BI Revisi Kebijakan
A
A
A
Bank Indonesia (BI) terus berupaya mendongkrak penyaluran kredit perbankan di tengah lesunya pertumbuhan ekonomi nasional.
Dalam waktu dekat bank sentral segera melonggarkan kebijakan macro-prudential dengan merevisi ketentuan giro wajib minimum (GWM), loan to deposit ratio (LDR), dan aturan loan to value (LTV) kredit pemilikan rumah (KPR) serta kredit kendaraan bermotor (KKB). Khusus untuk revisi kebijakan LTV diperkirakan tuntas pada semester pertama tahun ini.
Dengan pelonggaran kebijakan macro-prudential itu, BI optimistis penyaluran kredit perbankan bakal meningkat pada level 15% hingga 17%, bandingkan realisasi penyaluran kredit yang hanya tumbuh sekitar 11% sepanjang kuartal pertama tahun ini. Melalui kebijakan tersebut, pihak bank sentral berharap bakal terdapat tambahan kredit baru sebesar Rp80 triliun.
Meski revisi LTV terkait KPR masih sedang digodok, sudah beredar bocoran bahwa kelonggaran KPR tidak hanya pada rumah pertama, tetapi juga berlanjut pada rumah kedua, ketiga, dan seterusnya. Kebijakan BI tersebut selain sebagai upaya menguatkan otot perekonomian nasional yang sedang loyo, juga ditunjang oleh kinerja perbankan yang cukup meyakinkan.
Walau perekonomian dalam kondisi lesu, Gubernur BI Agus Martowardojo tak pernah khawatir dengan melihat ketahanan perbankan nasional yang dalam posisi kuat dan stabil. Dalam setiap pengarahannya mantan direktur utama Bank Mandiri itu selalu menekankan bahwa stabilitas sistem keuangan yang solid ditopang oleh ketahanan sistem perbankan yang dibarengi terjaganya kinerja pasar keuangan.
Memang, data BI menunjukkan rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio(CAR) perbankan nasional masih tinggi sekitar 20,7% yang jauh dari ketentuan minimum sebesar 8% pada Maret lalu. Indikator lain yang menunjukkan kondisi perbankan dalam situasi stabil adalah rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) rendah dan stabil pada kisaran 2,4% (gross).
Begitupula kondisi likuiditas yang tidak mengkhawatirkan terlihat dari pertumbuhan dana pihak ketiga yang mencapai 16% pada Maret lalu atau naik 0,8% dari bulan sebelumnya. Sebaliknya, pertumbuhan kredit memang harus diakui terjadi penurunan dari sebesar 12,2% pada Februari lalu menjadi sekitar 11,3% pada Maret 2015.
Fakta lain menunjukkan, berdasarkan data dari Rea Estate Indonesia (REI), penjualan properti telah tergerus hingga 50% sepanjang kuartal pertama 2015 yang menandai lesunya pertumbuhan ekonomi. Akibat melemahnya penjualan properti tersebut, pihak REI yang semula menargetkan penjualan tumbuh sebesar 17% akhirnya dikoreksi menjadi 10% pada tahun ini.
Karena itu, langkah bank sentral yang sedang merevisi LTV, terutama terkait dengan KPR, harus diberi apresiasi. Meski demikian, kalangan pengembang sedikit harus bersabar sebab hasil revisi LTV dijadwalkan baru rampung pada akhir semester satu nanti.
Sebelumnya keputusan Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI tetap mempertahankan suku bunga acuan (BI Rate) pada level 7,5% dengan suku bunga deposit facility sebesar 5,5% dan lending facility sekitar 8%. BI mempertahankan level BI Rate tersebut dengan pertimbangan kondisi perekonomian global yang masih labil dan situasi perkembangan pertumbuhan ekonomi yang masih melemah.
Keputusan itu sejalan dengan stance kebijakan moneter yang cenderung ketat agar inflasi tetap berada pada target 4% plus minus 1% pada tahun ini. Selain itu, defisit transaksi berjalan yang lebih sehat dengan kisaran 2,5% sampai 3% terhadap PDB dalam jangka menengah.
Langkah BI yang makin terarah tersebut harus selalu seiring dengan jalan pemerintah terutama pemerintah daerah dalam menjaga tingkat inflasi yang didongkrak oleh persoalan pangan. Tantangan terdekat, bagaimana memastikan ketersediaan pasokan dan mengawasi distribusi pangan sehingga harga tidak melonjak, terutama menjelang bulan Ramadan pada pertengahan Juni mendatang.
Bukan rahasia lagi, lonjakan harga pangan merupakan pemicu kenaikan angka inflasi. Fakta menunjukkan bahwa angka inflasi yang disebabkan harga pangan di daerah tergolong masih tinggi.
Dalam waktu dekat bank sentral segera melonggarkan kebijakan macro-prudential dengan merevisi ketentuan giro wajib minimum (GWM), loan to deposit ratio (LDR), dan aturan loan to value (LTV) kredit pemilikan rumah (KPR) serta kredit kendaraan bermotor (KKB). Khusus untuk revisi kebijakan LTV diperkirakan tuntas pada semester pertama tahun ini.
Dengan pelonggaran kebijakan macro-prudential itu, BI optimistis penyaluran kredit perbankan bakal meningkat pada level 15% hingga 17%, bandingkan realisasi penyaluran kredit yang hanya tumbuh sekitar 11% sepanjang kuartal pertama tahun ini. Melalui kebijakan tersebut, pihak bank sentral berharap bakal terdapat tambahan kredit baru sebesar Rp80 triliun.
Meski revisi LTV terkait KPR masih sedang digodok, sudah beredar bocoran bahwa kelonggaran KPR tidak hanya pada rumah pertama, tetapi juga berlanjut pada rumah kedua, ketiga, dan seterusnya. Kebijakan BI tersebut selain sebagai upaya menguatkan otot perekonomian nasional yang sedang loyo, juga ditunjang oleh kinerja perbankan yang cukup meyakinkan.
Walau perekonomian dalam kondisi lesu, Gubernur BI Agus Martowardojo tak pernah khawatir dengan melihat ketahanan perbankan nasional yang dalam posisi kuat dan stabil. Dalam setiap pengarahannya mantan direktur utama Bank Mandiri itu selalu menekankan bahwa stabilitas sistem keuangan yang solid ditopang oleh ketahanan sistem perbankan yang dibarengi terjaganya kinerja pasar keuangan.
Memang, data BI menunjukkan rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio(CAR) perbankan nasional masih tinggi sekitar 20,7% yang jauh dari ketentuan minimum sebesar 8% pada Maret lalu. Indikator lain yang menunjukkan kondisi perbankan dalam situasi stabil adalah rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) rendah dan stabil pada kisaran 2,4% (gross).
Begitupula kondisi likuiditas yang tidak mengkhawatirkan terlihat dari pertumbuhan dana pihak ketiga yang mencapai 16% pada Maret lalu atau naik 0,8% dari bulan sebelumnya. Sebaliknya, pertumbuhan kredit memang harus diakui terjadi penurunan dari sebesar 12,2% pada Februari lalu menjadi sekitar 11,3% pada Maret 2015.
Fakta lain menunjukkan, berdasarkan data dari Rea Estate Indonesia (REI), penjualan properti telah tergerus hingga 50% sepanjang kuartal pertama 2015 yang menandai lesunya pertumbuhan ekonomi. Akibat melemahnya penjualan properti tersebut, pihak REI yang semula menargetkan penjualan tumbuh sebesar 17% akhirnya dikoreksi menjadi 10% pada tahun ini.
Karena itu, langkah bank sentral yang sedang merevisi LTV, terutama terkait dengan KPR, harus diberi apresiasi. Meski demikian, kalangan pengembang sedikit harus bersabar sebab hasil revisi LTV dijadwalkan baru rampung pada akhir semester satu nanti.
Sebelumnya keputusan Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI tetap mempertahankan suku bunga acuan (BI Rate) pada level 7,5% dengan suku bunga deposit facility sebesar 5,5% dan lending facility sekitar 8%. BI mempertahankan level BI Rate tersebut dengan pertimbangan kondisi perekonomian global yang masih labil dan situasi perkembangan pertumbuhan ekonomi yang masih melemah.
Keputusan itu sejalan dengan stance kebijakan moneter yang cenderung ketat agar inflasi tetap berada pada target 4% plus minus 1% pada tahun ini. Selain itu, defisit transaksi berjalan yang lebih sehat dengan kisaran 2,5% sampai 3% terhadap PDB dalam jangka menengah.
Langkah BI yang makin terarah tersebut harus selalu seiring dengan jalan pemerintah terutama pemerintah daerah dalam menjaga tingkat inflasi yang didongkrak oleh persoalan pangan. Tantangan terdekat, bagaimana memastikan ketersediaan pasokan dan mengawasi distribusi pangan sehingga harga tidak melonjak, terutama menjelang bulan Ramadan pada pertengahan Juni mendatang.
Bukan rahasia lagi, lonjakan harga pangan merupakan pemicu kenaikan angka inflasi. Fakta menunjukkan bahwa angka inflasi yang disebabkan harga pangan di daerah tergolong masih tinggi.
(ftr)