Reformasi Jaminan Sosial ASN

Selasa, 09 Juni 2015 - 10:21 WIB
Reformasi Jaminan Sosial ASN
Reformasi Jaminan Sosial ASN
A A A
Reformasi kepegawaian negara telah diletakkan dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).

Berbagai perubahan secara menyeluruh telah diatur untuk menghasilkan pegawai ASN yang profesional, berintegritas, dan melayani masyarakat. Salah satu perubahan pokok yang diletakkan dalam UU No 5 Tahun 2014 adalah memperbaiki sistem penggajian dan sistem jaminan sosial pegawai ASN.

Sebagai salah satu pilar reformasi kepegawaian negara, perbaikan jaminan sosial pegawai ASN akan memainkan peranan yang penting untuk mendukung profesionalisme birokrasi. Tulisan ini akan mengupas pemikiran dasar reformasi jaminan sosial ASN dan dalam kaitannya dengan Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Faktor Pemacu Produktivitas

Ada banyak faktor yang memengaruhi profesionalisme pegawai aparatur sipil negara (baik PNS maupun pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja/PPPK). Berbagai faktor ini saling berkelindan dan berkait. Seringkali dikatakan bahwa faktor penyebab rendahnya profesionalisme PNS adalah rendahnya gaji sehingga para pegawai berusaha untuk mendapatkan penghasilan tambahan melalui pekerjaan yang dilakukannya.

Kondisi ini tidak saja menyebabkan rendahnya produktivitas, tetapi juga kerusakan moral para sebagian PNS untuk melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Belum lagi jaminan sosial hari tua seperti dana pensiun yang sangat kecil dan jaminan kesehatan yang sangat rendah diakui menjadi salah satu sumber penyebab rendahnya profesionalisme PNS.

Meskipun gaji dan jaminan sosial bukan merupakan satu satunya faktor dalam membentuk profesionalisme PNS, ini dapat disebut sebagai faktor pemacu (enabler factor) dalam reformasi aparatur sipil negara secara keseluruhan. Tentu saja faktor-faktor lain seperti perbaikan proses seleksi CPNS, promosi jabatan yang kompetitif, penerapan manajemen kinerja individu, dan sistem pengembangan pegawai menjadi kunci keberhasilan reformasi ASN.

Faktanya, gaji dan jaminan sosial ASN selama ini masih belum mendapatkan perhatian yang baik oleh pemerintah, bahkan seringkali dianggap semata- mata akan membebani keuangan negara. UU No 5 Tahun 2014 tentang ASN menempatkan pegawai ASN (PNS dan PPPK) sebagai aset negara, bukan sebagai beban negara.

Ada sejumlah perubahan dasar yang dianut dalam UU No 5 Tahun 2014 tentang ASN dalam kaitannya dengan sistem penggajian dan jaminan sosial pegawai ASN. Pertama, gaji pegawai ASN akan diberikan berdasarkan pada beban kerja, risiko pekerjaan, tanggung jawab jabatan, dan capaian kinerja yang disepakati.

Sistem ini sejatinya merombak total sistem penggajian PNS dalam Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil (PGPS) yang berbasis kepada kepangkatan, masa kerja, dan eselonisasi jabatan. PGPS dalam praktiknya tidak memacu produktivitas PNS karena tidak berdasarkan pada bobot jabatan maupun kinerja yang dicapai oleh PNS.

Bahkan PGPS seringkali menimbulkan kecemburuan baik secara horizontal antarsatu jabatan dalam level yang sama maupun secara vertikal antarlevel jabatan yang berbeda. Sistem yang baru akan menciptakan keadilan internal dan mendorong keadilan eksternal.

Kedua, jaminan sosial ASN akan diberikan untuk mencapai dua tujuan utama yaitu menjamin produktivitas pegawai ASN semasa aktif menjabat dan menjalankan tugas pelayanan, pembangunan, dan pemerintahan; tetapi juga sebagai hak, penghargaan, dan perlindungan jaminan penghasilan pada saat tidak lagi menjadi pegawai ASN atau sudah pensiun.

Dalam praktik selama ini, para PNS seringkali mengalami kegamangan dan kekhawatiran menjelang batas usia pensiun (BUP) karena rendahnya jaminan sosial yang akan diperoleh setelah pensiun.

Hal ini menyebabkan perilaku menyimpang, berupa praktik praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam rangka mempersiapkan sendiri jaminan hari tuanya. Karena itulah, UU No 5 Tahun 2014 tentang ASN memberikan beberapa Jaminan Sosial bagi PNS maupun PPPK dalam rangka meningkatkan produktivitas kerja.

SJSN untuk ASN

Dalam UU No 5 Tahun 2014 tentang ASN disebutkan bahwa PNS mendapatkan jaminan sosial berupa Jaminan Pensiun (JP), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), dan Jaminan Kesehatan (Jamkes).

Jaminan yang sama juga akan diberikan kepada Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja, kecuali Jaminan Pensiun karena akan diatur dan dikelola sesuai dengan UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Persoalan yang harus didiskusikan pemangku kepentingan terkait dengan Jaminan Sosial untuk Aparatur Sipil Negara adalah apakah jaminan ini akan diatur dan dilaksanakan secara tersendiri atau apakah akan secara penuh mengikuti ketentuan dalam UU No 40 Tahun 2014 tentang SJSN dan dilaksanakan oleh Badan Pengelolaan Jaminan Sosial (BPJS) menurut UU No 24 Tahun 2011.

Persoalan ini menjadi salah satu materi penting dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Jaminan Sosial ASN yang saat ini sedang dibahas. Sebagaititiktolakpembahasan tentunya adalah norma dasar yang ada di dalam tiga UU dimaksud. Sebagai anggota tim yang ikut membahas UU No 5 Tahun 2014, penulis memiliki beberapa catatan tentang Jaminan Sosial bagi ASN sebagaimana diatur dalam Pasal 91 (4), Pasal 92 (6), dan Pasal 106.

Meskipun Jaminan Sosial untuk ASN akan diberikan dalam rangka melaksanakan Sistem Jaminan Sosial Nasional, pengaturan detilnya akan diatur tersendiri dalam Peraturan Pemerintah mengenai Sistem Jaminan Sosial ASN. Ada beberapa pertimbangan filosofis, yuridis, dan sosiologis yang melatarbelakangi pengaturan tersendiri Jaminan Sosial bagi ASN.

Secara filosofis, pegawai ASN (PNS dan PPPK) adalah pejabat publik yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan melaksanakan tujuan konstitusional. Dengan kewenangan publik yang dimilikinya, pegawai ASN memberikan pelayanan publik dan atas dasar itu juga memiliki privilese publik. Secara filosofis nature of job pegawai ASN juga berbeda dengan profesi pekerjaan lainnya.

Di dalam pekerjaan ASN terkandung tanggung jawab jabatan dan risiko jabatan yang harus ditanggungnya kelak. Sedangkansecara sosiologis, sejarah institusi pengelolaan jaminan sosial ASN di Indonesia akan diatur dan dikelola secara terpisah dengan Jaminan Sosial bagi swasta dan masyarakat pada umumnya. Dalam praktik internasional, pengaturan dan pengelolaan jaminan sosial pegawai negeri di banyak negara memang terdapat dua corak.

Pertama, negara-negara yang memisahkan pengaturan dan pengelolaan Jaminan Sosial untuk masyarakat umum dan Jaminan Sosial untuk ASN (seperti Jerman, Australia, Belgia, Finlandia, dan Korea); dan kedua, kelompok negara-negara yang menyatukan pengaturan dan pengelolaan Jaminan Sosial untuk masyarakat umum dan Jaminan Sosial pegawai untuk ASN (seperti Amerika Serikat, Belanda, Jepang, Spanyol, dan Inggris).

Kedua corak ini tentu memiliki akar sejarah, mandat konstitusi, persoalan dasar, sistem hukum dan sistem sosial yang berbeda-beda. Negara seperti Jerman misalnya memiliki sejarah sosialisme yang berakar dan birokrasi yang mapan atas dasar rechtsstaat (negara hukum); perkembangan jaminan sosial yang kuat, sehingga memisahkan jaminan sosial pegawai negeri dengan swasta dan masyarakat umum. Sistem jaminan sosial sudah lama terbentuk dan mapan.

Sedangkan Amerika Serikat memiliki tradisi liberalisme yang kuat dan paham individualisme sehingga memiliki argumentasi yang kuat untuk menggabungkan pengaturan dan pengelolaan jaminan sosial pegawai negeri dengan masyarakat dan swasta. Beberapa negara memisahkan atau menggabungkan jaminan sosial untuk pegawai negeri dan masyarakat umum hanya berdasarkan alasan kepraktisan dalam pengelolaannya.

Bagaimana untuk Indonesia? Penulis sendiri cenderung untuk memberikan beberapa dasar pemikiran sebagai berikut: Pertama, sejarah birokrasi di Indonesia lebih mengikuti tradisi Eropa kontinental dengan pendekatan rechsstaat. Kedua, harus diakui bahwa sistem di sektor publik dan sektor swasta di Indonesia masih belum memiliki level kemajuan yang sama.

Ketiga, pada prinsipnya pengelolaan APBN/APBP tidaklah serta-merta dengan mudah digabungkan dengan swasta. Keempat, pengabdian dan dedikasi para pegawai ASN yang menjalankan tugas dan kewenangan publik perlu juga mendapatkan perhatian.

Meski demikian, tentu argumentasi yang lain juga bisa memberikan legitimasi atas pilihan pemerintah. Pemerintah juga bisa memilih untuk memisahkan atau menggabungkan sistem jaminan sosial pegawai ASN dan masyarakat umum atas dasar kepraktisan dalam pelaksanaannya dengan melihat sejarah institusi pengelolaan sistem jaminan sosial untuk PNS. Semoga.

Eko prasojo
Guru Besar Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Indonesia
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3984 seconds (0.1#10.140)