Antisipasi Perlambatan Ekonomi
A
A
A
Sejumlah tantangan kini mulai menghadang laju perekonomian nasional. Indikator ekonomi menunjukkan tren penurunan baik di sektor riil maupun keuangan.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal 1/2015 melambat. Berdasarkan tahun dasar konstan 2010, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2015 hanya mencapai 4,71%. Sementara pada periode sama tahun lalu, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,14% (konstan 2010) atau 5,21 (konstan 2000).
Pertumbuhan ekonomi kuartal I itu memang lebih rendah dari target pertumbuhan ekonomi pada 2015 sebagaimana tertera dalam APBNP 2015 sebesar 5,7%. Penurunan laju pertumbuhan ekonomi kuartal I seolah memberi sinyal ada penurunan kinerja perekonomian. Sebelumnya sejumlah lembaga keuangan internasional telah merevisi target pertumbuhan ekonomi Indonesia.
ADB merevisi turun proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tahun ini menjadi tumbuh 5,6%. IMF dan Bank Dunia masing-masing memprediksi pertumbuhan Indonesia berada di 5,2%. Sementara Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) memberikan prediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,3%.
Indikasi ada perlambatan bisa dilihat dari sisi sektor riil seperti ekspor Indonesia kuartal I 2015 menciut 11,67%, sementara ekspansi kredit pada kuartal I hanya 11%, jauh di bawah target awal 15-17%. Untuk bisa memompa pertumbuhan ekonomi sesuai target, setidaknya ekspansi kredit bisa mencapai 20%. Indikator lain adalah angka penjualan sepeda motor dan mobil merosot masing-masing 16% dan 19%. Penerimaan pajak juga menurun.
Sampai Maret 2015 penerimaan pajak hanya mencapai Rp198,226 triliun, lebih rendah dari pencapaian pada periode yang sama tahun lalu sebesar Rp210,057 triliun. Nilai tukar petani (NTP) secara nasional mengalami penurunan sebesar 1,37% pada April 2015 dibandingkan bulan sebelumnya.
Penyebabnya, indeks harga yang diterima petani (It) turun sebesar 1,07%, sedangkan indeks harga yang dibayar petani (Ib) naik sebesar 0,30%. Sementara itu, inflasi naik pada April ini sebesar 0,36% akibat kenaikan indeks pada komponen inti (core ) 0,24%.
Persoalan Utama Penurunan
Persoalan utama merosotnya target pertumbuhan adalah pertumbuhan konsumsi yang melambat dan laju investasi yang melambat. Selama ini penyumbang terbesar dari pembentukan PDB masih ditopang konsumsi rumah tangga yang memberikan kontribusi mencapai 55%, disusul investasi swasta sebesar 28%.
Sementara itu, kontribusi pengeluaran pemerintah (goverment expenditure) hanya 8% dari PDB sehingga konsumsi rumah tangga ini menjadi faktor penting sumber pertumbuhan. Pada kuartal I/2015 sumber pertumbuhan dari konsumsi rumah tangga tercatat sebesar 2,75% dari total pertumbuhan sebesar 4,71%, turun dari 2,93% sebagai sumber pertumbuhan pada kuartal I/2014.
Menurunnya sumber pertumbuhan ini mengindikasikan menurunnya permintaan masyarakat. Konsumsi di dalam negeri menurun karena konsumsi masyarakat terganggu dengan ada kenaikan harga beberapa barang pokok serta kebijakan moneter yang ketat. Dari sisi ekspor, masih dalam tren perlambatan mengingat mayoritas ekspor dari Indonesia berupa komoditas yang harganya tengah turun.
Kinerja ekspor lebih banyak didorong sektor manufaktur, namun jumlahnya tak signifikan. Penguatan dolar belakangan ini ternyata tidak mampu dimanfaatkan untuk mendorong ekspor karena negara tujuan utama pasar ekspor seperti Tiongkok dan Eropa juga mengalami perlambatan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor selama triwulan I 2015 sebesar USD39,12 miliar serta realisasi impor USD36,7 miliar. Awal tahun ini pemerintah berhasil mengantongi surplus perdagangan USD2,42 miliar. Surplus perdagangan terbesar terjadi pada Maret 2015 sebesar USD1,13 miliar dipicu oleh surplus sektor nonmigas USD1,41 miliar walaupun sektor migas defisit USD0,28 miliar.
Meski neraca perdagangan Maret mengalami surplus, lebih disebabkan penurunan impor yang lebih tajam. Penurunan impor justru menjadi indikasi perlambatan ekonomi. Komponen impor terbesar adalah barang modal dan bahan baku. Impor barang modal turun 10,3% dan bahan baku turun 16,2%.
Defisit transaksi berjalan (current account deficit /CAD) pada kuartal I 2015, menurut perkiraan BI, berada pada level 1,6% terhadap PDB. Lebih rendah dari perkiraan awal BI sebesar 1,8% hingga 2%. Surplus neraca perdagangan dalam tiga bulan pertama tahun ini akan menekan CAD ke level yang rendah.
Mengejar Target
Bagaimana caranya agar Indonesia dapat berhasil mencapai target pertumbuhan ekonomi 5.7% pada 2015 dan mengatasi pelemahan ekonomi? Sejumlah langkah sangat diperlukan. Pertama, mempercepat realisasi investasi publik di sektor infrastruktur. Dalam APBN Perubahan 2015, belanja pemerintah pusat di alokasi senilai Rp1.319,5 triliun.
Dari jumlah itu, terdapat Rp290,3 triliun yang dialokasikan untuk belanja infrastruktur. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-Pera) mendapat paling banyak sebesar Rp105 triliun, Kementerian Perhubungan Rp52,5 triliun, serta Kementerian ESDM sebesar Rp5,9 triliun. Adapun belanja modal seluruh BUMN di Tanah Air diproyeksi mencapai Rp300 triliun pada tahun ini.
Kedua, mempercepat penyerapan APBNP 2015 yang baru terserap sebanyak 18,5% hingga 31 Maret 2015. Pengeluaran pemerintah ini diharapkan bisa menjadi stimulus ekonomi, di tengah kelesuan ekspor dan investasi serta konsumsi. Serapan APBNP 2015 yang rendah ini juga menyebabkan sejumlah pembangunan proyek infrastruktur melambat yang kemudian berandil besar dalam penurunan penyaluran kredit perbankan dan melemahnya konsumsi domestik.
Mempercepat belanja pemerintah (government spending) juga sangat penting untuk memberikan sinyal positif kepada para investor asing yang telah berkomitmen untuk berinvestasi di Indonesia sehingga bisa mendorong peningkatan ekspor. Ketiga, mendorong kinerja sektor industri manufaktur. Pelemahan ekonomi juga ditunjukkan oleh indeks manufaktur triwulan I 2015 sebesar 45,08% atau lebih rendah dari triwulan IV 2014, 48,89%.
Indonesia harus mengembangkan sektor industri manufaktur berorientasi ekspor untuk menopang pelemahan ekspor utama yakni harga komoditas yang turun, yang menyebabkan kinerja ekspor Indonesia menurun secara drastis. Lebih buruk, dalam beberapa waktu mendatang tidak terlihat ada tanda akan menguatnya harga komoditas.
Untuk mengatasi posisi rentan ini, Indonesia harus mendiversifikasikan produk ekspor nasional, khususnya industri hilir untuk produk manufaktur bernilai tambah. Penting bagi perekonomian untuk memiliki banyak industri dasar dan industri hilir yang memadai untuk mengimbangi besarnya kebutuhan produk jadi di dalam negeri. Akibat itu, kita banyak bergantung pada produk impor.
Tak mengherankan jika pasar dalam negeri terus diserbu produk impor yang nyatanya juga lebih murah dan berkualitas. Maka, bisa dipahami jika neraca perdagangan kita terus defisit. Salah satu kelemahan dalam membangun daya saing kita adalah kurangnya industri manufaktur dasar yang kuat karena lemahnya daya dukung dalam sektor ini.
Ini yang menyebabkan para industriawan di dalam negeri banyak beralih menjadi pedagang. Menjadi pedagang adalah pilihan yang realistis karena risikonya kecil dan lebih menguntungkan. Dengan menjadi pedagang, mereka terhindar dari persoalan klasik seperti birokrasi yang bertele-tele serta ekonomi biaya tinggi akibat mahalnya biaya logistik, pungli, dan minimnya infrastruktur.
Keempat , meningkatkan sisi suplai domestik adalah hal penting karena penduduk Indonesia yang besar, kini memiliki pertumbuhan pesat masyarakat kelas menengah yang sekarang berjumlah sekitar 75 juta orang, dengan mendorong produk manufaktur dalam negeri. Akibat kurangnya manufaktur dalam negeri, situasi ini menyebabkan inflasi dan kenaikan impor sehingga menimbulkan tekanan pada neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan.
Kelima, di tengah kondisi pelemahan ekonomi, penting untuk tidak memalingkan perhatian pada kinerja dan keberlangsungan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sebagai bantalan ekonomi dalam mengatasi kelesuan ekonomi. Sekarang ini masyarakat ekonomi bawah sudah mulai merasakan ada tekanan ekonomi akibat kenaikan harga sejumlah kebutuhan pokok, kenaikan BBM dan gas elpiji yang juga menekan omzet UMKM.
Pemerintah harus mempersiapkan skema bagi keberlangsungan UMKM untuk mengatasi masalah penurunan daya beli masyarakat dan kemungkinan meluasnya ancaman PHK karena omzet dunia usaha yang kini mulai menurun.
Aunur Rofiq
Sekjen DPP PPP/Praktisi Bisnis
Pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal 1/2015 melambat. Berdasarkan tahun dasar konstan 2010, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2015 hanya mencapai 4,71%. Sementara pada periode sama tahun lalu, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,14% (konstan 2010) atau 5,21 (konstan 2000).
Pertumbuhan ekonomi kuartal I itu memang lebih rendah dari target pertumbuhan ekonomi pada 2015 sebagaimana tertera dalam APBNP 2015 sebesar 5,7%. Penurunan laju pertumbuhan ekonomi kuartal I seolah memberi sinyal ada penurunan kinerja perekonomian. Sebelumnya sejumlah lembaga keuangan internasional telah merevisi target pertumbuhan ekonomi Indonesia.
ADB merevisi turun proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tahun ini menjadi tumbuh 5,6%. IMF dan Bank Dunia masing-masing memprediksi pertumbuhan Indonesia berada di 5,2%. Sementara Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) memberikan prediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,3%.
Indikasi ada perlambatan bisa dilihat dari sisi sektor riil seperti ekspor Indonesia kuartal I 2015 menciut 11,67%, sementara ekspansi kredit pada kuartal I hanya 11%, jauh di bawah target awal 15-17%. Untuk bisa memompa pertumbuhan ekonomi sesuai target, setidaknya ekspansi kredit bisa mencapai 20%. Indikator lain adalah angka penjualan sepeda motor dan mobil merosot masing-masing 16% dan 19%. Penerimaan pajak juga menurun.
Sampai Maret 2015 penerimaan pajak hanya mencapai Rp198,226 triliun, lebih rendah dari pencapaian pada periode yang sama tahun lalu sebesar Rp210,057 triliun. Nilai tukar petani (NTP) secara nasional mengalami penurunan sebesar 1,37% pada April 2015 dibandingkan bulan sebelumnya.
Penyebabnya, indeks harga yang diterima petani (It) turun sebesar 1,07%, sedangkan indeks harga yang dibayar petani (Ib) naik sebesar 0,30%. Sementara itu, inflasi naik pada April ini sebesar 0,36% akibat kenaikan indeks pada komponen inti (core ) 0,24%.
Persoalan Utama Penurunan
Persoalan utama merosotnya target pertumbuhan adalah pertumbuhan konsumsi yang melambat dan laju investasi yang melambat. Selama ini penyumbang terbesar dari pembentukan PDB masih ditopang konsumsi rumah tangga yang memberikan kontribusi mencapai 55%, disusul investasi swasta sebesar 28%.
Sementara itu, kontribusi pengeluaran pemerintah (goverment expenditure) hanya 8% dari PDB sehingga konsumsi rumah tangga ini menjadi faktor penting sumber pertumbuhan. Pada kuartal I/2015 sumber pertumbuhan dari konsumsi rumah tangga tercatat sebesar 2,75% dari total pertumbuhan sebesar 4,71%, turun dari 2,93% sebagai sumber pertumbuhan pada kuartal I/2014.
Menurunnya sumber pertumbuhan ini mengindikasikan menurunnya permintaan masyarakat. Konsumsi di dalam negeri menurun karena konsumsi masyarakat terganggu dengan ada kenaikan harga beberapa barang pokok serta kebijakan moneter yang ketat. Dari sisi ekspor, masih dalam tren perlambatan mengingat mayoritas ekspor dari Indonesia berupa komoditas yang harganya tengah turun.
Kinerja ekspor lebih banyak didorong sektor manufaktur, namun jumlahnya tak signifikan. Penguatan dolar belakangan ini ternyata tidak mampu dimanfaatkan untuk mendorong ekspor karena negara tujuan utama pasar ekspor seperti Tiongkok dan Eropa juga mengalami perlambatan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor selama triwulan I 2015 sebesar USD39,12 miliar serta realisasi impor USD36,7 miliar. Awal tahun ini pemerintah berhasil mengantongi surplus perdagangan USD2,42 miliar. Surplus perdagangan terbesar terjadi pada Maret 2015 sebesar USD1,13 miliar dipicu oleh surplus sektor nonmigas USD1,41 miliar walaupun sektor migas defisit USD0,28 miliar.
Meski neraca perdagangan Maret mengalami surplus, lebih disebabkan penurunan impor yang lebih tajam. Penurunan impor justru menjadi indikasi perlambatan ekonomi. Komponen impor terbesar adalah barang modal dan bahan baku. Impor barang modal turun 10,3% dan bahan baku turun 16,2%.
Defisit transaksi berjalan (current account deficit /CAD) pada kuartal I 2015, menurut perkiraan BI, berada pada level 1,6% terhadap PDB. Lebih rendah dari perkiraan awal BI sebesar 1,8% hingga 2%. Surplus neraca perdagangan dalam tiga bulan pertama tahun ini akan menekan CAD ke level yang rendah.
Mengejar Target
Bagaimana caranya agar Indonesia dapat berhasil mencapai target pertumbuhan ekonomi 5.7% pada 2015 dan mengatasi pelemahan ekonomi? Sejumlah langkah sangat diperlukan. Pertama, mempercepat realisasi investasi publik di sektor infrastruktur. Dalam APBN Perubahan 2015, belanja pemerintah pusat di alokasi senilai Rp1.319,5 triliun.
Dari jumlah itu, terdapat Rp290,3 triliun yang dialokasikan untuk belanja infrastruktur. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-Pera) mendapat paling banyak sebesar Rp105 triliun, Kementerian Perhubungan Rp52,5 triliun, serta Kementerian ESDM sebesar Rp5,9 triliun. Adapun belanja modal seluruh BUMN di Tanah Air diproyeksi mencapai Rp300 triliun pada tahun ini.
Kedua, mempercepat penyerapan APBNP 2015 yang baru terserap sebanyak 18,5% hingga 31 Maret 2015. Pengeluaran pemerintah ini diharapkan bisa menjadi stimulus ekonomi, di tengah kelesuan ekspor dan investasi serta konsumsi. Serapan APBNP 2015 yang rendah ini juga menyebabkan sejumlah pembangunan proyek infrastruktur melambat yang kemudian berandil besar dalam penurunan penyaluran kredit perbankan dan melemahnya konsumsi domestik.
Mempercepat belanja pemerintah (government spending) juga sangat penting untuk memberikan sinyal positif kepada para investor asing yang telah berkomitmen untuk berinvestasi di Indonesia sehingga bisa mendorong peningkatan ekspor. Ketiga, mendorong kinerja sektor industri manufaktur. Pelemahan ekonomi juga ditunjukkan oleh indeks manufaktur triwulan I 2015 sebesar 45,08% atau lebih rendah dari triwulan IV 2014, 48,89%.
Indonesia harus mengembangkan sektor industri manufaktur berorientasi ekspor untuk menopang pelemahan ekspor utama yakni harga komoditas yang turun, yang menyebabkan kinerja ekspor Indonesia menurun secara drastis. Lebih buruk, dalam beberapa waktu mendatang tidak terlihat ada tanda akan menguatnya harga komoditas.
Untuk mengatasi posisi rentan ini, Indonesia harus mendiversifikasikan produk ekspor nasional, khususnya industri hilir untuk produk manufaktur bernilai tambah. Penting bagi perekonomian untuk memiliki banyak industri dasar dan industri hilir yang memadai untuk mengimbangi besarnya kebutuhan produk jadi di dalam negeri. Akibat itu, kita banyak bergantung pada produk impor.
Tak mengherankan jika pasar dalam negeri terus diserbu produk impor yang nyatanya juga lebih murah dan berkualitas. Maka, bisa dipahami jika neraca perdagangan kita terus defisit. Salah satu kelemahan dalam membangun daya saing kita adalah kurangnya industri manufaktur dasar yang kuat karena lemahnya daya dukung dalam sektor ini.
Ini yang menyebabkan para industriawan di dalam negeri banyak beralih menjadi pedagang. Menjadi pedagang adalah pilihan yang realistis karena risikonya kecil dan lebih menguntungkan. Dengan menjadi pedagang, mereka terhindar dari persoalan klasik seperti birokrasi yang bertele-tele serta ekonomi biaya tinggi akibat mahalnya biaya logistik, pungli, dan minimnya infrastruktur.
Keempat , meningkatkan sisi suplai domestik adalah hal penting karena penduduk Indonesia yang besar, kini memiliki pertumbuhan pesat masyarakat kelas menengah yang sekarang berjumlah sekitar 75 juta orang, dengan mendorong produk manufaktur dalam negeri. Akibat kurangnya manufaktur dalam negeri, situasi ini menyebabkan inflasi dan kenaikan impor sehingga menimbulkan tekanan pada neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan.
Kelima, di tengah kondisi pelemahan ekonomi, penting untuk tidak memalingkan perhatian pada kinerja dan keberlangsungan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sebagai bantalan ekonomi dalam mengatasi kelesuan ekonomi. Sekarang ini masyarakat ekonomi bawah sudah mulai merasakan ada tekanan ekonomi akibat kenaikan harga sejumlah kebutuhan pokok, kenaikan BBM dan gas elpiji yang juga menekan omzet UMKM.
Pemerintah harus mempersiapkan skema bagi keberlangsungan UMKM untuk mengatasi masalah penurunan daya beli masyarakat dan kemungkinan meluasnya ancaman PHK karena omzet dunia usaha yang kini mulai menurun.
Aunur Rofiq
Sekjen DPP PPP/Praktisi Bisnis
(ftr)