Cukuplah sampai Angeline

Jum'at, 12 Juni 2015 - 09:11 WIB
Cukuplah sampai Angeline
Cukuplah sampai Angeline
A A A
Nurani bangsa ini terusik dengan cerita pedih kematian seorang anak kelas II sekolah dasar. Angeline, demikian nama bocah manis asal Denpasar tersebut, ditemukan tewas mengenaskan setelah drama pencarian selama 24 hari.

Dia ditemukan dikubur di dekat kandang ayam beserta boneka kesayangannya di rumahnya. Tidak ada cerita nelangsa melebihi apa yang dirasakan hingga Angeline berpulang: tubuh penuh lebam, sundutan rokok. Konon dia juga mengalami kekerasan seksual. Derita dialami tersebut hanya merupakan klimaks dari rangkaian cerita duka yang dialaminya: setiap hari jalan kaki 2 km untuk ke sekolah, harus memberi makan ayam, kucing, dan anjing.

Dia tidak terurus, jarang makan, tubuh kumal, dan berbau karena jarang mandi dan keramas. Cerita masa kecil yang penuh keceriaan,keindahan, dan kasih sayang nyaris tidak dia rasakan. Siapa yang harus bertanggung jawab? Polresta Kota Denpasar menetapkan Agustinus, pembantu rumah tangga keluarga Margareith Megawe, sebagai tersangka. Kepada polisi, dia mengaku menginjak, menggebuk, membenturkan, mencekik, memerkosa, dan menyundutkan rokok.

Namun, polisi harus tetap mengembangkan penyelidikan karena tim forensik RSUP Sanglah tidak menemukan tanda kekerasan seksual pada jenazah Angeline. Margareith? Dia juga harus bertanggung jawab terhadap perlakuannya selama ini terhadap anak angkatnya tersebut.

Dia tidak menunjukkan tanggung jawab dan alpa memberi perhatian seharusnya sebagai seorang ibu, walaupun Angeline anak adopsi. Barangkali karena perlakuannya selama inilah telah membuka peluang lebar-lebar bagi Agustinus untuk memangsa Angeline. Lebih dari itu, dia juga diduga mempunyai motif atas perlakuannya terhadap Angeline selama ini.

Cerita tentang pembagian arisan dari almarhum ayah angkatnya yang berkewarganegaraan Amerika Serikat mesti ditelusuri. Keterangan saksi pun ada yang mengindikasikan dia mengetahui adanya pembunuhan. Karena itu, polisi jangan serta-merta menyimpulkan dia tidak bersalah, hingga siapa pun yang terlibat dalam pembunuhan keji bisa terungkap secara utuh.

Selain Agustinus dan Margareith, kita semua juga harus turut bertanggung jawab. Harus diakui, kepekaan sosial masyarakat mulai luntur, sehingga sering kali luput merespons adanya kasuskasus kecil yang bisa berujung fatal. Guru sekolah, semestinya, mengambil tindakan serius begitu memahami adanya tekanan berkala yang dihadapi Angeline. Para tetangga sekitar juga pasti tahu bagaimana kondisi bocah malang tersebut.

Selain lunturnya kepekaan sosial, harus diakui kekerasan yang terjadi di lingkungan internal rumah tangga sering kali dimafhumi, hingga mereka yang mengetahui menjadi permisif. Padahal, banyak kasus mengenaskan yang menimpa bocah, justru dilakukan orang terdekat bahkan orang tua kandung. Tentu belum lekang dari ingatan tentang kisah pedih Arie Hanggara, 8, yang menggegerkan masyarakat pada medio 80-an.

Dia meninggal setelah menjadi sasaran kekerasan ayah kandung dan ibu tiri. Kasus sama juga menimpa balita Muhammad Rizki (2013) yang meninggal akibat kekerasan sang orang tua hanya garagara rewel; dan Raditya Atmaja Ginting, 8, yang ditemukan dalam kondisi kurus kering, berlumuran darah,dan penuh cedera di sebuah perkebunan sawit di Riau akibat disiksa ayah kandung dan ibu tiri (2013).

Cukuplah berakhir sampai Angeline rangkaian kisah kekerasan terhadap anak. Cerita pilu tersebut bisa di akhir juga semua pihak bersama-sama berkomitmen menghentikannya. Aparat kepolisian dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mempunyai tanggung jawab lebih untuk menyosialisasikan dan menjadi garda terdepan perlindungan anak. Penegak hukum juga harus menjatuhkan vonis maksimal terhadap mereka yang melakukan kekerasan terhadap anak untuk menghadirkan efek gentar. Bahkan, untuk pembunuh Angeline pantas dihukum mati!
(bhr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5776 seconds (0.1#10.140)