TNI Setelah 17 Tahun
A
A
A
Menurunnya kepercayaan masyarakat kepada penegak hukum dan kegagalan aparatur sipil membangun pelayanan publik, mengundang Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk masuk ranah sipil.
Sejak rezim Soeharto lengser keprabon pada Mei 1998, negara ini bisa dibilang lepas dari militerisme. Jabatan menteri atau gubernur tidak lagi banyak dihuni perwira tinggi. Begitu juga dengan bupati dan wali kota yang sebelumnya seolah menjadi jatah purnawirawan perwira menengah. Bahkan, jabatan camat dan kepala desa kebanyakan berasal dari bintara.
Tuntutan Reformasi yang digaungkan mahasiswa saat itu menghapuskan Dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Militer lantas dipisahkan dari tugas keamanan dalam negeri. Tugas tersebut diserahkan kepada saudaranya, Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Mereka kembali pada tugas pokok, pertahanan negara. Namanya pun kembali ke asal, Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Namun seiring berjalannya pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), geliat TNI untuk kembali masuk ranah sipil mulai terlihat. Hal ini ditandai dengan memorandum of understanding (MoU) antara TNI dan beberapa kementerian atau lembaga, seperti nota kesepahaman dengan Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Ya, banyak marinir TNI AL yang berjaga- jaga mengamankan stasiun-stasiun kereta api.
Begitu pula MoU TNI dengan Kementerian Pertanian (Kementan) terkait ketahanan pangan, serta dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) guna memberantas narkoba. Padahal, fungsi tersebut menjadi kewenangan polisi. Nah, yang paling menarik perhatian tentu wacana masuknya TNI menjadi penegak hukum di KPK.
Juru Bicara TNI Angkatan Darat (AD) Brigadir Jenderal TNI Wuryanto mengatakan, MoU dengan kementerian atau lembaga dilakukan karena visi TNI sejalan dengan program pemerintah. Wuryanto mencontohkan soal program ketahanan pangan dan pembangunan jalan di perbatasan Kalimantan sepanjang 1.538 km. Untuk menjawab program itu, TNI AD belum lama ini mengadakan MoU dengan Kementan serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
”Kami mendukung apa yang diprogramkan pemerintah, maka itu langsung kerja sama,” ujarnya. Wuryanto mengatakan, TNI AD melihat ketahanan pangan sebagai hal strategis. Namun, saat ini banyak masalah di pertanian. Contoh, alih fungsi lahan yang tidak terkendali, minimnya orang yang ingin jadi petani, masalah bibit, pupuk, mesin pertanian, dan yang paling parah selama 30 tahun adalah banyaknya infrastruktur pertanian yang rusak. Jika ketahanan pangan tidak tercapai, Indonesia bakal bergantung kepada negara lain.
Selengkapnya baca SINDO Weekly No. 14 Tahun 4, 2015,
terbit Kamis 4 Juni 2015.
Sejak rezim Soeharto lengser keprabon pada Mei 1998, negara ini bisa dibilang lepas dari militerisme. Jabatan menteri atau gubernur tidak lagi banyak dihuni perwira tinggi. Begitu juga dengan bupati dan wali kota yang sebelumnya seolah menjadi jatah purnawirawan perwira menengah. Bahkan, jabatan camat dan kepala desa kebanyakan berasal dari bintara.
Tuntutan Reformasi yang digaungkan mahasiswa saat itu menghapuskan Dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Militer lantas dipisahkan dari tugas keamanan dalam negeri. Tugas tersebut diserahkan kepada saudaranya, Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Mereka kembali pada tugas pokok, pertahanan negara. Namanya pun kembali ke asal, Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Namun seiring berjalannya pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), geliat TNI untuk kembali masuk ranah sipil mulai terlihat. Hal ini ditandai dengan memorandum of understanding (MoU) antara TNI dan beberapa kementerian atau lembaga, seperti nota kesepahaman dengan Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Ya, banyak marinir TNI AL yang berjaga- jaga mengamankan stasiun-stasiun kereta api.
Begitu pula MoU TNI dengan Kementerian Pertanian (Kementan) terkait ketahanan pangan, serta dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) guna memberantas narkoba. Padahal, fungsi tersebut menjadi kewenangan polisi. Nah, yang paling menarik perhatian tentu wacana masuknya TNI menjadi penegak hukum di KPK.
Juru Bicara TNI Angkatan Darat (AD) Brigadir Jenderal TNI Wuryanto mengatakan, MoU dengan kementerian atau lembaga dilakukan karena visi TNI sejalan dengan program pemerintah. Wuryanto mencontohkan soal program ketahanan pangan dan pembangunan jalan di perbatasan Kalimantan sepanjang 1.538 km. Untuk menjawab program itu, TNI AD belum lama ini mengadakan MoU dengan Kementan serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
”Kami mendukung apa yang diprogramkan pemerintah, maka itu langsung kerja sama,” ujarnya. Wuryanto mengatakan, TNI AD melihat ketahanan pangan sebagai hal strategis. Namun, saat ini banyak masalah di pertanian. Contoh, alih fungsi lahan yang tidak terkendali, minimnya orang yang ingin jadi petani, masalah bibit, pupuk, mesin pertanian, dan yang paling parah selama 30 tahun adalah banyaknya infrastruktur pertanian yang rusak. Jika ketahanan pangan tidak tercapai, Indonesia bakal bergantung kepada negara lain.
Selengkapnya baca SINDO Weekly No. 14 Tahun 4, 2015,
terbit Kamis 4 Juni 2015.
(bbg)