuangan syariah di negeri ini yang mulai diperkenalkan sejak 1992 diklaim mengalami perkembangan yang cukup pesat, yang meliputi perbankan, industri nonbank yakni asuransi, dana pensiun, dan sejumlah sarana investasi di pasar modal melalui berbagai produk seperti reksadana dan saham syariah, sukuk, atau obligasi syariah. Berdasarkan data terbaru yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK), aset perbankan syariah tercatat Rp264 triliun, aset keuangan nonbank sekitar Rp50 triliun.
Dan, total saham syariah yang diperdagangkan senilai Rp3.037,46 triliun, sukuk korporasi sebesar Rp7,1 triliun, dan reksadana syariah senilai Rp11,7 triliun hingga kuartal pertama 2015. Yang menarik, sukuk (surat utang syariah) yang dikembangkan pemerintah dengan nama sukuk ritel telah mendapat respons positif dari masyarakat, hanya nilai sukuk ritel masih kecil. Begitu pula nilai sukuk yang diterbitkan perusahaan (korporasi) masih terlalu kecil dibanding dengan obligasi konvensional.
Tengok saja, total nilai sukuk korporasi baru mencapai Rp7,23 triliun per April 2015, bandingkan dengan periode yang sama nilai obligasi konvensional korporasi yang tercatat sebesar Rp224,04 triliun. Penerbit sukuk korporasi dari sebanyak 35 perusahaan didominasi sektor infrastruktur sekitar 38,17%, menyusul industri keuangan sebesar 33,47%, bidang properti mencapai 8,3%. Selebihnya berasal dari industri consumer goods , pertambangan, jasa, dan perdagangan.
Adapun pemegang sukuk tersebut meliputi pengelola reksadana sekitar 26,06%, asuransi 21,06%, dana pensiun 19,57%, perbankan 17,34%, pihak asing 4,83%, selebihnya dikuasai individu masyarakat. Sukuk salah satu sumber pendanaan bagi korporasi yang memiliki potensi pengembangan yang cukup besar ke depan. Seharusnya Indonesia dengan penduduk muslim terbesar di dunia menjadi lahan subur tumbuhnya industri keuangan syariah.
Kondisi tersebut membuat geregetan Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad bagaimana menghidupkan motor industri tersebut. Sekadar informasi, Malaysia telah sukses mengembangkan industri keuangan syariah, bahkan dikukuhkan sebagai negara dengan aset industri keuangan syariah terbesar di dunia yang mencapai sebesar USD423,2 miliar pada tahun lalu atau 10 kali lipat nilai aset industri keuangan syariah Indonesia. Apa yang salah dengan industri keuangan syariah di tengah potensi bertumbuh cukup subur di negeri ini?
Tidak ada salahnya mengintip resep yang diterapkan negeri tetangga dalam menggerakkan motor industri syariah yang juga mengalami perkembangan pesat di beberapa negara maju seperti di Inggris. Jujur saja, gaya antara Pemerintah Indonesia dan Malaysia mengembangkan industri keuangan syariah terbalik.
Dari awal Pemerintah Malaysia memberi sokongan penuh terhadap industri tersebut, sementara di Indonesia industri keuangan syariah lebih diarahkan tumbuh dari kalangan masyarakat. Bentuk campur tangan Pemerintah Malaysia terhadap industri keuangan syariah, di antaranya dana perusahaan milik negara, harus disimpan pada perbankan syariah. Jadi, meski jumlah rekening syariah di perbankan Malaysia lebih kecil dari Indonesia, dana yang dikelola perbankan syariah Negeri Jiran itu jauh lebih besar.
Tentu saja, selain dibutuhkan keberpihakan pemerintah secara nyata dalam mendorong pertumbuhan industri keuangan syariah di negeri ini, para pelaku industri tersebut juga dituntut lebih kreatif mengembangkan produk yang bisa menjawab kebutuhan masyarakat.
(bhr)