TPPU yang 'tebang pilih'

Senin, 27 Mei 2013 - 06:08 WIB
TPPU yang tebang pilih
TPPU yang 'tebang pilih'
A A A
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menerapkan pasal tindak pidana pencurian uang (TPPU) terhadap lima tersangka kasus korupsi.

Mereka adalah mantan anggota Badan Anggaran DPR Wa Ode Nurhayati, mantan Bendahara Umum DPP Partai Demokrat M Nazaruddin, mantan Kepala Korlantas Polri Irjen Pol Djoko Susilo, mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq, serta koleganya Ahmad Fathanah. Banyak pihak yang mendukung KPK untuk terus menerapkan pasal TPPU terhadap semua tersangka kasus korupsi. Kebijakan itu salah satu bentuk upaya untuk pengungkapan kasus korupsi secara lebih komprehensif.

Selain akan terkuak dugaan kejahatan-kejahatan lain para tersangka, KPK juga bisa lebih banyak menyelamatkan uang negara yang diduga dinikmati para koruptor. Masyarakat pun dibuat terbelalak saat KPK menyita satu per satu harta para tersangka tersebut yang memang memiliki harta di luar kewajaran.

Meski KPK mulai menerapkan TPPU, berbagai kritik pun masih bermunculan. Perang melawan korupsi masih jauh panggang dari api. Aparat penegak hukum tersebut belum mampu membuktikan kiprahnya untuk menumpas tuntas korupsi, terutama terkait efek jera yang ditimbulkan.

Apalagi kalau kita mengacu pada data indeks korupsi Indonesia 2012 yang diluncurkan Transparency International Indonesia (TII). Indonesia masih ada di peringkat ke-118 dari 176 negara yang diukur dengan skor 32.

Dengan capaian ini, Indonesia menduduki peringkat bawah. Di ASEAN, Indonesia bahkan berada di bawah Filipina dan hanya sedikit di atas Vietnam dan Myanmar. Ada sejumlah hal yang membuat korupsi masih menjadi momok negara ini. Pertama, para penegak hukum termasuk KPK masih terkesan tebang pilih dalam melakukan pemberantasan korupsi.

Dalam penetapan pasal TPPU pun misalnya KPK belum menerapkannya pada semua tersangka kasus korupsi yang ditangani. Hal ini membuat KPK dikritik sejumlah kalangan agar lebih objektif. Kedua, KPK diduga masih sedikit-banyak juga memiliki nuansa politis dalam menyidik dugaan korupsi kasus tertentu.

Soal penetapan tersangka mantan Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum, publik akan melihat dengan mata telanjang bahwa KPK pantas diduga dipengaruhi oleh kepentingan kekuasaan. Penetapan tersangka Anas tidak lama setelah ada imbauan Presiden SBY untuk segera memperjelas status Anas dalam kasus Hambalang.

Apalagi sebelumnya muncul ada skandal sprindik Anas sebagai tersangka. Diakui atau tidak, orang awam pun akan sangat mudah menduga ada nuansa politis yang tinggi dalam kasus tersebut. Ditambah lagi, meski statusnya telah tersangka sejak Februari lalu, KPK belum juga memeriksa Anas sebagai tersangka. Tak salah bila akhirnya muncul kesan KPK seperti menggantung nasib seseorang.

Sejumlah tersangka lain seperti Emir Moeis juga bernasib sama. Ketua Komisi XI DPR ini malah resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK sejak Juli 2012. Ketiga, minimnya peran Polri dan kejaksaan dalam ikut berperan menumpas kasus korupsi.

Dua institusi tersebut seperti mandul dalam pemberantasan korupsi. Hal ini tentu sangat disayangkan karena dengan sumber daya yang ada dua lembaga tersebut pasti mampu, bahkan bisa, berbuat lebih banyak dibanding KPK yang memiliki keterbatasan sumber daya manusia. Keempat, masih banyak para terdakwa korupsi yang hanya mendapat hukuman rendah, bahkan tidak jarang bebas saat di pengadilan. Ringannya hukuman ini tidak memberikan efek jera bagi para koruptor.

Berkaca dari hal di atas, KPK harus bekerja lagi ekstrakeras lagi agar mampu membasmi korupsi yang sudah membudaya di Indonesia. Di sini objektivitas KPK harus diutamakan dan menghindari tebang pilih dalam menyidik kasus korupsi. Hal ini penting untuk menjaga lembaga ini tetap kredibel.

Sementara Polri dan kejaksaan harus mengakui kekurangannya dan mulai bangkit bersama KPK untuk ikut menjadi lembaga penopang bagi pemberantasan korupsi. Intinya, karena korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa, diperlukan pula tindakan yang luar biasa untuk menumpas korupsi dari bumi Indonesia.
(rsa)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1115 seconds (0.1#10.140)