Fenomena Padepokan Dimas Kanjeng

Sabtu, 01 Oktober 2016 - 08:12 WIB
Fenomena Padepokan Dimas Kanjeng
Fenomena Padepokan Dimas Kanjeng
A A A
Penangkapan pimpinan Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi di Kabupaten Probolinggo, Kamis pekan lalu, menyisakan fenomena menarik untuk kita kritisi bersama. Di era modern saat ini, ternyata masih banyak masyarakat kita yang mudah sekali percaya dengan praktik penggandaan uang seperti yang diklaim bisa dilakukan Taat Pribadi tersebut.

Praktik penggandaan uang ala Padepokan Dimas Kanjeng ini cukup fenomenal karena berhasil menyihir ribuan orang. Diperkirakan 10.000 orang yang tersebar di seluruh Nusantara menjadi pengikut Taat Pribadi. Anehnya, mereka rela menginvestasikan hartanya jutaan rupiah dengan harapan uangnya bisa bertambah berlipat-lipat tanpa melakukan apa pun. Misalnya dengan mahar uang sebesar Rp5 juta dijanjikan menjadi Rp500 juta dalam kurun waktu 5 tahun. Janji yang menggiurkan itu membuat banyak di antara mereka rela meninggalkan keluarga, pekerjaan, dan hidup menggelandang selama berbulan-bulan di padepokan tersebut.

Sepintas kita sulit memercayai bagaimana orang begitu mudah percaya dengan praktik penggandaan uang tersebut. Apalagi ternyata yang tersihir kesaktian Taat Pribadi bukan hanya warga biasa. Seorang politikus senior Dr Marwah Daud Ibrahim bahkan mengaku ikut menjadi pendiri dan ketua yayasan di padepokan tersebut. Bahkan, meski idolanya telah ditangkap polisi karena diduga mendalangi pembunuhan terhadap dua santrinya, Marwah Daud masih memercayai Taat Pribadi merupakan tokoh istimewa yang memiliki ilmu dan karomah.

Apa yang sebenarnya terjadi dengan masyarakat kita? Mengapa mereka sangat gampang percaya dengan praktik penggandaan uang seperti itu? Ada sejumlah faktor yang melatarbelakanginya.

Pertama
, ada kecenderungan masyarakat suka sesuatu yang instan tanpa mau mengikuti prosesnya. Mereka berharap tanpa bekerja keras bisa mendapat hasil yang banyak. Bahkan tak jarang mereka menghalalkan segala cara untuk bisa kaya-raya, termasuk melakukan suap dan korupsi uang negara. Kecenderungan sifat instan ini membuat masyarakat kita sangat rentan dimanfaatkan orang tak bertanggung jawab. Apalagi dalam praktiknya ini Taat Pribadi membalutnya dengan cara-cara yang bernuansa agama. Sosok agamais yang ditunjukkan Taat Pribadi inilah yang semakin mudah menyihir para korbannya.

Kedua, era modernisasi saat ini telah memunculkan kecenderungan berpikir materialistis dan pragmatis. Semua diukur dengan materi. Hanya kekayaan yang bisa membuat hidup senang dan dihormati orang. Kecenderungan itu membuat sebagian masyarakat kita berpikir bagaimana bisa cepat kaya tanpa bekerja keras. Akhirnya yang terjadi adalah mereka pun melakukan segala cara untuk bisa kaya.

Ketiga, kurangnya pemahaman agama secara utuh. Seorang pemeluk agama yang baik tidak akan bisa terjerumus dalam praktik-praktik seperti itu. Karena setiap agama selalu mengajarkan kejujuran, ketulusan, dan anjuran kerja keras.

Keempat, masih rendahnya kualitas pendidikan masyarakat juga ikut menjadi penyebab gampangnya masyarakat terjerumus dalam praktik-praktik penggandaan uang. Karena itu tak ada cara lain kecuali bagaimana pemerintah terus meningkatkan kualitas pendidikan di negara ini.

Fakta-fakta di atas merupakan tamparan keras sekaligus pekerjaan rumah bagi aparat pemerintah untuk lebih tegas terhadap munculnya praktik-praktik penipuan berkedok penggandaan uang seperti itu. Aparat kita harus lebih waspada untuk bisa mengendus setiap praktik penipuan yang berpotensi merugikan masyarakat.

Atas kasus ini, polisi harus all out. Tak hanya mengusut kasus pembunuhannya, polisi juga wajib mengungkap tuntas dugaan praktik penggandaan uang ala Taat Pribadi. Ini merupakan pelajaran penting bagi kita semua sehingga jangan sampai terjadi lagi di masa mendatang. Para tokoh agama juga perlu ikut memberikan sumbangsihnya dalam mencerahkan masyarakat kita agar tidak mudah terjerumus ke hal-hal negatif.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5406 seconds (0.1#10.140)