HMI Penjaga Budaya Indonesia
A
A
A
BAYANGKAN, Indonesia adalah negara dunia ketiga yang sering sakit-sakitan. Layaknya seorang manusia ketika sakit tentu membutuhkan obat, namanya Globalisasi. Obat itu rasanya wajib sehingga setiap negara di dunia suka ataupun tidak suka dicekoki dengannya. Namun sejatinya, semua obat memang selalu memiliki efek samping bagi pemakainya. Francois Chaubet, seorang pakar sejarah kebudayaan internasional menyebutnya sebagai hiperkonsumerisme.
Mondialisasi-globalisasi yang cepat, mempersempit ruang sehingga memaksa kita untuk berkonsumsi, meningkatkan kebutuhan, serta menyetir para warga di suatu negara dunia ketiga. Hiperkonsumerisme itu menuntun kita lupa akan diri. Segala cara kemudian ditempuh untuk memenuhinya. Lahirlah penyakit sistemik manusia yang paling purba, bernama pragmatis.
Pragmatis ini menekankan sifat individualis, maruk, maunya selalu untung, dan instan dalam berbagai bidang. Ketika melihat sejarah, peradaban-peradaban besar senantiasa hancur dan digenosidakan -pembunuhan massal- oleh para warga dan pemimpin yang terkena penyakit pragmatis, kita bisa melihat keruntuhan Majapahit dan Sriwijaya sebagai contoh.
Budaya Luhur vs Budaya Pragmatis
Bahasa Sanskerta menjelaskan budaya berasal dari kata budhaya, bentuk jamak dari kata budha (budi atau akal). Dalam bahasa Inggris culture dan Latin colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Nilai-nilai budayalah yang kemudian menjadi tiang pancang budaya. Sekiranya nilai itulah yang bisa dibilang mempersatukan bangsa kita yang inklusif serta kosmopolit ini, menjadi identitas diri bangsa dan negara.
Namun, yang menyedihkan ketika nilai-nilai budaya yang Koentjaraningrat definisikan sebagai konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang mereka anggap amat mulia, menjadi terlupakan dan tergeser oleh budaya pragmatis.
Kini kita memasuki babakan baru benturan peradaban dan budaya, konon kata Samuel Huntington, semua konflik yang terjadi di masa mendatang dia merumuskannya dalam buku The Clash of Civilizations and Remaking of World Order tahun 1996, mungkin hal itu yang terjadi hari ini lebih disebabkan oleh aneka faktor budaya daripada ekonomi ataupun ideologi.
Dan, konflik kultural yang paling berbahaya terjadi di sepanjang hari persinggungan antar peradaban. Terlalu muluk rasanya jika mengatakan pertarungan itu antara Barat ataupun Timur. Pertarungan itu lebih simpelnya terjadi di dalam negara dan bangsa sendiri yaitu budaya pragmatis melawan budaya luhur.
Kemenangan budaya pragmatis yaitu ketika kita melihat warisan budaya hanya sekedar seremoni atau hiburan belaka. Lihat saja ketika para masyarakat dan pejabat gemar memamerkan Angngaru sumpah dalam budaya Makassar -di setiap acara seremonial, namun lupa di dalamnya terkandung nilai anging na leko kayu (pemimpin dan rakyat bersatu, menggunakan analogi angin dan daun) serta jene na batang mamayu (pemimpin adalah pembimbing rakyat, menggunakan analogi air dan batang).
Kita senang menonton Tarian Serimpi di keraton Jawa, tapi kita lupa menerapkan nilai kebaikan untuk diri sendiri dan orang lain dalam memayu hayuning pribadi memayu hayuning kulawarga memayu hayuning sesama memayu hayuning bawana. Lupa dalam Tarian Bambu Gila yang menarik terdapat semangat heroisme lawamena haulala hiti hiti hala hala para pejuang muda di Maluku.
Yang lebih simpelnya kita selalu menyanyikan Indonesia Raya dan membaca Pancasila pada Senin, sayangnya hari ini kita masih melihat ketimpangan dan penindasan terhadap hak hidup warga negara di setiap headline media. Ketika hal itu diteruskan, yakinlah Indonesia kelak menjadi jajahan kolonialisme baru lewat globalisasi yang menggilas tanpa ampun. Anthony Giddens menyebut penggilas itu sebagai juggernaut.
Merancang Strategi Kebudayaan HMI
Van Peursen menyebut strategi kebudayaan sebagai pembimbing dalam gerak proses modernisasi dan pembangunan sehingga mampu menjaga dan memperkuat kepribadian nasional, kontinuitas kebudayaan, dan kemampuan untuk mandiri sekaligus memperkuat kesatuan nasionalnya. Strategi kebudayaan yang baik tentu dikelola oleh anak muda dan intelektual, sebagai orang yang paling dekat dan mengetahui kondisi zaman, sehingga kelak perbaikan terjadi saat mereka menjadi pembesar nanti.
Ketika kita kembali melihat dunia kedokteran, kontraindikasi ataupun efek samping dari obat dapat dihindari dan diminimalisasi, salah satunya dengan memperkuat antibodi atau kekebalan tubuh orang yang mengonsumsi. Pemuda adalah salah satu antibodi yang penting dalam menjaga Indonesia dan nilai-nilai budaya dalam kuatnya jeram mondialisasi-globalisasi.
Sudah menjadi kewajiban HMI sebagai salah satu organisasi kemahasiswaan tertua dan terbesar di Indonesia untuk mengambil peran tersebut. HMI adalah miniatur bangsa Indonesia yang telah terbukti pengabdiannya selama 68 tahun.
Strategi kebudayaan Indonesia yang seiring dengan keislaman senantiasa digalakkan HMI, dimulai dari Lafran Pane sebagai pendirinya. Penjagaan nyata dilakukan oleh HMI terhadap wacana serta aksi yang hendak mengubah dan merusak nilai-nilai keindonesiaan. Penjagaan nilai itu juga dilakukan secara intelektual dalam perumusan materi pengaderan dalam Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) serta Tafsir Tujuan, yang senantiasa dapat diperoleh di pelatihan-pelatihan di tubuh organisasi ini.
Sekalipun sering mendengar organisasi ini dijual semurah-murahnya dan menjadi tong sampah oleh beberapa oknum. Mulai dari perselisihan layaknya artis-artis infotainment yang mengumbar persoalan internal mereka ke ranah publik, menjual ”adiknya” sebagai ”perangkat keras” sebut saja preman dalam setiap kompetisi pilkada atau momentum-momentum lainnya, hingga penjualan suara pada pemilihan ketua umum di Kongres HMI. Tapi saya selalu percaya itu hanya ulah-ulah oknum yang bukan HMI.
Mereka yang nyata ber-HMI adalah para pemuda Islam yang senantiasa menggalakkan intelektualitas dan nilai luhur budaya Indonesia serta tidak pragmatis dan haus jabatan. Orang-orang seperti ini yang kiranya diharapkan mengisi pos strategis di tubuh HMI, serta menaklukkan budaya pragmatis yang menggerogoti Indonesia di setiap lininya. Orang-orang ini yang merupakan pilar kedaulatan Indonesia.
Hingga kelak suatu hari, orang-orang itu akan membawa kita seperti Prancis, sebuah negara yang senantiasa memakan pil pedih: dijajah oleh Romawi, getirnya revolusi, hingga kekalahan perang dunia pertama dan diinvasi di perang dunia kedua. Namun sampai detik ini, pengaruh intelektual dan budayanya mengglobal dan menantang superpower dunia seperti Amerika, Inggris, hingga China.
Francois Chaubet menjelaskan bagaimana para intelektualnya lupakan sejenak cara berpikir mereka yang banal dan liberal dari Voltaire hingga Jean Paul Sartre yang gagasannya bersarang di banyak kampus menjaga lieux de memoire (situs-situs ingatan budaya), dalam karya-karya seni budaya dengan corak eksistensialisme dan nilai egaliter Revolusi Prancis seperti dalam film The Three Colors Triologi dan Amaculie, atau karya-karya sastra Victor Hugo dan Jules Verne yang dikonsumsi seantero dunia, bisa juga lukisan la Liberté Guidant Le Peuple Eugène Delacroix yang senantiasa ramai di kunjungi di Louvre.
Kenapa tidak jika kelak HMI dengan nilai budaya luhur Indonesia, NDP, serta Tafsir Tujuan untuk menciptakan produk budaya tanding atas juggernaut yang hendak menggilas kedaulatan Indonesia?
Tapi sekiranya kita harus kembali pada hal yang kecil dulu, yaitu menggempur budaya pragmatis yang menambah terus daftar penyakit negara dan bangsa kita. Indonesia menanti partisipasi para ”antibodi” yang akan menghalau efek samping globalisasi, khususnya dari HMI yang sebentar lagi akan memperlihatkan etalase organisasinya di Kongres HMI XXIX Pekanbaru. Yakin Usaha Sampai.
Redaksi KORAN SINDO menerima artikel dari pembaca untuk mengisi rubrik Opini. Panjang artikel 800–1.000 kata (5.000–6.500 karakter) dan bisa dikirimkan ke email [email protected]. Harap mencantumkan curriculum vitae, foto terbaru, serta nomor rekening.
Jika setelah seminggu sejak tanggal pengiriman artikel belum ada konfirmasi langsung dari Redaksi, artikel yang dikirim dianggap dikembalikan ke penulis.
Mondialisasi-globalisasi yang cepat, mempersempit ruang sehingga memaksa kita untuk berkonsumsi, meningkatkan kebutuhan, serta menyetir para warga di suatu negara dunia ketiga. Hiperkonsumerisme itu menuntun kita lupa akan diri. Segala cara kemudian ditempuh untuk memenuhinya. Lahirlah penyakit sistemik manusia yang paling purba, bernama pragmatis.
Pragmatis ini menekankan sifat individualis, maruk, maunya selalu untung, dan instan dalam berbagai bidang. Ketika melihat sejarah, peradaban-peradaban besar senantiasa hancur dan digenosidakan -pembunuhan massal- oleh para warga dan pemimpin yang terkena penyakit pragmatis, kita bisa melihat keruntuhan Majapahit dan Sriwijaya sebagai contoh.
Budaya Luhur vs Budaya Pragmatis
Bahasa Sanskerta menjelaskan budaya berasal dari kata budhaya, bentuk jamak dari kata budha (budi atau akal). Dalam bahasa Inggris culture dan Latin colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Nilai-nilai budayalah yang kemudian menjadi tiang pancang budaya. Sekiranya nilai itulah yang bisa dibilang mempersatukan bangsa kita yang inklusif serta kosmopolit ini, menjadi identitas diri bangsa dan negara.
Namun, yang menyedihkan ketika nilai-nilai budaya yang Koentjaraningrat definisikan sebagai konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang mereka anggap amat mulia, menjadi terlupakan dan tergeser oleh budaya pragmatis.
Kini kita memasuki babakan baru benturan peradaban dan budaya, konon kata Samuel Huntington, semua konflik yang terjadi di masa mendatang dia merumuskannya dalam buku The Clash of Civilizations and Remaking of World Order tahun 1996, mungkin hal itu yang terjadi hari ini lebih disebabkan oleh aneka faktor budaya daripada ekonomi ataupun ideologi.
Dan, konflik kultural yang paling berbahaya terjadi di sepanjang hari persinggungan antar peradaban. Terlalu muluk rasanya jika mengatakan pertarungan itu antara Barat ataupun Timur. Pertarungan itu lebih simpelnya terjadi di dalam negara dan bangsa sendiri yaitu budaya pragmatis melawan budaya luhur.
Kemenangan budaya pragmatis yaitu ketika kita melihat warisan budaya hanya sekedar seremoni atau hiburan belaka. Lihat saja ketika para masyarakat dan pejabat gemar memamerkan Angngaru sumpah dalam budaya Makassar -di setiap acara seremonial, namun lupa di dalamnya terkandung nilai anging na leko kayu (pemimpin dan rakyat bersatu, menggunakan analogi angin dan daun) serta jene na batang mamayu (pemimpin adalah pembimbing rakyat, menggunakan analogi air dan batang).
Kita senang menonton Tarian Serimpi di keraton Jawa, tapi kita lupa menerapkan nilai kebaikan untuk diri sendiri dan orang lain dalam memayu hayuning pribadi memayu hayuning kulawarga memayu hayuning sesama memayu hayuning bawana. Lupa dalam Tarian Bambu Gila yang menarik terdapat semangat heroisme lawamena haulala hiti hiti hala hala para pejuang muda di Maluku.
Yang lebih simpelnya kita selalu menyanyikan Indonesia Raya dan membaca Pancasila pada Senin, sayangnya hari ini kita masih melihat ketimpangan dan penindasan terhadap hak hidup warga negara di setiap headline media. Ketika hal itu diteruskan, yakinlah Indonesia kelak menjadi jajahan kolonialisme baru lewat globalisasi yang menggilas tanpa ampun. Anthony Giddens menyebut penggilas itu sebagai juggernaut.
Merancang Strategi Kebudayaan HMI
Van Peursen menyebut strategi kebudayaan sebagai pembimbing dalam gerak proses modernisasi dan pembangunan sehingga mampu menjaga dan memperkuat kepribadian nasional, kontinuitas kebudayaan, dan kemampuan untuk mandiri sekaligus memperkuat kesatuan nasionalnya. Strategi kebudayaan yang baik tentu dikelola oleh anak muda dan intelektual, sebagai orang yang paling dekat dan mengetahui kondisi zaman, sehingga kelak perbaikan terjadi saat mereka menjadi pembesar nanti.
Ketika kita kembali melihat dunia kedokteran, kontraindikasi ataupun efek samping dari obat dapat dihindari dan diminimalisasi, salah satunya dengan memperkuat antibodi atau kekebalan tubuh orang yang mengonsumsi. Pemuda adalah salah satu antibodi yang penting dalam menjaga Indonesia dan nilai-nilai budaya dalam kuatnya jeram mondialisasi-globalisasi.
Sudah menjadi kewajiban HMI sebagai salah satu organisasi kemahasiswaan tertua dan terbesar di Indonesia untuk mengambil peran tersebut. HMI adalah miniatur bangsa Indonesia yang telah terbukti pengabdiannya selama 68 tahun.
Strategi kebudayaan Indonesia yang seiring dengan keislaman senantiasa digalakkan HMI, dimulai dari Lafran Pane sebagai pendirinya. Penjagaan nyata dilakukan oleh HMI terhadap wacana serta aksi yang hendak mengubah dan merusak nilai-nilai keindonesiaan. Penjagaan nilai itu juga dilakukan secara intelektual dalam perumusan materi pengaderan dalam Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) serta Tafsir Tujuan, yang senantiasa dapat diperoleh di pelatihan-pelatihan di tubuh organisasi ini.
Sekalipun sering mendengar organisasi ini dijual semurah-murahnya dan menjadi tong sampah oleh beberapa oknum. Mulai dari perselisihan layaknya artis-artis infotainment yang mengumbar persoalan internal mereka ke ranah publik, menjual ”adiknya” sebagai ”perangkat keras” sebut saja preman dalam setiap kompetisi pilkada atau momentum-momentum lainnya, hingga penjualan suara pada pemilihan ketua umum di Kongres HMI. Tapi saya selalu percaya itu hanya ulah-ulah oknum yang bukan HMI.
Mereka yang nyata ber-HMI adalah para pemuda Islam yang senantiasa menggalakkan intelektualitas dan nilai luhur budaya Indonesia serta tidak pragmatis dan haus jabatan. Orang-orang seperti ini yang kiranya diharapkan mengisi pos strategis di tubuh HMI, serta menaklukkan budaya pragmatis yang menggerogoti Indonesia di setiap lininya. Orang-orang ini yang merupakan pilar kedaulatan Indonesia.
Hingga kelak suatu hari, orang-orang itu akan membawa kita seperti Prancis, sebuah negara yang senantiasa memakan pil pedih: dijajah oleh Romawi, getirnya revolusi, hingga kekalahan perang dunia pertama dan diinvasi di perang dunia kedua. Namun sampai detik ini, pengaruh intelektual dan budayanya mengglobal dan menantang superpower dunia seperti Amerika, Inggris, hingga China.
Francois Chaubet menjelaskan bagaimana para intelektualnya lupakan sejenak cara berpikir mereka yang banal dan liberal dari Voltaire hingga Jean Paul Sartre yang gagasannya bersarang di banyak kampus menjaga lieux de memoire (situs-situs ingatan budaya), dalam karya-karya seni budaya dengan corak eksistensialisme dan nilai egaliter Revolusi Prancis seperti dalam film The Three Colors Triologi dan Amaculie, atau karya-karya sastra Victor Hugo dan Jules Verne yang dikonsumsi seantero dunia, bisa juga lukisan la Liberté Guidant Le Peuple Eugène Delacroix yang senantiasa ramai di kunjungi di Louvre.
Kenapa tidak jika kelak HMI dengan nilai budaya luhur Indonesia, NDP, serta Tafsir Tujuan untuk menciptakan produk budaya tanding atas juggernaut yang hendak menggilas kedaulatan Indonesia?
Tapi sekiranya kita harus kembali pada hal yang kecil dulu, yaitu menggempur budaya pragmatis yang menambah terus daftar penyakit negara dan bangsa kita. Indonesia menanti partisipasi para ”antibodi” yang akan menghalau efek samping globalisasi, khususnya dari HMI yang sebentar lagi akan memperlihatkan etalase organisasinya di Kongres HMI XXIX Pekanbaru. Yakin Usaha Sampai.
Redaksi KORAN SINDO menerima artikel dari pembaca untuk mengisi rubrik Opini. Panjang artikel 800–1.000 kata (5.000–6.500 karakter) dan bisa dikirimkan ke email [email protected]. Harap mencantumkan curriculum vitae, foto terbaru, serta nomor rekening.
Jika setelah seminggu sejak tanggal pengiriman artikel belum ada konfirmasi langsung dari Redaksi, artikel yang dikirim dianggap dikembalikan ke penulis.
(hyk)