Dana KPK untuk Komunitas Antikorupsi
A
A
A
Romli Atmasasmita
Guru Besar (Emeritus) Unpad/Unpas
Kegiatan KPK sejak Jilid I sampai Jilid III telah berjalan efektif. Namun, tidak terlalu signifikan dalam memerankan fungsi koordinasi, supervisi, dan monitoring , serta evaluasi terhadap kepolisian, kejaksaan, dan kementerian/ lembaga selama kurang lebih 12 tahun sejak pembentukannya.
Dalam bidang pencegahan telah dikemukakan pimpinan KPK Jilid III bahwa telah berhasil menyelamatkan potensi kerugian negara sebesar Rp100 triliun, sedangkan kerugian negara yang nyata yang berhasil diselamatkan selama 2009-2013 hanya mencapai kurang lebih Rp716 miliar. Pencapaian ini jauh di bawah kejaksaan yang mencapai kurang lebih Rp6 triliun dan kepolisian sebesar Rp2 triliun (Pidato Orasi Guru Besar Paripurna Romli Atmasasmita, 2014). Menilik keberhasilan dan kekurangberhasilan KPK selama ini khusus Jilid III, tentu diperlukan langkah-langkah untuk meningkatkan kinerja KPK Jilid III.
Dalam konteks ini proses rekrutmen pimpinan KPK dan pegawai dalam jabatan strategis yang ketat ternyata bukan satu-satunya jaminan yang dapat mendukung/ memperkuat kinerja KPK sesuai dengan UU KPK dan UU terkait lainnya. Perencanaan strategis baik pencegahan maupun penindakan khususnya manajemen administrasi penanganan perkara (case-management administration system/ CMAS) dan kepatuhan pimpinan KPK terhadap CMAS justru jaminan keberhasilan KPK baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif.
BPK RI merekomendasikan KPK agar memperkuat perencanaan operasional KPK melalui prioritas penyelesaian pembangunan sistem aplikasi CMAS (dikutip dari Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI pada KPKNomor :115/HP/XIV/12/2013 tanggal 21 Desember 2013). Di dalam CMAS tersebut juga termasuk pemindaian dan pengawasan bekerjanya SOP terpadu khusus penyadapan, mulai penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
SOP penindakan termasuk penyadapan sangat penting sebagai parameter bahwa kinerja KPK telah dilandaskan pada ketentuan hukum acara yang berlaku dan dilaksanakan secara profesional dan akuntabel. Putusan praperadilan membuktikan bahwa telah terjadi pelanggaran atas SOP KPK oleh penyidik KPK. KPK dengan tugas dan wewenang yang luas dalam UU KPK tidak dapat bekerja sendiri dan memerlukan bantuan pihak ketiga khusus dalam melaksanakan strategi pencegahan.
*** Dalam konteks strategi ini KPK telah bekerja sama dengan Komunitas Antikorupsi (KAK) yang terdiri atas anggota koalisi LSM Antikorupsi atau dikenal dengan Koalisi Pemantau Peradilan (KPP). Sejak 2007 hingga 2011 kerja sama ini telah dilaksanakan dalam rangka penyusunan Roadmap Pemberantasan Korupsi dan terlibat di dalamnya ICW, Kemitraan Partnership, Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum UI, Indonesia Legal Resources Centre, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, TII, dan Pusat studi Hukum dan Kebijakan.
Langkah KPK Jilid III harus diapresiasi karena roadmap menentukan arah keberhasilan pemberantasan korupsi jangka panjang. Terlepas dari tujuan baik dari penyusunan roadmap tersebut maka sebagai bentuk pertanggungjawaban baik kinerja dan keuangan seyogianya KPK melakukan konferensi terbuka tahunan di hadapan pers dan media cetak mengenai hal tersebut.
Sehingga, benar-benar KPK mewujudkan ketentuan Pasal 20 UU KPK yang mewajibkan KPK bertanggung jawab kepada publik. Pertanggungjawaban itu tidak cukup hanya melalui website KPK karena website KPK tidak merinci lebih jauh berapa anggaran yang disediakan dan telah dikeluarkan dan siapa penerima anggaran KPK baik dari APBN maupun dana hibah luar negeri (asing) sejak 2007 hingga 2014.
Dana hibah ini pernah menjadi topik diskusi pada RDP Komisi III DPR RI dan KPK pada 25 Juni 2012. Pihak KPK telah menjanjikan menyiapkan tanda terima terhadap pemberian dana alokasi untuk Komunitas Antikorupsi, namun sampai saat ini belum diselesaikan dan dilaporkan KPK kepada Komisi III (Laporan Singkat RDP Komisi III dengan KPK dan LPSK tanggal 25 Juni, khusus butir 9 sampai 13).
Selain itu juga perlu digarisbawahi diskusi Komisi III dan KPK di mana ketua RDP mempertanyakan pembentukan 31 Komunitas Antikorupsi (KAK) yang memakan biaya Rp10 miliar dan menurut ketua rapat, satu NGO itu memakan biaya Rp300 juta dan ketua rapat meminta penjelasan mengenai hal ini. Begitu juga mengenai anggaran untuk “Pembelajaran Antikorupsi” sebanyak 14 kali dengan total anggaran sebesar Rp3 miliar.
Penulis tidak menolak bahwa setiap kegiatan KPK memerlukan dana dari APBN atau hibah asing. Namun, sesuai dengan asas-asas KPK dalam Pasal 5 UU KPK (kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas) dan Pasal 20 UU KPK mewajibkan KPK bertanggung jawab kepada publik—tentu publik yang utama adalah para wajib pajak yang patuh telah memasukkan pendapatan kepada negara.
Penulis harapkan agar KPK dan BPK RI melakukan langkah keterbukaan yang sama tanpa harus ada ketertutupan atau kerahasiaan karena untuk maksud tujuan itulah pembentukan KPK terkait kinerja kepolisian dan kejaksaan.
Guru Besar (Emeritus) Unpad/Unpas
Kegiatan KPK sejak Jilid I sampai Jilid III telah berjalan efektif. Namun, tidak terlalu signifikan dalam memerankan fungsi koordinasi, supervisi, dan monitoring , serta evaluasi terhadap kepolisian, kejaksaan, dan kementerian/ lembaga selama kurang lebih 12 tahun sejak pembentukannya.
Dalam bidang pencegahan telah dikemukakan pimpinan KPK Jilid III bahwa telah berhasil menyelamatkan potensi kerugian negara sebesar Rp100 triliun, sedangkan kerugian negara yang nyata yang berhasil diselamatkan selama 2009-2013 hanya mencapai kurang lebih Rp716 miliar. Pencapaian ini jauh di bawah kejaksaan yang mencapai kurang lebih Rp6 triliun dan kepolisian sebesar Rp2 triliun (Pidato Orasi Guru Besar Paripurna Romli Atmasasmita, 2014). Menilik keberhasilan dan kekurangberhasilan KPK selama ini khusus Jilid III, tentu diperlukan langkah-langkah untuk meningkatkan kinerja KPK Jilid III.
Dalam konteks ini proses rekrutmen pimpinan KPK dan pegawai dalam jabatan strategis yang ketat ternyata bukan satu-satunya jaminan yang dapat mendukung/ memperkuat kinerja KPK sesuai dengan UU KPK dan UU terkait lainnya. Perencanaan strategis baik pencegahan maupun penindakan khususnya manajemen administrasi penanganan perkara (case-management administration system/ CMAS) dan kepatuhan pimpinan KPK terhadap CMAS justru jaminan keberhasilan KPK baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif.
BPK RI merekomendasikan KPK agar memperkuat perencanaan operasional KPK melalui prioritas penyelesaian pembangunan sistem aplikasi CMAS (dikutip dari Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI pada KPKNomor :115/HP/XIV/12/2013 tanggal 21 Desember 2013). Di dalam CMAS tersebut juga termasuk pemindaian dan pengawasan bekerjanya SOP terpadu khusus penyadapan, mulai penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
SOP penindakan termasuk penyadapan sangat penting sebagai parameter bahwa kinerja KPK telah dilandaskan pada ketentuan hukum acara yang berlaku dan dilaksanakan secara profesional dan akuntabel. Putusan praperadilan membuktikan bahwa telah terjadi pelanggaran atas SOP KPK oleh penyidik KPK. KPK dengan tugas dan wewenang yang luas dalam UU KPK tidak dapat bekerja sendiri dan memerlukan bantuan pihak ketiga khusus dalam melaksanakan strategi pencegahan.
*** Dalam konteks strategi ini KPK telah bekerja sama dengan Komunitas Antikorupsi (KAK) yang terdiri atas anggota koalisi LSM Antikorupsi atau dikenal dengan Koalisi Pemantau Peradilan (KPP). Sejak 2007 hingga 2011 kerja sama ini telah dilaksanakan dalam rangka penyusunan Roadmap Pemberantasan Korupsi dan terlibat di dalamnya ICW, Kemitraan Partnership, Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum UI, Indonesia Legal Resources Centre, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, TII, dan Pusat studi Hukum dan Kebijakan.
Langkah KPK Jilid III harus diapresiasi karena roadmap menentukan arah keberhasilan pemberantasan korupsi jangka panjang. Terlepas dari tujuan baik dari penyusunan roadmap tersebut maka sebagai bentuk pertanggungjawaban baik kinerja dan keuangan seyogianya KPK melakukan konferensi terbuka tahunan di hadapan pers dan media cetak mengenai hal tersebut.
Sehingga, benar-benar KPK mewujudkan ketentuan Pasal 20 UU KPK yang mewajibkan KPK bertanggung jawab kepada publik. Pertanggungjawaban itu tidak cukup hanya melalui website KPK karena website KPK tidak merinci lebih jauh berapa anggaran yang disediakan dan telah dikeluarkan dan siapa penerima anggaran KPK baik dari APBN maupun dana hibah luar negeri (asing) sejak 2007 hingga 2014.
Dana hibah ini pernah menjadi topik diskusi pada RDP Komisi III DPR RI dan KPK pada 25 Juni 2012. Pihak KPK telah menjanjikan menyiapkan tanda terima terhadap pemberian dana alokasi untuk Komunitas Antikorupsi, namun sampai saat ini belum diselesaikan dan dilaporkan KPK kepada Komisi III (Laporan Singkat RDP Komisi III dengan KPK dan LPSK tanggal 25 Juni, khusus butir 9 sampai 13).
Selain itu juga perlu digarisbawahi diskusi Komisi III dan KPK di mana ketua RDP mempertanyakan pembentukan 31 Komunitas Antikorupsi (KAK) yang memakan biaya Rp10 miliar dan menurut ketua rapat, satu NGO itu memakan biaya Rp300 juta dan ketua rapat meminta penjelasan mengenai hal ini. Begitu juga mengenai anggaran untuk “Pembelajaran Antikorupsi” sebanyak 14 kali dengan total anggaran sebesar Rp3 miliar.
Penulis tidak menolak bahwa setiap kegiatan KPK memerlukan dana dari APBN atau hibah asing. Namun, sesuai dengan asas-asas KPK dalam Pasal 5 UU KPK (kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas) dan Pasal 20 UU KPK mewajibkan KPK bertanggung jawab kepada publik—tentu publik yang utama adalah para wajib pajak yang patuh telah memasukkan pendapatan kepada negara.
Penulis harapkan agar KPK dan BPK RI melakukan langkah keterbukaan yang sama tanpa harus ada ketertutupan atau kerahasiaan karena untuk maksud tujuan itulah pembentukan KPK terkait kinerja kepolisian dan kejaksaan.
(ars)