Pancasila sebagai Falsafah Bangsa
A
A
A
MAHFUDH FAUZI
Mahasiswa Hukum Perdata Islam
Fakultas Syariah UIN Walisongo Semarang
Pancasila yang posisinya sebagai fundament norm atau norma dasar memang besar harapannya dapat menjadi alat stabilitas bangsa, termasuk dalam menentukan karakter pemimpin bangsa Indonesia.
Pasalnya, Cak Nur dalam ensiklopedinya menyebutkan bahwa Pancasila merupakan ideologi modern yang dinamis. Perannya bukan terfokus terhadap bangsa dan negara. Lebih dari itu, kesaktian Pancasila mampu menjadi pijakan utama dalam membina pemimpin ideal. Kita jadi punya patokan pemimpin seperti apa yang ideal untuk memimpin bangsa ini menghadapi berbagai tantangan.
Notonegoro merumuskan Pancasila sebagai dasar falsafah, pandangan hidup, lambang pemersatuan dan kesatuan, serta ideologi negara Indonesia. Sementara itu, Bung Karno menambahkan bahwa Pancasila justru tidak hanya dasar falsafah negara, melainkan juga dasar falsafah bangsa yang mencakup sampai level terendah. Sayangnya, penggunaan Pancasila sebagai norma dasar berbangsa dan bernegara mulai sulit ditemui.
Pancasila dengan baik dihafal oleh banyak rakyat negeri ini namun ada gap dalam rangka pengamalannya. Padahal, Pancasila sudah dikenal sejak zaman Majapahit abad XIV, logikanya Pancasila sudah dapat menjadi bagian tak terpisahkan bagi masyarakat Indonesia. Tidak hanya hafal, namun mengerti tafsirannya, kemudian bersedia mengamalkannya. Itulah standar rendah syarat menjadi masyarakat yang pancasilais.
Tidak seperti generasi modern zaman sekarang yang kenakalannya pun mengalami modernisasi. Jadi, kesaktian Pancasila tak dihiraukan. Terutama mahasiswa, yang semakin ke sini corak dan karakter mahasiswa lebih menunjukkan degradasi taraf memprihatinkan. Jika pahlawan muda kala Boedi Oetomo dan Pelaku Sumpah Pemuda tahu, pasti mereka merasa malu.
Ya, mahasiswa terkena gejala apolitis. Penyebabnya cukup sederhana walaupun sulit “dicerna” oleh akal sehat. Politik yang terlalu menggelitik membuat mahasiswa cenderung memilih jalan aman. Politik dianggap sebagai urusan mutlak pemerintah, tanpa harus ikut campur. Tentu tidak sepenuhnya dapat disalahkan, toh akademi dan seni mengatur negeri memiliki koridor masing-masing.
Hanya, kehadiran kaum akademis dipandang perlu karena predikat mahasiswa adalah agent of control. Mahasiswa pun menempati posisi strategis, untuk menjaga stabilitas negara antara masyarakat dan pemerintah. Tentu tak dilupakan, mahasiswa juga menyandang predikat moral force, jadi apa kata dunia jika kaum akademis mengalami gejala apolitis.
Mahasiswa Hukum Perdata Islam
Fakultas Syariah UIN Walisongo Semarang
Pancasila yang posisinya sebagai fundament norm atau norma dasar memang besar harapannya dapat menjadi alat stabilitas bangsa, termasuk dalam menentukan karakter pemimpin bangsa Indonesia.
Pasalnya, Cak Nur dalam ensiklopedinya menyebutkan bahwa Pancasila merupakan ideologi modern yang dinamis. Perannya bukan terfokus terhadap bangsa dan negara. Lebih dari itu, kesaktian Pancasila mampu menjadi pijakan utama dalam membina pemimpin ideal. Kita jadi punya patokan pemimpin seperti apa yang ideal untuk memimpin bangsa ini menghadapi berbagai tantangan.
Notonegoro merumuskan Pancasila sebagai dasar falsafah, pandangan hidup, lambang pemersatuan dan kesatuan, serta ideologi negara Indonesia. Sementara itu, Bung Karno menambahkan bahwa Pancasila justru tidak hanya dasar falsafah negara, melainkan juga dasar falsafah bangsa yang mencakup sampai level terendah. Sayangnya, penggunaan Pancasila sebagai norma dasar berbangsa dan bernegara mulai sulit ditemui.
Pancasila dengan baik dihafal oleh banyak rakyat negeri ini namun ada gap dalam rangka pengamalannya. Padahal, Pancasila sudah dikenal sejak zaman Majapahit abad XIV, logikanya Pancasila sudah dapat menjadi bagian tak terpisahkan bagi masyarakat Indonesia. Tidak hanya hafal, namun mengerti tafsirannya, kemudian bersedia mengamalkannya. Itulah standar rendah syarat menjadi masyarakat yang pancasilais.
Tidak seperti generasi modern zaman sekarang yang kenakalannya pun mengalami modernisasi. Jadi, kesaktian Pancasila tak dihiraukan. Terutama mahasiswa, yang semakin ke sini corak dan karakter mahasiswa lebih menunjukkan degradasi taraf memprihatinkan. Jika pahlawan muda kala Boedi Oetomo dan Pelaku Sumpah Pemuda tahu, pasti mereka merasa malu.
Ya, mahasiswa terkena gejala apolitis. Penyebabnya cukup sederhana walaupun sulit “dicerna” oleh akal sehat. Politik yang terlalu menggelitik membuat mahasiswa cenderung memilih jalan aman. Politik dianggap sebagai urusan mutlak pemerintah, tanpa harus ikut campur. Tentu tidak sepenuhnya dapat disalahkan, toh akademi dan seni mengatur negeri memiliki koridor masing-masing.
Hanya, kehadiran kaum akademis dipandang perlu karena predikat mahasiswa adalah agent of control. Mahasiswa pun menempati posisi strategis, untuk menjaga stabilitas negara antara masyarakat dan pemerintah. Tentu tak dilupakan, mahasiswa juga menyandang predikat moral force, jadi apa kata dunia jika kaum akademis mengalami gejala apolitis.
(bbg)