KPK dan PSSI di Era Revolusi Mental

Senin, 08 Juni 2015 - 10:30 WIB
KPK dan PSSI di Era Revolusi Mental
KPK dan PSSI di Era Revolusi Mental
A A A
KPK dan PSSI jelas sebuah organisasi berbeda karena KPK adalah sebuah lembaga negara independen (state auxiliary body ) dan PSSI, meskipun sebuah lembaga independen, jelas bukan sebuah lembaga negara.

Meskipun keduanya berbeda dalam karakter dan hakikat kedudukannya sebagai sebuah organisasi, mereka nyaris mengalami nasib serupa. KPK mengalami nasib tragis karena meskipun janji kampanye pasangan capres Jokowi- JK akan memperkuat KPK untuk mengefektifkan pemberantasan korupsi dalam 100 hari kerja masa kepemimpinan mereka, yang terjadi justru sebaliknya.

Beberapa pimpinan KPK mengalami kriminalisasi sistematis dan kini lembaga antirasuah itu harus menanggung beban sejarah sendirian tanpa dukungan yang berarti dari sang pemimpin negeri ini, Jokowi-JK, yang belum genap enam bulan kepemimpinannya. Tak satu kali pun sang pemimpin negeri ini berucap untuk memberikan dukungan terhadap KPK.

Bahkan di saat terjadi gesekan antara KPK-Polri beberapa saat yang lalu, pemimpin negeri ini justru ingin memperlihatkan diri berada pada posisi”netral”, jika tak ingin dikatakan ”tak ingin ikut campur”.

Akibatnya, terjadilah beberapa efek blunder ketika beberapa pimpinan dan penyidik KPK dikriminalisasi yang berujung dua pimpinannya, AS dan BW terpaksa harus berhenti memimpin KPK karena di pundaknya disematkan status tersangka atas beberapa tuduhan ”tindak pidana” yang di masa lalu disangkakan telah mereka lakukan.

Sebuah ”pertarungan” tak seimbang dan kini sebagai efek bola salju dari berbagai peristiwa yang menimpa lembaga antirasuah yang notabene merupakan ”anak kandung” Reformasi Mahasiswa 1998 itu menyebabkan KPK berada di titik kritis eksistensial. Di era yang dicanangkan oleh sang pemimpin sebagai ”revolusi mental”, KPK justru nyaris terjungkal. ***

PSSI menghadapi kondisi yang kurang lebih sama dengan yang dialami KPK, bahkan lebih tragis kondisinya karena sejak 29 Mei 2015 yang lalu telah mengalami sanksi suspend dari FIFA akibat FIFA memandang adanya over intervention atau campur tangan yang eksesif yang dilakukan negara akibat SK Menpora yang tak mengakui kepengurusan baru PSSI terpilih, sesuatu yang sangat ditentang oleh Statuta FIFA.

Kini, berbagai laga sepakbola Tanah Air mengalami kondisi sekarat dan FIFA tak lagi memperhitungkan federasi sepak bola Indonesia. Politik antikorupsi dan politik bola telah menjadikan kondisi pemberantasan korupsi dan laga sepak bola di Tanah Air kian karut-marut. Tak sedikit pun terlihat sikap prihatin maupun penyesalan dari para pemimpin eksekutif di negeri ini atas situasi ini.

Jika pada PSSI sangat kentara campur tangan negara dengan mengeluarkan SK pembekuan kepengurusan, terhadap KPK justru negara terkesan melakukan intervensi tak langsung dengan sikap abai untuk memperlihatkan keberpihakannya terhadap ”sang cicak” lembaga anti rasuah tersebut.

Padahal, di masa lalu lebih dari 20 (dua puluh) kali UU KPK diuji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) oleh jaringan koruptor dengan maksud untuk mematikan KPK secara struktural, tetapi MK selalu menempatkan diri sebagai benteng konstitusi bagi eksistensi lembaga antirasuah itu. Kini, lemahnya kepemimpinan nasional dalam memberikan dukungan terhadap KPK telah menyebabkan KPK kian terpuruk.

Secara politis, KPK harus berjuang sendirian menghadapi ”perlawanan balik” mafia korupsi dan secara hukum KPK dengan sumber daya yang terbatas harus selalu disibukkan untuk menghadapi gelombang praperadilan yang kini telah menjadi bola liar dalam gerakan pemberantasan korupsi di negeri ini. ***

Pemerintah tak boleh melupakan sejarah bahwa lahirnya dan eksistensi KPK merupakan faktor yang sangat penting dan berpengaruh terhadap upaya membangun kepercayaan dunia internasional.Kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia sangat ditopang kemampuan negeri ini memerangi korupsi melalui peran lembaga pemberantasan korupsi yang bekerja secara efektif dan dapat dipercaya.

Posisi sang presiden yang bukan merupakan king maker dalam tubuh partai politik yang dulu menjadi pintu masuk pencalonannya di era pilpresseharusnya tak boleh menjadi kendala bagi sang pemimpin tersebut dalam mengambil kebijakan-kebijakan yang lebih berpihak pada suara rakyat.

Perlu diingat bahwa dukungan terhadap terpilihnya presiden justru lebih banyak diperoleh dari suara publik baik dari lintas partai maupun nonpartisan. Maka, sungguh mencederai suara dan kepercayaan rakyat jika sang pemimpin tak lagi mempertimbangkan nurani publik dan justru hanya disibukkan menghadapi tekanan kepentingan (para elite) partai-partai pendukungnya daripada mendengarkan suara rakyat yang jauh lebih banyak.

Pemimpin negeri ini tak boleh melalalui pentingnya bahasa dalam perpolitikan. Filsuf Bertrand Russel pernah menunjukkan kemutlakan kondisi tata hidup manusia yang tak mungkin dibayangkan tanpa bahasa. Bahkan, seorang Konfusius pernah mengatakan bahwa keteraturan (order) bersama berasal pertama-tama dari bahasa.

Oleh karena itulah pentingnya para elite pemimpin negeri ini menggunakan bahasa sebagai sarana diskursus yang santun dan menghindari penggunaan bahasa yang kontroversial. Absennya dukungan pemimpin negeri ini terhadap KPK melalui bahasa dalam mendukung langkah-langkah pemberantasan korupsi yang selama ini secara efektif telah dijalankan KPK dengan baik dan memberikan dukungan terhadap PSSI untuk membenahi dunia persebakbolaan tanah air untuk bisa berlaga di kontes internasional telah menjadikan kedua lembaga itu kian mati suri. ***

Jika dalam soal kedaulatan pangan kini telah mewabah beras imitasi alias beras plastik, semestinya juga perlu diwaspadai tampilnya para pejuang antikorupsi sintetis alias palsu yang bisa menyerobot berbagai ranah kebijakan untuk kian menjadikan pemberantasan korupsi kian tak efektif. Sejak dari saat pemilihan Pansel KPK hingga ranah legislasi UU Antikorupsi (baik substansi maupun institusi) sangat mungkin dijarah oleh para pejuang antikorupsi sintetis.

Hal serupa juga akan dialami persebakbolaan Tanah Air jika upaya reformasi persepakbolaan Tanah Air tak dikelola pihak-pihak yang sungguh-sungguh menguasai manajemen sepak bola secara profesional. Berbagai pernyataan yang tak dengan tulus mendukung KPK maupun PSSI ibarat politik bahasa yang justru melemahkan kedua institusi itu.

Bahasa bukanlah alat yang netral karena bahasa memiliki kekuatan untuk mengubah, menghancurkan maupun membangun. Bahasa adalah horizon yang ibarat dunia menjadi batas pemandangan, pemahaman, dan pengertian bagi manusia. Filsuf Wittgenstein bahkan mengatakan bahwa bahasa adalah cermin realitas.

Ketidakjelasan politik bahasa pemimpin negeri ini dalam soal pemberantasan korupsi maupun persepakbolaan Tanah Air sebenarnya menjadi cermin realitas dari tak tulusnya para elite negeri ini dalam mendorong langkah-langkah pemberantasan korupsi yang notabene telah menjadi gerakan semesta dan kelanjutan Reformasi Mahasiswa 1998 serta di ranah persepakbolaan telah menggiring bola di kancah politik transaksional.

DR Wriawan Tjandra, SH, MHUM
Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7524 seconds (0.1#10.140)