Ironi Nasib Petani di Negeri Agraris

Selasa, 10 Maret 2015 - 10:37 WIB
Ironi Nasib Petani di Negeri Agraris
Ironi Nasib Petani di Negeri Agraris
A A A
Yenglis Dongche Damanik
Mahasiswi Jurusan Ilmu Administrasi Negara,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Aktivis GMNI,
Universitas Padjadjaran

Lahan yang luas serta tanah yang subur tidak serta- merta menjadikan Indonesia sebagai negeri agraris nan makmur. Lahan pertanian semakin sempit dikarenakan pembangunan infrastruktur, menjadikan petani terdesak dan impor semakin merajai pasar Indonesia.

Lantas bagaimana nasib petani di negeri ini, haruskah mereka beralih profesi? Jumlah impor setiap tahunnya bukannya berkurang, mulai beras, kentang, jagung hingga garam serta singkong. Pada Oktober 2014 lalu, impor singkong dari Thailand mencapai 6.200 ton berdasarkan data BPS, sedangkan impor beras mencapai 1,5 juta ton pada 2014 kemarin. Impor tentu akan menjatuhkan harga jual hasil pertanian.

Ironisnya, di tengah-tengah berkurangnya persediaan pangan, petani kita malah dihujani dengan berbagai konflik tanah. Berdasarkan data dari BPN (Badan Pertanahan Negara), ada 13.000 konflik tanah yang belum terselesaikan. Hingga akhir 2010, konflik pertanahan telah terkumpul 12.267 konflik. Pada periode Januari 2011 sampai Juni 2011, baru 1.333 konflik tanah yang terselesaikan dari 14.337 kasus tanah.

Pada tahun 2014, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA ) mencatat sebanyak 472 konflik agraria di seluruh wilayah Indonesia dengan luas lahan konflik sekitar 2.860.977,77 ha. Konflik ini melibatkan sedikitnya 105.887 kepala keluarga. Konflik yang terjadi dalam berbagai sektor, terdapat 215 konflik untuk sektor infrastruktur, 185 konflik perkebunan, 14 konflik pertambangan, 4 konflik di pesisir dan perairan, 27 konflik kehutanan, 20 konflik di bidang pertanian, dan 7 konflik lainnya.

Hal ini memperlihatkan bahwa hukum dan birokrasi belum mampu menyelesaikan polemik bangsa yang paling fundamental. Kerap tanah dijadikan sebagai aset sehingga diperjualbelikan dan diperebutkan. Tak jarang juga tanah yang dirampas tidak diberikan ganti rugi yang sepadan sehingga hal ini sudah barang tentu memiskinkan petani.

Tidak sedikit juga petani yang kemudian beralih profesi menjadi buruh pabrik dan melakukan urbanisasi sehingga menimbulkan masalah baru. Permasalahan seperti ini tidak akan selesai jika pemerintah tidak serius melakukan reforma agraria. Sebuah konsep yang sudah lama dicetuskan oleh para pendiri bangsa ini dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) ”bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesarbesarnya untuk kemakmuran rakyat”.

Dari UUD tersebut lahirlah UU PA No. 5 Tahun 1960. Namun, sampai sekarang belum terlihat pelaksanaan reforma agraria tersebut. Tentu saja polemik akan terus terjadi, konflik agraria akan terus meningkat dan petani akan mengalami kemiskinan yang berkepanjangan jika reforma agraria tidak dilaksanakan.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5020 seconds (0.1#10.140)