Tradisi Kehati-hatian KPK

Kamis, 28 Mei 2015 - 11:14 WIB
Tradisi Kehati-hatian...
Tradisi Kehati-hatian KPK
A A A
PATRA M ZEN
Ketua Komite Bantuan Hukum,
Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia

Fenomena kekalahan ketiga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pemeriksaan praperadilan sebaiknya dievaluasi oleh pimpinan KPK. Hal ini bukan saja menunjukkan ada ketidaktelitian pimpinan KPK dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka, melainkan juga merupakan ada realitas kekacauan logika dalam menilai dan menafsirkan alat bukti.

KPK tidak dapat mempertahankan perbuatan dan keputusannya dalam menetapkan Komjen Pol Budi Gunawan (mantan kepala Lemdikpolsaat ini Wakapolri), Ilham Arief Sirajuddin (mantan wali Kota Makassar), dan Hadi Poernomo (mantan ketua Badan Pemeriksa Keuangan/BPK) selaku tersangka tindak pidana korupsi saat diuji di pengadilan.

Saat pengadilan mengabulkan praperadilan seorang yang telah ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka, setidaknya ada dua masalah utama yang muncul yakni bukti permulaan dan perampasan kemerdekaan jika tersangka ditangkap dan ditahan. Praperadilan adalah mekanisme pengujian yang menjadi kewenangan pengadilan untuk menguji sah atau tidak sahnya perbuatan penyidik dalam melakukan penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan/penuntutan,

dan penetapan tersangka, di samping untuk memeriksa permintaan ganti kerugian dan rehabilitasi jika sebuah perkara tidak diajukan ke pengadilan. Seperti kita ketahui, putusan gugatan praperadilan yang diajukan oleh Hadi Poernomo dikabulkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 26 Mei 2015. Kritik terhadap putusan tersebut tak ayal dilontarkan Pelaksana Tugas (Plt) Ketua KPK Taufiequrrahman Ruki.

Mantan ketua KPK Jilid I (2003-2007) ini menyatakan putusan hakim praperadilan telah melampaui permohonan pemohon (Hadi Poernomo) dan bertentangan dengan UU serta memiliki implikasi luas bagi penegakan hukum maupun bagi pemberantasan korupsi (SINDONEWS, 26/5/ 2015). Artikel ini tidak akan memperdebatkan putusan praperadilan yang telah diketuk, tetapi mengingatkan kembali tradisi kecermatan yang dibangun oleh para pimpinan KPK di awal berjalannya lembaga ini.

Tradisi Kehatihatian

Tugas utama penyidik adalah mencari serta mengumpulkan bukti. Bukti merupakan modal paling utama bagi penyidik untuk mengetahui apakah benar telah terjadi tindak pidana dan menemukan siapa tersangka yang telah melakukan perbuatan pidana tersebut. Dalam proses penyidikan, seorang penyidik akan mengumpulkan bukti dengan cara memanggil saksi-saksi yang dianggap mengetahui peristiwa tindak pidana, mengumpulkan bukti surat, dan meminta pendapat ahli.

Dalam konteks penyidikan KPK, proses pencarian alat bukti ini tidak jarang terliput media saat penyidik melakukan penggeledahan dan penyitaan. Kewenangan melakukan penyadapan yang dimiliki KPK juga digunakan untuk mendukung proses penyidikan yang dilakukan. Pada masa awal berdiri KPK, Taufiequrrahman Ruki adalah seorang pimpinan KPK yang mengajarkan kehati-hatian dalam bertindak.

Ruki bahkan pernah menyatakan, penyidik KPK diminta untuk mencari lima alat bukti walaupun hukum acara hanya meminta dua alat bukti untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka. Kehati-hatian diperlukan karena KPK oleh undang-undang tidak diperbolehkan menghentikan perkara yang telah berlangsung. Tradisi kehati-hatian ini agaknya memudar belakangan.

Gelar perkara yang seharusnya dilakukan penyidik dan pimpinan KPK untuk menguji kebenaran dan kelengkapan alat bukti bahkan ditinggalkan, sebagaimana dinyatakan oleh mantan penyidik KPK, Hendy F Kurniawan, yang bertugas sejak 2008 sebelum mengundurkan diri pada 2012.

Ketika bersaksi dalam persidangan praperadilan Budi Gunawan, mantan penyidik KPK ini menerangkan dirinya mundur karena pernah diminta pimpinan KPK untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka tanpa dua alat bukti (KORAN SINDO, 11/2/2015).

Ketika pimpinan KPK menetapkan seorang menjadi tersangka, pada dasarnya menunjukkan kemampuannya untuk berdisiplin mengemukakan alasan-alasan hukum yang didapatkan penyidik yang terjun langsung dalam pencarian dan pengumpulan alat bukti. Kemampuannya mengonstruksikan sebuah peristiwa yang dinilai sebagai tindak pidana berdasarkan alat bukti yang lengkap.

Serta, menunjukkan juga kebijaksanaan (wisdom), wawasan (insight), dan pengetahuannya (knowledge) menyeleksi alat bukti. Atau, bahkanmeminta penyidik untuk mencari lagi alat bukti lain agar lengkap sebelum menetapkan seseorang yang disangka sebagai pelaku peristiwa tidak pidana itu. Di sinilah mekanisme gelar perkara menjadi sentral dan tidak boleh dilewatkan. Dalam forum gelar perkara ini, para penyidik dan pimpinan KPK seharusnya berdebat keras aga rtidak keliru langkah.

Perampasan Kemerdekaan

Tradisi yang agaknya masih tetap dilaksanakan adalah penahanan terhadap tersangka sebelum yang bersangkutan dilimpahkan berkasnya ke pengadilan. Bahkan muncul istilah ”Jumat Keramat”, di mana seorang tersangka KPK ditahan setelah pemeriksaan pada hari Jumat. Penahanan apa pun bentuknya merupakan perampasan kemerdekaan. ”Beruntung” para tersangka yang memenangkan gugatan praperadilan belum ditahan oleh KPK.

Jika seseorang telah ditetapkan menjadi tersangka, lalu ditahan, dan kemudian gugatan praperadilannya dimenangkan oleh pengadilan, tentu menjadi masalah bagi penghormatan hak asasi yang bersangkutan. Ilham Arief Sirajuddin dan Hadi Poernomo misalnya, walaupun tidak ditahan, keduanya dicekal-dicegah untuk bepergian ke luar negeri. Hal ini juga merupakan bentuk perampasan kemerdekaan warga negara untuk bepergian.

Kehati-hatian dalam menetapkan tersangka menjadi amat penting agar tindakan perampasan kemerdekaan terhadap yang bersangkutan tidak melanggar hak asasi. Dalam perspektif dan disiplin hak asasi manusia, bentuk- bentuk perampasan kemerdekaan seperti penahanan harus didasarkan pada alasan hukum yang benar dan rasional. Kegagalan memenuhi persyaratan ini merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia.

Karena merupakan perampasan kemerdekaan, sejak tahun 1981 KUHAP melimitasi kewenangan penyidik untuk melakukan penahanan. Perintah penahanan atau penahanan lanjutan bukanlah merupakan suatu hal yang wajib dilakukan. Bukan juga untuk konsumsi kehumasan atau bertujuan pencitraan.

Perintah penahanan ini harus didasarkan pada adanya kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi tindak pidana. Karena itu, ”tradisi” penahanan sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewisde) jugaperludievaluasi.

Evaluasi dan Kembalikan Tradisi

Kepentingan dan harapan agar KPK berhati-hati dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka, melakukan penahanan, mencegah seseorang bepergian atau pun pemblokiran rekening, didasarkan 3 (tiga) alasan pokok. Pertama, agar kepercayaan terhadap upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan lembaga ini sebagai murni penegakan hukum tidak pupus.

Tidak sedikit kritik yang dilontarkan pengamat bahwa penetapan tersangka oleh KPK juga dipengaruhi oleh motifmotif kepentingan di luar penegakan hukum dan keadilan. Kedua, supaya kekeliruan prilaku penyidik atau pimpinan KPK dapat segera diakhiri. Secara mudah masyarakat menilai, jika polisi bintang tiga, mantan pejabat tinggi negara, atau mantan pimpinan daerah saja dapat ditetapkan menjadi tersangka tanpa proses yang benar, tidak menutup kemungkinan akan terjadi kepada siapa pun.

Masyarakat menginginkan pimpinan KPK memberi pelajaran dan praktik yang benar di bidang penegakan hukum. Ketiga, tentu saja agar hak asasi warga negara tidak ditunda atau bahkan dirampas tanpa dasar hukum yang benar dan adil. Evaluasi kelembagaan sudah sepatutnya dilakukan oleh KPK sendiri.

Mengembalikan tradisi kehati-hatian dalam menetapkan tersangka menjadi tugas penting pimpinan dan Plt pimpinan saat ini dan pimpinan KPK ke depan. Semangat dan gagasan kehati-hatian di tubuh KPK yang diamanatkan undang- undang sebaiknya dijadikan tradisi (tradere) di lembaga ini, di-transmit, dilanjutkan, dan dijaga keberlangsungannya.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9947 seconds (0.1#10.140)