Paradoks Sila Kelima
A
A
A
Nenek berusia 63 tahun itu tiba - tiba berlutut di lantai dalam ruang sidangsaat ketua majelis hakim menutup persidangan.
”Saya mohon ampunan, Pak Hakim. Saya benar- benar tidak mencuri,” ujar beliau sambil menyusun sepuluh jarinya. Majelis hakim di Pengadilan Negeri Situbondo, Jawa Timur, tampaknya telah bulat hati menjatuhi hukuman selama satu tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider satu hari kurungan dengan masa percobaan satu tahun tiga bulan kepada Nenek Asyani.
”Demi hukum” nenek buta hukum itu telah ditahan atas tuduhan mencuri tujuh batang kayu milik PT Perhutani yang dibantahnya. Meski kayu itu diambil dari tanah miliknya sendiri, bahkan beliau pun sudah memperlihatkan bukti kepemilikan tanah dan diperkuat keterangan kepala desa, nenek papa malang itu tetap divonis bersalah oleh pengadilan.
Kasus yang membelit Nenek Asyani menjadi potret supremasi hukum yang ringkih. Hukum tampil tak berdaya menangani kasus korupsi yang melibatkan kelompok elite, tapi pada saat bersamaan justru garang kepada orang lemah. Buktinya, untuk menyeret Nenek Asyani ke meja hijau, penegak hukum tak perlu waktu lama (Achmad Fauzi, 2015).
Bagai bumi dan langit dengan penanganan skandal Bank Century yang merugikan negara Rp6,7 triliun yang hingga kini tak jelas ujung pangkalnya. Aktor utama sampai detik ini tak terjamah karena memiliki akses kekuasaan, impunitas hukum, dan ‘jalur sutet’ yang berbahaya apabila dibongkar. Karena itu, wajar jika penegakan hukum kerap meninggalkan jejak ironi.
Wajar pula jika penanganan kasus korupsi selalu berakhir antiklimaks. Supremasi hukum yang berselingkuh erat dengan pragmatisme politik akan sulit membongkar akar kejahatan korupsi karena aib para penguasa bersembunyi di dalamnya. Kasus hukum yang menjerat justitia belend malang di atas hanyalah serpihan kecil dari ratusan, bahkan ribuan kasus serupa, namun tak terekspos media.
Inilah tragedi dan ironi penegakan hukum negeri bersendikan sila kelima Pancasila: ”Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Yang menghendaki seluruh rakyat diperlakukan adil dalam bidang hukum, politik, ekonomi, kebudayaan, dan kebutuhan spiritual rohani sehingga tercipta masyarakat yang adil dan makmur. Namun, realitasnya tidak demikian.
Hukum cenderung diskriminatif karena hanya tajam menghunjam ke bawah dan tumpul saat diayunkan ke atas. Ironis memang. Bagi para pelaku kejahatan berkantong tebal dan berjejaring kekuasaan politik kuat, nyaris hukum tak mampu menyentuhnya.
Sebaliknya, saat berhadapan dengan kaum lemah, papa, miskin secara kultural maupun sosial karena tak punya jaringan kekuasaan dan politik, hukum menjadi garang melebihi serigala.
Alek Karci Kurniawan
Mahasiswa Fakultas Hukum, Berkegiatan di Unit Kegiatan Mahasiswa Pengenalan Hukum dan Politik (UKM PHP) Universitas Andalas
”Saya mohon ampunan, Pak Hakim. Saya benar- benar tidak mencuri,” ujar beliau sambil menyusun sepuluh jarinya. Majelis hakim di Pengadilan Negeri Situbondo, Jawa Timur, tampaknya telah bulat hati menjatuhi hukuman selama satu tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider satu hari kurungan dengan masa percobaan satu tahun tiga bulan kepada Nenek Asyani.
”Demi hukum” nenek buta hukum itu telah ditahan atas tuduhan mencuri tujuh batang kayu milik PT Perhutani yang dibantahnya. Meski kayu itu diambil dari tanah miliknya sendiri, bahkan beliau pun sudah memperlihatkan bukti kepemilikan tanah dan diperkuat keterangan kepala desa, nenek papa malang itu tetap divonis bersalah oleh pengadilan.
Kasus yang membelit Nenek Asyani menjadi potret supremasi hukum yang ringkih. Hukum tampil tak berdaya menangani kasus korupsi yang melibatkan kelompok elite, tapi pada saat bersamaan justru garang kepada orang lemah. Buktinya, untuk menyeret Nenek Asyani ke meja hijau, penegak hukum tak perlu waktu lama (Achmad Fauzi, 2015).
Bagai bumi dan langit dengan penanganan skandal Bank Century yang merugikan negara Rp6,7 triliun yang hingga kini tak jelas ujung pangkalnya. Aktor utama sampai detik ini tak terjamah karena memiliki akses kekuasaan, impunitas hukum, dan ‘jalur sutet’ yang berbahaya apabila dibongkar. Karena itu, wajar jika penegakan hukum kerap meninggalkan jejak ironi.
Wajar pula jika penanganan kasus korupsi selalu berakhir antiklimaks. Supremasi hukum yang berselingkuh erat dengan pragmatisme politik akan sulit membongkar akar kejahatan korupsi karena aib para penguasa bersembunyi di dalamnya. Kasus hukum yang menjerat justitia belend malang di atas hanyalah serpihan kecil dari ratusan, bahkan ribuan kasus serupa, namun tak terekspos media.
Inilah tragedi dan ironi penegakan hukum negeri bersendikan sila kelima Pancasila: ”Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Yang menghendaki seluruh rakyat diperlakukan adil dalam bidang hukum, politik, ekonomi, kebudayaan, dan kebutuhan spiritual rohani sehingga tercipta masyarakat yang adil dan makmur. Namun, realitasnya tidak demikian.
Hukum cenderung diskriminatif karena hanya tajam menghunjam ke bawah dan tumpul saat diayunkan ke atas. Ironis memang. Bagi para pelaku kejahatan berkantong tebal dan berjejaring kekuasaan politik kuat, nyaris hukum tak mampu menyentuhnya.
Sebaliknya, saat berhadapan dengan kaum lemah, papa, miskin secara kultural maupun sosial karena tak punya jaringan kekuasaan dan politik, hukum menjadi garang melebihi serigala.
Alek Karci Kurniawan
Mahasiswa Fakultas Hukum, Berkegiatan di Unit Kegiatan Mahasiswa Pengenalan Hukum dan Politik (UKM PHP) Universitas Andalas
(ftr)