Selamatkan, Bukan Porak-Porandakan

Jum'at, 12 Juni 2015 - 09:14 WIB
Selamatkan, Bukan Porak-Porandakan
Selamatkan, Bukan Porak-Porandakan
A A A
REZA INDRAGIRI AMRIEL
Psikolog Forensik,
Anggota World Society of Victimology,
Pengarang Buku "Ajari Ayah, ya Nak"

Halaman demi halaman menyeramkan dalam tragedi Engeline (bukan Angeline) yang jasadnya ditemukan Rabu lalu, sudah terkuak. Kesedihan sekaligus kemurkaan massal menjadi respons masyarakat luas.

Agar bisa menjadi pembelajaran bersama, perlu ada upaya mengemas kejadian memilukan ini ke dalam bingkai kerja generik. Pertanyaan yang ingin dijawab adalah bagaimana sesungguhnya publik harus menyikapi kasus- kasus kemalangan yang dialami anak-anak Indonesia. Untuk menjawabnya, ada baiknya dilukiskan ulang di sini reaksi keluarga angkat Engeline pascakehilangan salah satu putri mereka.

Keluarga Engeline pada awalnya cukup terbuka terhadap pihak luar, terutama pihak kepolisian. Bahkan, keluargalah yang melapor ke kepolisian setempat. Namun sebagai masyarakat awam, apalagi ketika mereka terlihat menderita, ada skeptisisme terhadap keseriusan kerja kepolisian. Berbagai inisiatif keluarga untuk menanyakan perkembangan penyelidikan kasus mereka rasakan tidak ditanggapi secara memadai.

Munculnya ketidakpuasan terhadap kerja penegak hukum menjadi sesuatu yang tak terelakkan. Kemudian, sebagai akibat dari beraneka manuver, di masyarakat berkembang biak narasi tentang pihak yang bertanggung jawab atas hilangnya, teraniayanya, bahkan diduga tewasnya bocah cantik berbola mata indah itu. Pihak keluarga berhadapan dengan sumber tekanan batin ekstra.

Dari kehilangan Engeline, respons kepolisian yang sempat dirasa keluarga kurang memuaskan, hingga penghakiman publik. Ketidakpuasan, keletihan, memburuk menjadi keputusasaan dan ketidakpercayaan pada siapa pun. Termasuk ini yang paling fatal ke kepolisian. Pada titik terendah itulah keluarga mengadu ke Safe Childhoods Foundation (SCF), salah satu lembaga perlindungan anak di Pulau Dewata.

Sadar bahwa isu perlindungan anak di negeri ini tak jarang ditanggapi secara politis, sehingga terkesan seperti berebut proyek (bentuk penyikapan yang menjijikkan!), juga berusaha memenuhi harapan keluarga angkat Engeline, SCF bergegas bersilaturahmi ke kapolda Bali beserta jajarannya. Dari banyak arahan kapolda Bali, serta dengan melibatkan pertukaran perspektif, ringkas cerita terbangun kesepakatan tentang langkah-langkah dalam menangani kasus Engeline.

Pertama, temukan Engeline. Prioritas utama ini diyakini sebagai satu-satunya cara untuk meredakan berbagai bentuk sinyalemen dan stigmatisasi yang kadung berserak di tengah masyarakat. Juga hanya dengan berhasil ditemukannya Engeline, jejak-jejak pelaku akan dapat ditelusuri. Buktibukti itulah yang diharapkan nantinya akan mengunci persepsi publik. Kedua, jaga kondisi keluarga.

Hal ini penting dilakukan agar suplai informasi dari keluarga angkat Engeline ke kepolisian tetap tersedia. Juga supaya penelusuran lebih jauh terhadap segala kemungkinan di balik kasus Engeline dapat dilakukan secara terpadu. Dengan kata lain, pemeliharaan kondisi stabil anggota keluarga perlu dilakukan demi kelancaran proses hukum itu sendiri. Ketiga, perlu dibangun sebuah gerakan masyarakat untuk bersama-sama mencari Engeline.

Dengan kata lain, di tengah sengkarut narasi yang tumpahruah di masyarakat (terlepas benar atau tidaknya narasi itu), ada kebutuhan untuk mencari muatan-muatan positif yang diusung khalayak luas atas kasus ini. Itu sebabnya, beberapa pekan lalu, sekian banyak elemen masyarakat Bali serempak turun ke jalan mencari Engeline.

Tentu, kurang realistis untuk berharap bahwa langkah turun ke jalan seperti itu akan sertamerta berujung pada ditemukannya Engeline. Namun pada skala lebih luas dan lebih mendasar, pergerakan semacam itu laksana pelurusan atas pola pikir keliru yang masih berkembang di masyarakat bahwa masalah anak adalah masalah keluarga yang bersangkutan.

Deskripsi di atas tidak sama sekali dimaksudkan sebagai bentuk katakanlah promosi lembaga perlindungan anak, betapa pun saya bersahabat baik dengan para punggawanya. Juga bukan merupakan upaya untuk sebutlah memberikan pembelaan terhadap siapa pun, terlebih ter-hadap pihak-pihak yang selama ini menjadi sasaran umpatan publik. Ini adalah sebuah jabaran tentang bagaimana salah satu format perlindungan anak yang, menurut saya, patut diduplikasi.

Jelas tidak bisa dinihilkan bahwa, sebagaimana format- format lainnya, dipastikan ada plus minus dalam format yang satu ini sehingga ke depannya tetap perlu terus disempurnakan. Beranak-pinaknya sangkaan terhadap pihak tertentu sebagai orang yang menghilangkan dan menghabisi Engeline pada dasarnya merupakan konsekuensi logis dari begitu besarnya ekspektasi masyarakat bahwa orang tua dan keluarga inti harus mampu memberikan perlindungan sempurna kepada darah daging mereka.

Karena itulah, manakala anak masuk ke dalam situasi kritis, pertanggungjawaban orang tua menjadi tuntutan sekaligus masyarakat. Dan apabila orang tua dinilai gagal memenuhinya, remuk- redamlah ia oleh penghakiman publik. Namun ironisnya, juga merupakan kenyataan bahwa ketika diduga ada anak di lingkungan sekitar yang mengalami perlakuan tidak semegah dari pihak keluarga si anak sendiri, tidak serta-merta warga sekitar bereaksi sebagaimana mestinya.

Ada keengganan untuk mengetuk pintu tetangga guna mengetahui sebab-musabab jeritan memilukan dari anak si tetangga. Ketika kepedulian coba ditunjukkan, si empunya rumah juga bereaksi marah. Reaksi orang tua semacam itu berangkat dari anggapan bahwa karena anak adalah properti, maka ragam perlakuan terhadap anak adalah sepenuhnya pilihan si pemilik properti (orang tua).

Cara pandang seperti itu perlu dikoreksi total. Undang-Undang Perlindungan Anak menetapkan bahwa siapa pun yang mengetahui adanya anak yang mengalami perlakuan yang tidak semestinya, wajib melapor ke otoritas terkait termasuk kepolisian. Pelaporan pun dapat dilakukan melalui pihak ketiga, misalnya lembaga-lembaga perlindungan anak, untuk kemudian diteruskan ke kepolisian.

Langkah perlindungan anak juga sepatutnya diharmoniskan dengan upaya memastikan stabilitas kondisi keluarga. Bukan sebaliknya, melindungi anak namun pada saat yang sama justru memorak-po-randakan relasi keluarga yang sesungguhnya merupakan fondasi hidup anak. Sulit ditoleransi bahwa upaya menyelamatkan anak justru tersandung batu besar pada saat anak akan dikembalikan ke lingkungan keluarganya.

Termasuk di dalam upaya menjaga kondisi keluarga adalah mengedukasi keluarga tentang gambaran proses kerja penegakan hukum dan pentingnya membangun sikap kooperatif dengan lembagalembaga di bidang tersebut. Satu lagi; bahwa setiap bahasan tentang perlindungan anak semestinya tidak lagi dipandang sebagai persoalan domestik (keluarga) semata.

Perlindungan anak adalah kepentingan mutlak publik. Jadi, tidak ada alasan bagi siapa pun untuk tutup mata dan tutup telinga saban kali mengetahui ada anak-anak yang mengalami kekerasan, penelantaran, maupun bentuk-bentuk perlakuan salah lainnya. Hanya dengan perubahan paradigma semacam itu, rumah tidak akan lagi menjadi zona pemangsaan sekaligus tempat persembunyian sempurna bagi pelaku kejahatan terhadap anak. Demikian pula, pada sisi yang sama, akan bisa dipatahkan simpulan mapan bahwa mayoritas pelaku kekerasan terhadap anak adalah orang dekatnya sendiri. Allahu a’lam.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9068 seconds (0.1#10.140)