Menjaring Kandidat Terbaik

Jum'at, 05 Juni 2015 - 08:49 WIB
Menjaring Kandidat Terbaik
Menjaring Kandidat Terbaik
A A A
Walaupun baru digelar Desember 2015 mendatang, suhu menyambut pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak gelombang pertama sudah mulai terasa. Di berbagai daerah, sejumlah nama kandidat sudah mulai bermunculan, baik dari kalangan partai politik (parpol) maupun nonparpol.

Mereka yang merasa mempunyai potensi tampil sebagai kandidat sudah tentu memasang jejaring, terutama di lingkaran elite parpol pusat ataupun daerah, agar ambisinya merengkuh tampuk kekuasaan di provinsi, kabupaten, atau kota bisa terwujud. Dalam konteks pra-coblosan pilkada, di sinilah pertarungan tak kalah sengit terjadi karena para calon kepala daerah maupun wakil kepala daerah sikut-menyikut demi mengamankan tiket pilkada.

Caranya bisa bermacam-macam, mulai pendekatan idealis dengan menawarkan konsep yang dianggap tepat untuk membangun daerah; menggunakan pengaruh struktural maupun kultural hingga konsolidasi dukungan bisa dengan mudah tercapai; menawarkan popularitas publik dengan mengimingi hal tersebut akan dengan mudah dikonversi menjadi dukungan suara; hingga paling pragmatis, dalam hal ini menjanjikan segepok materi agar jalan menuju kontestasi pilkada semakin licin.

Bagi parpol, bukan perkara mudah untuk menjatuhkan pilihan siapa pasangan calon yang akan mereka dukung. Aspirasi publik, tekanan politik, tekanan kultural, hasil survei, hingga iming-iming materi akan berkelindan dengan kepentingan lingkaran elite parpol. Dalam proses menentukan kandidat inilah sering kali terjadi anomali, hingga output yang dihasilkan tidak sesuai ekspektasi: kalah dalam pilkada atau tidak memenuhi harapan masyarakat setelah kelak terpilih dalam pilkada.

Jika akhirnya kandidat yang diusung kalah dalam pilkada, hal tersebut sudah menjadi risiko karena dalam setiap pertarungan politik pasti ada menang dan kalah, dan siapa pun harus menerimanya, baik itu sang kandidat, parpol pengusung, atau massa pendukung.

Tapi jika yang terjadi adalah salah pilih karena pasangan kandidat terpilih bukan hanya tidak bisa memenuhi janji dan menjawab ekspektasi publik, tapi malah menimbulkan masalah baru, mau tidak mau masyarakat setempat harus turut menanggung bebannya selama lima tahun kepemimpinan. Inilah yang mesti dipertimbangkan secara matang oleh para elite parpol pembuat keputusan.

Risiko tersebut harus menjadi perhatian, karena faktanya mereka yang mengincar kekuasaan tak lebih untuk menjadikannya sebagai tunggangan mengapitalisasi kekayaan. Hipotesis ini tidaklah berlebihan jika melihat data hingga akhir 2014, di mana 325 kepala daerah dan wakil kepala daerah terjerat kasus korupsi.

Sejak otonomi daerah, sekitar 70% kepala daerah dan wakil kepala daerah diseret ke meja hijau! Di sisi lain, nama-nama yang bisa disebut sebagai profil ideal sebagai kepala daerah yang dianggap bisa membangun daerah dan sejumlah success story bisa dihitung dengan jari. Sebagian besar lainnya standar saja, dan sebagian lain hanya memunculkan cerita tentang dinasti kekuasaan.

Pengalaman empiris sejak bergulirnya otonomi daerah sudah seharusnya menjadi pelajaran bagi elite parpol untuk tidak lagi tergiur pragmatisme pilkada, karena rakyatlah yang menjadi korbannya. Sudah saatnya mereka berpikir tegak lurus untuk mencari kandidat yang bisa membawa perubahan dan perbaikan.

Kandidat demikian tentu mensyaratkan watak kepemimpinan, visi dan misi yang dimiliki, serta pemahaman akan strategi implementasi. Perubahan pola pikir parpol dalam menentukan kandidat sangat penting karena mereka adalah sentrum dari kekuasaan.

Sedangkan rakyat sebagai pemilik suara, sering kali tidak mempunyai banyak referensi dan pilihan. Jika parpol tetap bersikukuh perilaku politik selama ini, benar apa yang dituduhkan khalayak bahwa politik tidak lebih sebagai pencarian kekuasaan untuk korupsi.
(bhr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4947 seconds (0.1#10.140)