Cicak Sekecil Itu pun Dimusuhi
A
A
A
MOHAMAD SOBARY
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia,
untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi.
Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.
Email: [email protected]
Sebelum KPK lahir, penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi, boleh dikatakan sama sekali tidak berjalan sebagaimana diharapkan seluruh rakyat Indonesia. Usaha memberantas korupsi sudah ditempuh dengan berbagai cara.
Lembaga-lembaga yang diberi mandat memerangi korupsi dibentuk dengan niat yang sungguhsungguh dan dipimpin tokohtokoh yang memiliki integritas moral yang tinggi, tapi hasilnya sama sekali tak memuaskan. Orang baik, orang bersih, orang jujur tampil sebagai tokoh utama melawan korupsi, tapi mereka boleh dikatakan tak berdaya. Mereka menjadi “panglima” dalam misi tersebut, tetapi yang sebenarnya panglima bukan mereka, melainkan presiden.
Tiap saat ditemukan tindak pidana korupsi yang layak diberantas, para “panglima” itu harus lapor dulu kepada presiden, menanti bagaimana tindakan presiden selanjutnya. Tapi presiden tidak bertindak. Sang “panglima” tak diberi kewenangan melakukan tindakan. Jadi korupsi hanya “ditemukan”, jumlah uang negara yang dikorup diketahui dengan pasti, koruptornya sudah diperiksa dengan saksama oleh “panglima” tadi. Tindakan selanjutnya tinggal memecatnya secara langsung dari jabatannya.
Bila presiden yang melakukannya, jelas pemecatan tak memiliki dampak hukum apa pun. Presiden bisa membujuknya untuk mengundurkan diri dengan aman dan tak dipermalukan, tapi uang hasil korupsinya segera dikembalikan kepada negara. Aman sekali. Jenderal Yusuf, orang bersih dan tegas, setegas sifat-sifat etnisnya, etnis Bugis yang tak usah diragukan, bila diberi kewenangan bertindak langsung oleh presiden, niscaya semuanya beres.
Tapi jenderal yang bersih dan tegas itu hanya diberi tugas untuk turun ke lapangan dan melihat sendiri secara langsung bagaimana suatu jenis korupsi dilakukan, tapi tak diberi tugas untuk mengambil tindakan. Kabarnya jenderal itu pernah geregetan dan marah kepada presiden, tapi presiden mengajaknya tersenyum. Dan bubarlah tim pemberantasan korupsi. Tim basa basi yang tak sepenuhnya bergerak dengan landasan politik dan moral yang jelas.
Karena di masyarakat orang mengeluh akan kejamnya korupsi, yang membuat yang kaya bertambah kaya dan yang miskin bertambah miskin, maka dibentuklah lembaga tadi biar suasana psikologis-politis di dalam masyarakat stabil dan terkendali dengan baik. Di zaman itu apa yang disebut stabilitas itu bukan hanya merupakan kata sifat, kata keadaan, melainkan juga kata kerja yang suci, sesuci mantra-mantra yang memiliki kekuatan magis yang besar.
Koruptor dimanjakan dengan sebaik-baiknya, semanjamanjanya. Tapi, kelahiran KPK di zaman ketika presiden itu sudah tidak berkuasa, lain sekali. KPK lahir dengan ketulusan politik. Landasan etisnya pun jelas: korupsi yang terlalu merajalela sudah saatnya dihentikan. Rakyat sudah saatnya turut menikmati kekayaan negara. Kesehatan gratis, pendidikan gratis, dan banyak pelayanan publik yang baik, sudah waktunya dinikmati rakyat. Semua itu bisa dinikmati rakyat hanya jika korupsi diberantas.
KPK memanggul mandat itu. Presiden boleh gulung koming ketika orang-orang terdekatnya ditangkap KPK dan dihukum dengan hukuman selayaknya. Tapi presiden tak punya kewenangan apapun. KPK memegang kewenangan penuh untuk bertindak. Kita tahu tindakan KPK atas suatu mandat suci, yang merupakan suara hati nurani rakyat Indonesia. KPK sebagai lembaga tak memiliki kepentingan.
Tokoh-tokoh KPK secara perseorangan, apa kepentingan politiknya? Kalau mereka bekerja dengan baik, dengan tegas tapi tulus dan jujur, untuk memperoleh kredit kinerja yang baik, di mana letak salahnya? Apa dosa mereka bila timbul harapan agar kelak bisa memangku jabatan lain sesudah masa kerjanya di KPK berlalu dengan mulus?
Jika diingat dengan baik bahwa KPK lahir dari aspirasi seluruh rakyat Indonesia di zaman reformasi dulu, tidak ada yang bisa kita lakukan kecuali taat, patuh, dan tunduk pada keputusan besar itu. Kita tahu keputusan itu sangat strategis dilihat dari segi mana pun. Seluruh dunia mendukung kita.
Bumi dan langit membenarkan langkah kita. Para wali, para nabi, dan roh-roh suci yang selama ini merasa kecewa, kini semua merasa lega. Jalan rohaniah dan politik telah kita tempuh demi kebaikan seluruh rakyat Indonesia. Betapa mulianya kita. Tapi mengapa ada lembagalembaga, tokoh-tokoh, dan para petinggi lembaga bersangkutan yang tak begitu berkenan di hati kepada KPK?
Makin lama makin terasa menjadi lebih jelas, lebih terang, bahwa mereka iri, dengki, dan penuh sikap memusuhi KPK. Bukan iri dan dengki? Mereka jengkel dan marah secara terang-terangan karena KPK menangkap saudara mereka, sahabat mereka, besan mereka atau petinggi mereka? KPK lalu disebut sok kuasa, sok berani, dan sok ingin menjadi pahlawan? Juga dianggap superbodi yang kelewat berkuasa?
KPK memiliki tugas dan segenap kewenangan yang sudah digariskan secara resmi. Tugas itu bukan mereka sendiri yang menentukan. Mereka hanya tinggal menjalankannya. Dan hanya dalam bingkai kewenangan itu mereka bekerja. Hanya itu. Tidak ada yang tampak berlebihan. Bukankah karena hanya terbatas seperti itu kewe-nangannya, maka lalu ada yang menyebutnya sekadar seperti cicak di tembok? Cicak itu gambaran kelemahan dan ukuran serbakecil dibandingkan hewan lain, misalnya buaya.
Mengapa hanya cicak yang begitu kecil dan lemah pun dimusuhi dengan segenap kedengkian? Mengapa makin lama cara memusuhinya makin sistematis dan mengarah pada niat untuk meniadakannya? Usaha melemahkan, menuju semangat meniadakan KPK, tak bisa dibiarkan begitu saja. Ini lembaga yang kita miliki bersama. Ini milik negara, milik rakyat, dan milik seluruh bangsa.
Juga milik mereka yang memusuhinya dengan kedengkian tadi. Cicak kecil itu berkembang sesudah dibentuk dan dilahirkan dari aspirasi seluruh rakyat Indonesia. Mereka yang memusuhi cicak kecil itu berarti memusuhi seluruh rakyat. Musuh sang cicak jelas musuh rakyat.
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia,
untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi.
Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.
Email: [email protected]
Sebelum KPK lahir, penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi, boleh dikatakan sama sekali tidak berjalan sebagaimana diharapkan seluruh rakyat Indonesia. Usaha memberantas korupsi sudah ditempuh dengan berbagai cara.
Lembaga-lembaga yang diberi mandat memerangi korupsi dibentuk dengan niat yang sungguhsungguh dan dipimpin tokohtokoh yang memiliki integritas moral yang tinggi, tapi hasilnya sama sekali tak memuaskan. Orang baik, orang bersih, orang jujur tampil sebagai tokoh utama melawan korupsi, tapi mereka boleh dikatakan tak berdaya. Mereka menjadi “panglima” dalam misi tersebut, tetapi yang sebenarnya panglima bukan mereka, melainkan presiden.
Tiap saat ditemukan tindak pidana korupsi yang layak diberantas, para “panglima” itu harus lapor dulu kepada presiden, menanti bagaimana tindakan presiden selanjutnya. Tapi presiden tidak bertindak. Sang “panglima” tak diberi kewenangan melakukan tindakan. Jadi korupsi hanya “ditemukan”, jumlah uang negara yang dikorup diketahui dengan pasti, koruptornya sudah diperiksa dengan saksama oleh “panglima” tadi. Tindakan selanjutnya tinggal memecatnya secara langsung dari jabatannya.
Bila presiden yang melakukannya, jelas pemecatan tak memiliki dampak hukum apa pun. Presiden bisa membujuknya untuk mengundurkan diri dengan aman dan tak dipermalukan, tapi uang hasil korupsinya segera dikembalikan kepada negara. Aman sekali. Jenderal Yusuf, orang bersih dan tegas, setegas sifat-sifat etnisnya, etnis Bugis yang tak usah diragukan, bila diberi kewenangan bertindak langsung oleh presiden, niscaya semuanya beres.
Tapi jenderal yang bersih dan tegas itu hanya diberi tugas untuk turun ke lapangan dan melihat sendiri secara langsung bagaimana suatu jenis korupsi dilakukan, tapi tak diberi tugas untuk mengambil tindakan. Kabarnya jenderal itu pernah geregetan dan marah kepada presiden, tapi presiden mengajaknya tersenyum. Dan bubarlah tim pemberantasan korupsi. Tim basa basi yang tak sepenuhnya bergerak dengan landasan politik dan moral yang jelas.
Karena di masyarakat orang mengeluh akan kejamnya korupsi, yang membuat yang kaya bertambah kaya dan yang miskin bertambah miskin, maka dibentuklah lembaga tadi biar suasana psikologis-politis di dalam masyarakat stabil dan terkendali dengan baik. Di zaman itu apa yang disebut stabilitas itu bukan hanya merupakan kata sifat, kata keadaan, melainkan juga kata kerja yang suci, sesuci mantra-mantra yang memiliki kekuatan magis yang besar.
Koruptor dimanjakan dengan sebaik-baiknya, semanjamanjanya. Tapi, kelahiran KPK di zaman ketika presiden itu sudah tidak berkuasa, lain sekali. KPK lahir dengan ketulusan politik. Landasan etisnya pun jelas: korupsi yang terlalu merajalela sudah saatnya dihentikan. Rakyat sudah saatnya turut menikmati kekayaan negara. Kesehatan gratis, pendidikan gratis, dan banyak pelayanan publik yang baik, sudah waktunya dinikmati rakyat. Semua itu bisa dinikmati rakyat hanya jika korupsi diberantas.
KPK memanggul mandat itu. Presiden boleh gulung koming ketika orang-orang terdekatnya ditangkap KPK dan dihukum dengan hukuman selayaknya. Tapi presiden tak punya kewenangan apapun. KPK memegang kewenangan penuh untuk bertindak. Kita tahu tindakan KPK atas suatu mandat suci, yang merupakan suara hati nurani rakyat Indonesia. KPK sebagai lembaga tak memiliki kepentingan.
Tokoh-tokoh KPK secara perseorangan, apa kepentingan politiknya? Kalau mereka bekerja dengan baik, dengan tegas tapi tulus dan jujur, untuk memperoleh kredit kinerja yang baik, di mana letak salahnya? Apa dosa mereka bila timbul harapan agar kelak bisa memangku jabatan lain sesudah masa kerjanya di KPK berlalu dengan mulus?
Jika diingat dengan baik bahwa KPK lahir dari aspirasi seluruh rakyat Indonesia di zaman reformasi dulu, tidak ada yang bisa kita lakukan kecuali taat, patuh, dan tunduk pada keputusan besar itu. Kita tahu keputusan itu sangat strategis dilihat dari segi mana pun. Seluruh dunia mendukung kita.
Bumi dan langit membenarkan langkah kita. Para wali, para nabi, dan roh-roh suci yang selama ini merasa kecewa, kini semua merasa lega. Jalan rohaniah dan politik telah kita tempuh demi kebaikan seluruh rakyat Indonesia. Betapa mulianya kita. Tapi mengapa ada lembagalembaga, tokoh-tokoh, dan para petinggi lembaga bersangkutan yang tak begitu berkenan di hati kepada KPK?
Makin lama makin terasa menjadi lebih jelas, lebih terang, bahwa mereka iri, dengki, dan penuh sikap memusuhi KPK. Bukan iri dan dengki? Mereka jengkel dan marah secara terang-terangan karena KPK menangkap saudara mereka, sahabat mereka, besan mereka atau petinggi mereka? KPK lalu disebut sok kuasa, sok berani, dan sok ingin menjadi pahlawan? Juga dianggap superbodi yang kelewat berkuasa?
KPK memiliki tugas dan segenap kewenangan yang sudah digariskan secara resmi. Tugas itu bukan mereka sendiri yang menentukan. Mereka hanya tinggal menjalankannya. Dan hanya dalam bingkai kewenangan itu mereka bekerja. Hanya itu. Tidak ada yang tampak berlebihan. Bukankah karena hanya terbatas seperti itu kewe-nangannya, maka lalu ada yang menyebutnya sekadar seperti cicak di tembok? Cicak itu gambaran kelemahan dan ukuran serbakecil dibandingkan hewan lain, misalnya buaya.
Mengapa hanya cicak yang begitu kecil dan lemah pun dimusuhi dengan segenap kedengkian? Mengapa makin lama cara memusuhinya makin sistematis dan mengarah pada niat untuk meniadakannya? Usaha melemahkan, menuju semangat meniadakan KPK, tak bisa dibiarkan begitu saja. Ini lembaga yang kita miliki bersama. Ini milik negara, milik rakyat, dan milik seluruh bangsa.
Juga milik mereka yang memusuhinya dengan kedengkian tadi. Cicak kecil itu berkembang sesudah dibentuk dan dilahirkan dari aspirasi seluruh rakyat Indonesia. Mereka yang memusuhi cicak kecil itu berarti memusuhi seluruh rakyat. Musuh sang cicak jelas musuh rakyat.
(bbg)