Refleksi Keindonesiaan Buya Syafii

Minggu, 07 Juni 2015 - 10:47 WIB
Refleksi Keindonesiaan...
Refleksi Keindonesiaan Buya Syafii
A A A
Pada 31 Mei 2015, genap 80 tahun Ahmad Syafii Maarif. Guna mensyukuri ulang tahun Buya Syafii begitu ia biasa disapa-Maarif Institute dan Mizan menerbitkan buku Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, Sebuah Refleksi Sejarah.

Buku ini boleh dibilang karya monumental. Sebab, di dalam buku ini Buya Syafii mencurahkan gagasan, aksi, interpretasi, sikap, sekaligus integritas dalam menjawab persoalan keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Buya Syafii tampil trengginas mengemas berbagai isu lengkap dengan catatan sejarah yang sangat kaya. Kemampuan mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini dalam mengakses literatur Barat dan Timur pun semakin memperkaya khasanah kajian Islam di Indonesia.

Satu Tarikan Napas

Dalam karya ini pendiri Maarif Institute ini ingin menyeru kepada Indonesia, tanah tumpah darah kita semua, kepada Islam, agama mayoritas penduduk Indonesia, dan kepada kemanusiaan yang secara teori memayungi nasionalisme bangsa ini. Sebagai penduduk mayoritas di Nusantara semestinya umat Islam tidak lagi sibuk mempersoalkan hubungan Islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan.

Ketiga konsep itu haruslah ditempatkan dalam satu napas sehingga Islam yang mau dikembangkan di Indonesia adalah sebuah Islam yang ramah, terbuka, inklusif, dan mampu memberi solusi terhadap masalahmasalah besar bangsa dan negara. Sebutlah sebuah Islam yang dinamis dan bersahabat dengan lingkungan kultur, sub-kultur, dan agama kita yang beragam; sebuah Islam yang memberikan keadilan, kenyamanan, keamanan, dan perlindungan kepada semua orang yang berdiam di Nusantara ini, tanpa diskriminasi, apa pun agama yang diikutinya atau tidak diikutinya.

Sebuah Islam yang sepenuhnya berpihak kepada rakyat miskin, sekalipunajarannya sangat anti-kemiskinan, sampai kemiskinan itu berhasil dihalau sampai batas-batas yang jauh di negeri kepulauan ini (halaman 17). Lebih lanjut, sembari mengutip ayat Alquran (al-Maidah, 5: 48), murid Fazlur Rahman ini, menyeru kepada semua pemeluk agama untuk berlomba- lomba dalam kebajikan.

Baginya, tugas penganut semua agama adalah berlomba menegakkan dan menyebarkan kebajikan untuk semua, tidak hanya untuk diri sendiri atau kelompok sendiri. Perlombaan dalam kebajikan itu pun tak boleh merusak perumahan Indonesia sebagai negara-bangsa milik bersama dan tidak boleh pula tergelincir dari koridor “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Maka keindonesiaan dalam arti kebangsaan Indonesia tidak boleh beralih menjadi kebangsaan yang ekspansif yang tidak lain dari imperialisme modern (halaman 31).

Pendukung Demokrasi

Dalam kerangka tersebut, Buya Syafii menegaskan bahwa sudah sejak awal mayoritas umat Islam Indonesia adalah pendukung sistem demokrasi. Berbeda dengan mitranya di berbagai belahan dunia yang menolak atau ragu terhadap demokrasi. Rakyat Indonesia yang mayoritas muslim malah memandang demokrasi sebagai realisasi prinsip syura seperti yang diajarkan oleh Alquran.

Selain karena pertimbangan agama, umat Islam Indonesia mendukung demokrasi juga berdasarkan realitas perimbangan jumlah mereka yang mayoritas sebagai pemeluk Islam. Maka melalui demokrasi, citacita kemasyarakatan dan kenegaraan Islam akan lebih mudah diperjuangkan, setidak-tidaknya demikianlah secara teoritik.

Oleh sebab itu, munculnya partai-partai yang bercorak Islam sebelum dan pasca-Proklamasi adalah dalam rangka menegakkan pilar-pilar demokrasi, sekalipun sering terhempas dalam perjalanan (halaman 148). Demikian pula dalam penerimaan Pancasila sebagai dasar filosofi negara. Maka terbuka peluang yang sangat lebar untuk membangun bangsa ini tanpa bertegang urat leher karena perbedaan teo-filosofis. Dengan berakhirnya debat itu, energi mengembangkan Islam khas Nusantara pun akan terus tersemai dan tumbuh subur.

Ilmu Garam

Inilah yang kemudian sering Buya Syafii sebut sebagai “ilmu garam, tidak ilmu gincu” dalam proses memperjuangkan Islam di Indonesia. Ketika garam larut dalam makanan, bekasnya tidak kelihatan, tetapi pengaruhnya dalam cita-rasa masakan sangat menentukan. Istilah yang Buya Syafii ambil dari Bung Hatta itu merupakan wejangan dalam rangka mendidik umat Islam Indonesia agar lebih arif dalam memperjuangkan cita-cita politik Islam (halaman 290).

Inilah kaitan antara Islam dan keindonesiaan dalam bingkai politik berkeadaban dan berkeadilan sosial. Sungguh luar biasa buku ini. Buku yang ditulis secara serius dan cermat yang semakin mengokohkan posisi Buya Syafii tokoh intelektual muslim par-execellen. Jika Anda ingin mengenal lebih dekat pribadi, gagasan, serta kiprah yang selama ini telah Buya Syafii lakukan, karya ini akan sangat membantu. Selamat ulang tahun Buya Syafii, panjang umur, terus menginspirasi negeri, dan senantiasa penuh berkah. Amin.

Benni Setiawan,
Dosen di Universitas Negeri Yogyakarta
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8148 seconds (0.1#10.140)