Nasib Malang PRT Migran
A
A
A
Mari kita bayangkan kehidupan Presiden, Wakil Presiden, dan Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri tanpa pekerja rumah tangga (PRT) di dalam rumah tangga mereka.
Presiden terpaksa tidak bisa blusukan setiap saat karena mesti membereskan pekerjaan rumah bersamasama anggota keluarganya. Menaker akan berpikir dua kali atau lebih banyak lagi untuk memanjat pagar penampungan TKI karena harus membersihkan bajunya sendiri yang mungkin dapat kotor atau robek tersangkut pagar. Tak usah mereka, kebanyakan kita tidak akan dapat bekerja dengan baik di luar rumah bila tak menggunakan jasa PRT.
Karena itu, keberadaan mereka sebagai pekerja secara nyata memberikan sumbangsih dalam kehidupan kita semua. Mereka menopang hampir seluruh tata kehidupan kita baik secara langsung maupun tak langsung. Sayangnya, pekerjaan dan keberadaan mereka tak banyak mendapatkan pengakuan yang layak dari kita semua. Konversi dari kata“pembantu” ke“pekerja” belum sepenuhnya diterima dalam masyarakat.
Padahal, kata ini akan berimplikasi bagi perlakuan dan penghargaan kita kepada mereka. Kita lebih sering dan senang menggunakan istilah “pembantu” dibanding pekerja karena tak ingin memberikan upah yang layak bagi pekerjaan berat mereka yang sering tak mengenal waktu dan melampaui batas pengabdian atau karena kita tak ingin mereka sederajat dengan kita.
Pandangan miring terhadap mereka seperti ini yang tengah bersemayam dalam otak dan kesadaran kebanyakan kita, terutama mereka yang saat ini memiliki kesempatan membuat kebijakan. Latar ini setidaknya yang menjadi konteks kebijakan larangan pemerintah untuk mengirim PRT migran ke 21 negara di Timur Tengah.
Terlebih nuansa ketidakmampuan pemerintah melindungi dan memastikan hak-hak mereka sebagai pekerja lebih menonjol dibandingkan keinginan untuk membela kepentingan dan melindungi mereka dan anggota keluarganya.
Feminisasi Migrasi
Berdasarkan data BNP2TKI, dari jumlah buruh migran yang berangkat ke luar negeri pada 2014, dari 429.872 orang, 53% adalah perempuan yang bekerja sebagai PRT migran. Hanya 24,85% yang lulusan SMA, 37,86% lulusan SMP, dan 32,29% lulusan SD. Artinya, separuh lebih demografi buruh migran Indonesia di luar negeri adalah perempuan yang bekerja sebagai PRT.
Data di atas mestinya cukup untuk membuka mata pemerintah yang belum mampu menyediakan lapangan pekerjaan buat mereka untuk menyadari bahwa menjadi PRT migran ke luar negeri sesungguhnya bukan semata pilihan kebanyakan perempuan Indonesia, tetapi lebih karena keterpaksaan bagi mayoritas keluarga miskin yang berlatar belakang pendidikan terbatas.
Fenomena migrasi yang banyak melibatkan perempuan ini lebih dikenal dengan istilah feminisasi migrasi sebagai dampak dari feminisasi kemiskinan. Perempuan dipaksa miskin dan mesti menerima setiap akibat dari kemiskinan. Mereka tidak berdaya, tapi berani mengambil risiko untuk melanjutkan kehidupan yang mereka harapkan lebih baik.
Tapi, harapan tak selalu bersambut dengan kenyataan. Pelanggaran demi pelanggaran banyak mereka terima. Baik sebelum maupun terutama ketika mereka menjadi PRT migran. Pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dihadapi PRT migran merupakan fenomena global yang berlangsung secara sistematik dan berkelanjutan.
Terlebih ketika mereka mesti berhadapan dengan kondisi kerja tidak layak karena tidak mendapatkan pengakuan sebagai pekerja dan proteksi terhadap hak-hak mereka dari negara. Fakta-fakta pelanggaran HAM terhadap PRT ini mendorong International Labour Organization (ILO ) pada 16 Juni 2011 mengesahkan konvensi 189 tentang kerja layak bagi PRT.
Konvensi ini standar internasional pertama yang mengakui PRT sebagai pekerja formal yang harus dilindungi dan dijaminhak- haknya secara hukum. Konvensi ini telah diratifikasi oleh 17 negara dari berbagai kawasan. Sayangnya, di ASEAN baru Filipina yang meratifikasi, sementara sembilan negara anggota lainnya belum memiliki kesadaran akan pentingnya meratifikasi konvensi tersebut.
Mestinya, bagi Pemerintah Indonesia meratifikasi konvensi ILO ini menjadi sebuah kewajiban mengingat begitu besarnya jumlah PRT di dalam maupun di luar negeri. Itu juga untuk menunjukkan komitmen melindungi warganya yang bekerja sebagai PRT sekaligus alat diplomasi untuk meminta negara lain melindungi dan memproteksi PRT migran Indonesia.
Larangan bekerja bagi PRT migran Indonesia ke luar negeri sesungguhnya bukan kebijakan baru di Indonesia. Tampaknya pemerintahan Jokowi-JK ingin melanjutkan roadmap penghentian PRT atau Zero PRT 2017 yang telah dicanangkan oleh pemerintah sebelumnya. Padahal, di dalam dokumen visi-misi pencapresan Jokowi dan Jusuf Kalla, dalam halaman 23 dinyatakan bahwa mereka berkomitmen menginisiasi pembuatan peraturan dan langkah-langkah perlindungan bagi semua PRT yang bekerja di dalam maupun di luar negeri.
Janji inilah yang membuat banyak PRT migran Indonesia di luar negeri memilih Jokowi sebagai presiden Indonesia. Maka itu, larangan pemerintah untuk mengirim PRT migran ke 21 negara di atas tidak hanya mengingkari janji mereka sendiri, tetapi juga melanggar hak asasi warga negara untuk bekerja yang dijamin oleh konstitusi.
Apalagi, sejak September 2012, Pemerintah Indonesia terikat sebagai negara party ketika meratifikasi International Convention on The Protection off All the Rights of Migrant Workers and Their Families. Menurut konvensi ini, setiap buruh migran berhak atas pekerjaan di luar negeri dan dijamin bermobilitas tanpa diskriminasi.
Sejak 1984 pemerintah juga telah mengikatkan diri dengan meratifikasi konvensi CEDAW melalui UU No 7 Tahun 1984 yang memiliki komitmen untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Kebijakan yang Manusiawi
Persoalan PRT (migran) sesungguhnya tidak dapat diselesaikan dengan menghentikan penempatan mereka ke luar negeri. Tetapi, mengharuskan negara untuk bersikap adil sejak dalam pikiran dengan memanusiakan mereka. Selain itu, melakukan pembaharuan kebijakan migrasi dengan membangun mekanisme migrasi yang aman (bagi perempuan) adalah langkah mendesak yang harus segera diambil dan menyegerakan pengesahan RUU PRT serta ratifikasi konvensi ILO 189.
Langkah itu setidaknya untuk mengantisipasi dan sebagai komitmen mendasar negara terhadap warga negaranya untuk mencegah dan mengatasi masalah sebelum, pada saat, dan pasca mereka bermigrasi ke berbagai negara tujuan.
Kebijakan ini jauh lebih manusiawi daripada menutup mata dan tak menghargai eksistensi mereka dengan menghentikan pengiriman buruh migran ke luar negeri yang justru berpotensi menimbulkan masalah baru seperti perdagangan dan penyelundupan manusia (trafficking and people smuggling).
Anis hidayah
Direktur Eksekutif Migrant CARE
Presiden terpaksa tidak bisa blusukan setiap saat karena mesti membereskan pekerjaan rumah bersamasama anggota keluarganya. Menaker akan berpikir dua kali atau lebih banyak lagi untuk memanjat pagar penampungan TKI karena harus membersihkan bajunya sendiri yang mungkin dapat kotor atau robek tersangkut pagar. Tak usah mereka, kebanyakan kita tidak akan dapat bekerja dengan baik di luar rumah bila tak menggunakan jasa PRT.
Karena itu, keberadaan mereka sebagai pekerja secara nyata memberikan sumbangsih dalam kehidupan kita semua. Mereka menopang hampir seluruh tata kehidupan kita baik secara langsung maupun tak langsung. Sayangnya, pekerjaan dan keberadaan mereka tak banyak mendapatkan pengakuan yang layak dari kita semua. Konversi dari kata“pembantu” ke“pekerja” belum sepenuhnya diterima dalam masyarakat.
Padahal, kata ini akan berimplikasi bagi perlakuan dan penghargaan kita kepada mereka. Kita lebih sering dan senang menggunakan istilah “pembantu” dibanding pekerja karena tak ingin memberikan upah yang layak bagi pekerjaan berat mereka yang sering tak mengenal waktu dan melampaui batas pengabdian atau karena kita tak ingin mereka sederajat dengan kita.
Pandangan miring terhadap mereka seperti ini yang tengah bersemayam dalam otak dan kesadaran kebanyakan kita, terutama mereka yang saat ini memiliki kesempatan membuat kebijakan. Latar ini setidaknya yang menjadi konteks kebijakan larangan pemerintah untuk mengirim PRT migran ke 21 negara di Timur Tengah.
Terlebih nuansa ketidakmampuan pemerintah melindungi dan memastikan hak-hak mereka sebagai pekerja lebih menonjol dibandingkan keinginan untuk membela kepentingan dan melindungi mereka dan anggota keluarganya.
Feminisasi Migrasi
Berdasarkan data BNP2TKI, dari jumlah buruh migran yang berangkat ke luar negeri pada 2014, dari 429.872 orang, 53% adalah perempuan yang bekerja sebagai PRT migran. Hanya 24,85% yang lulusan SMA, 37,86% lulusan SMP, dan 32,29% lulusan SD. Artinya, separuh lebih demografi buruh migran Indonesia di luar negeri adalah perempuan yang bekerja sebagai PRT.
Data di atas mestinya cukup untuk membuka mata pemerintah yang belum mampu menyediakan lapangan pekerjaan buat mereka untuk menyadari bahwa menjadi PRT migran ke luar negeri sesungguhnya bukan semata pilihan kebanyakan perempuan Indonesia, tetapi lebih karena keterpaksaan bagi mayoritas keluarga miskin yang berlatar belakang pendidikan terbatas.
Fenomena migrasi yang banyak melibatkan perempuan ini lebih dikenal dengan istilah feminisasi migrasi sebagai dampak dari feminisasi kemiskinan. Perempuan dipaksa miskin dan mesti menerima setiap akibat dari kemiskinan. Mereka tidak berdaya, tapi berani mengambil risiko untuk melanjutkan kehidupan yang mereka harapkan lebih baik.
Tapi, harapan tak selalu bersambut dengan kenyataan. Pelanggaran demi pelanggaran banyak mereka terima. Baik sebelum maupun terutama ketika mereka menjadi PRT migran. Pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dihadapi PRT migran merupakan fenomena global yang berlangsung secara sistematik dan berkelanjutan.
Terlebih ketika mereka mesti berhadapan dengan kondisi kerja tidak layak karena tidak mendapatkan pengakuan sebagai pekerja dan proteksi terhadap hak-hak mereka dari negara. Fakta-fakta pelanggaran HAM terhadap PRT ini mendorong International Labour Organization (ILO ) pada 16 Juni 2011 mengesahkan konvensi 189 tentang kerja layak bagi PRT.
Konvensi ini standar internasional pertama yang mengakui PRT sebagai pekerja formal yang harus dilindungi dan dijaminhak- haknya secara hukum. Konvensi ini telah diratifikasi oleh 17 negara dari berbagai kawasan. Sayangnya, di ASEAN baru Filipina yang meratifikasi, sementara sembilan negara anggota lainnya belum memiliki kesadaran akan pentingnya meratifikasi konvensi tersebut.
Mestinya, bagi Pemerintah Indonesia meratifikasi konvensi ILO ini menjadi sebuah kewajiban mengingat begitu besarnya jumlah PRT di dalam maupun di luar negeri. Itu juga untuk menunjukkan komitmen melindungi warganya yang bekerja sebagai PRT sekaligus alat diplomasi untuk meminta negara lain melindungi dan memproteksi PRT migran Indonesia.
Larangan bekerja bagi PRT migran Indonesia ke luar negeri sesungguhnya bukan kebijakan baru di Indonesia. Tampaknya pemerintahan Jokowi-JK ingin melanjutkan roadmap penghentian PRT atau Zero PRT 2017 yang telah dicanangkan oleh pemerintah sebelumnya. Padahal, di dalam dokumen visi-misi pencapresan Jokowi dan Jusuf Kalla, dalam halaman 23 dinyatakan bahwa mereka berkomitmen menginisiasi pembuatan peraturan dan langkah-langkah perlindungan bagi semua PRT yang bekerja di dalam maupun di luar negeri.
Janji inilah yang membuat banyak PRT migran Indonesia di luar negeri memilih Jokowi sebagai presiden Indonesia. Maka itu, larangan pemerintah untuk mengirim PRT migran ke 21 negara di atas tidak hanya mengingkari janji mereka sendiri, tetapi juga melanggar hak asasi warga negara untuk bekerja yang dijamin oleh konstitusi.
Apalagi, sejak September 2012, Pemerintah Indonesia terikat sebagai negara party ketika meratifikasi International Convention on The Protection off All the Rights of Migrant Workers and Their Families. Menurut konvensi ini, setiap buruh migran berhak atas pekerjaan di luar negeri dan dijamin bermobilitas tanpa diskriminasi.
Sejak 1984 pemerintah juga telah mengikatkan diri dengan meratifikasi konvensi CEDAW melalui UU No 7 Tahun 1984 yang memiliki komitmen untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Kebijakan yang Manusiawi
Persoalan PRT (migran) sesungguhnya tidak dapat diselesaikan dengan menghentikan penempatan mereka ke luar negeri. Tetapi, mengharuskan negara untuk bersikap adil sejak dalam pikiran dengan memanusiakan mereka. Selain itu, melakukan pembaharuan kebijakan migrasi dengan membangun mekanisme migrasi yang aman (bagi perempuan) adalah langkah mendesak yang harus segera diambil dan menyegerakan pengesahan RUU PRT serta ratifikasi konvensi ILO 189.
Langkah itu setidaknya untuk mengantisipasi dan sebagai komitmen mendasar negara terhadap warga negaranya untuk mencegah dan mengatasi masalah sebelum, pada saat, dan pasca mereka bermigrasi ke berbagai negara tujuan.
Kebijakan ini jauh lebih manusiawi daripada menutup mata dan tak menghargai eksistensi mereka dengan menghentikan pengiriman buruh migran ke luar negeri yang justru berpotensi menimbulkan masalah baru seperti perdagangan dan penyelundupan manusia (trafficking and people smuggling).
Anis hidayah
Direktur Eksekutif Migrant CARE
(ftr)