Target Pajak Bisa Turun
A
A
A
Pemerintah siap menerima kenyataan kalau target penerimaan pajak tahun ini sulit direalisasikan. Penerimaan pajak yang dipatok sebesar Rp1.295 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015 diprediksi bakal lebih rendah sebesar Rp120 triliun dari target.
Pernyataan pesimistis tersebut disampaikan Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro menanggapi lambannya penerimaan pajak dan sejumlah kebijakan yang memengaruhi penarikan pajak. Pemerintah memprediksi penyerapan anggaran belanja akan berkisar pada 92% hingga 93% dengan angka defisit yang dijaga pada level maksimal 2,2%. Angka defisit tersebut lebih 0,3% dari angka yang dipatok sebelumnya pada kisaran 1,9%.
Mengatasi penambahan defisit tersebut, pemerintah mengandalkan pinjaman dalam skema multilateral dan bilateral. Menyinggung soal penyerapan anggaran di bawah 100%, pemerintah menyatakan tidak hanya karena persoalan realisasi pajak di bawah target, tetapi juga disebabkan beberapa hal di antaranya penghematan belanja yang dilakukan oleh kementerian/lembaga (K/L).
Penyebab lainnya, ada proyek yang memang sulit direalisasikan karena terhambat masalah izin dan persoalan pembebasan lahan. Selain memaksimalkan penerimaan pajak, pemerintah juga merevisi sejumlah aturan yang berpengaruh pada pemungutan pajak. Misalnya, revisi seputar Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) yang akan berdampak pada penerimaan pajak.
Sejumlah barang mewah di antaranya tas wanita yang berharga puluhan juta serta perabot rumah tangga dengan harga mahal yang masuk kategori barang mewah tidak kena PPnBM. Revisi aturan pajak tersebut segera dirampungkan karena tidak perlu dikonsultasikan dengan pihak wakil rakyat.
Kalangan dunia usaha jelas tidak akan keberatan dengan revisi aturan pajak tersebut. Dan, penerimaan pajak diperkirakan bakal berkurang sekitar Rp800 miliar per tahun. Kebijakan lainnya yang akan berpengaruh pada penerimaan pajak adalah karyawan yang bergaji hingga Rp3 juta per bulan akan terbebas dari pajak penghasilan.
Pemerintah sedang menggodok aturan yang akan menaikkan pendapatan tidak kena pajak (PTKP) dari Rp24,3 juta per tahun menjadi Rp36 juta per tahun. Alasan kenaikan PTKP, sebagaimana diungkapkan Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo, didasarkan pada kenaikan pendapatan masyarakat secara umum yang terefleksi dari kenaikan upah minimum provinsi (UMP).
Namun, kebijakan kenaikan PTKP tidak serta-merta bisa diberlakukan karena harus disertai persetujuan DPR sehingga pemerintah belum bisa memastikan kapan regulasi tersebut bisa diberlakukan. Yang pasti, sambil menyiapkan peraturan tersebut, pemerintah sedang berkonsultasi dengan DPR.
Kembali pada persoalan realisasi target penerimaan pajak yang tidak tercapai, tentu mengundang pertanyaan besar bagaimana dengan tunjangan pegawai Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak yang dialokasikan cukup besar? Sebelumnya, pemerintah menegaskan pemberian tunjangan khusus kepada pegawai pajak tidak diberikan cuma-cuma, ada target yang harus dicapai sehingga ada konsekuensi di balik itu. Memang, harus fair buat apa tunjangan besar digelontorkan kepada pegawai pajak, tetapi tidak memenuhi target yang dipatok.
Pernyataan pesimistis tersebut disampaikan Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro menanggapi lambannya penerimaan pajak dan sejumlah kebijakan yang memengaruhi penarikan pajak. Pemerintah memprediksi penyerapan anggaran belanja akan berkisar pada 92% hingga 93% dengan angka defisit yang dijaga pada level maksimal 2,2%. Angka defisit tersebut lebih 0,3% dari angka yang dipatok sebelumnya pada kisaran 1,9%.
Mengatasi penambahan defisit tersebut, pemerintah mengandalkan pinjaman dalam skema multilateral dan bilateral. Menyinggung soal penyerapan anggaran di bawah 100%, pemerintah menyatakan tidak hanya karena persoalan realisasi pajak di bawah target, tetapi juga disebabkan beberapa hal di antaranya penghematan belanja yang dilakukan oleh kementerian/lembaga (K/L).
Penyebab lainnya, ada proyek yang memang sulit direalisasikan karena terhambat masalah izin dan persoalan pembebasan lahan. Selain memaksimalkan penerimaan pajak, pemerintah juga merevisi sejumlah aturan yang berpengaruh pada pemungutan pajak. Misalnya, revisi seputar Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) yang akan berdampak pada penerimaan pajak.
Sejumlah barang mewah di antaranya tas wanita yang berharga puluhan juta serta perabot rumah tangga dengan harga mahal yang masuk kategori barang mewah tidak kena PPnBM. Revisi aturan pajak tersebut segera dirampungkan karena tidak perlu dikonsultasikan dengan pihak wakil rakyat.
Kalangan dunia usaha jelas tidak akan keberatan dengan revisi aturan pajak tersebut. Dan, penerimaan pajak diperkirakan bakal berkurang sekitar Rp800 miliar per tahun. Kebijakan lainnya yang akan berpengaruh pada penerimaan pajak adalah karyawan yang bergaji hingga Rp3 juta per bulan akan terbebas dari pajak penghasilan.
Pemerintah sedang menggodok aturan yang akan menaikkan pendapatan tidak kena pajak (PTKP) dari Rp24,3 juta per tahun menjadi Rp36 juta per tahun. Alasan kenaikan PTKP, sebagaimana diungkapkan Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo, didasarkan pada kenaikan pendapatan masyarakat secara umum yang terefleksi dari kenaikan upah minimum provinsi (UMP).
Namun, kebijakan kenaikan PTKP tidak serta-merta bisa diberlakukan karena harus disertai persetujuan DPR sehingga pemerintah belum bisa memastikan kapan regulasi tersebut bisa diberlakukan. Yang pasti, sambil menyiapkan peraturan tersebut, pemerintah sedang berkonsultasi dengan DPR.
Kembali pada persoalan realisasi target penerimaan pajak yang tidak tercapai, tentu mengundang pertanyaan besar bagaimana dengan tunjangan pegawai Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak yang dialokasikan cukup besar? Sebelumnya, pemerintah menegaskan pemberian tunjangan khusus kepada pegawai pajak tidak diberikan cuma-cuma, ada target yang harus dicapai sehingga ada konsekuensi di balik itu. Memang, harus fair buat apa tunjangan besar digelontorkan kepada pegawai pajak, tetapi tidak memenuhi target yang dipatok.
(bbg)