Mendayung di Badai Ekonomi

Kamis, 27 Agustus 2015 - 09:08 WIB
Mendayung di Badai Ekonomi
Mendayung di Badai Ekonomi
A A A
Senin lalu pasar saham Shanghai turun 8,5% sehingga secara akumulatif alami penurunan sebesar 42% sejak Juni yang memicu jatuhnya Index Dow Jones di Wall Street lebih dari 1000 poin pada 10 menit pertama perdagangan.

Indeks harga saham Nikkei (Jepang), Hangseng (Hong Kong), serta Singapura, Indonesia, dan Australia juga terseret turun sekitar 3%. Pada 24 Agustus 2015 sudah dijuluki sebagai Black Monday. Dalam enam bulan terakhir, berbagai mata uang negara berkembang alami penurunan nilai tukar yang signifikan terhadap dolar Amerika.

Anggota BRIC yang digadang sebagai kekuatan ekonomi baru semuanya rontok. Brasil (-24,2%), Rusia (13,6%), India (-7,3%), dan tentunya China yang memberlakukan fixed exchange rate dan devaluasi de facto sebesar 1,9%. Tetangga kita di ASEAN juga mengalami depresiasi: Malaysia (-18.3%), Thailand (-10%), Vietnam (-6%), Filipina (5.9%), dan Singapura (3,2%).

Depresiasi Indonesia yang -8.7% tergolong papan tengah. Tidak kategori parah, tapi juga bukan yang kategori sangat kuat daya tahannya. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi dan apa kebijakan yang perlu diambil?

Kondisi Ekonomi

Pertama-tama perlu disadari bahwa Indonesia adalah small open economy. Walau menduduki ranking 16 berdasarkan besar PDB, Indonesia masih hanya 5,1% dari ekonomi Amerika dan 8,6% dari ekonomi China. Dua ekonomi terbesar dunia itu ibarat kapal tanker di danau besar perekonomian global di mana Indonesia sebagai bahtera mid-size yang naik-turun seiring gelombang.

Open dimaksudkan dengan tidak besarnya hambatan untuk melakukan perdagangan dan investasi. Perdagangan Indonesia ikut dalam free trade agreement dengan ASEAN, Jepang, China, serta dalam pembahasan dengan beberapa negara dan kawasan lain.

Dalam aspek lalu lintas modal, bahkan ada UU 24/99 tentang lalu lintas devisa dan sistem nilai tukar yang pada Pasal 2 ayat (1) menjamin bahwa setiap penduduk dapat dengan bebas memiliki dan menggunakan devisa Teori Mundell-Fleming, salah satu rujukan utama di bidang makroekonomi, menjelaskan bahwa nilai tukar terutama dipengaruhi oleh tingkat inflasi, net ekspor, tingkat bunga, dan capital inflow suatu perekonomian.

Namun, inflasi Indonesia Januari— Juli hanya 1,9% dan inflasi Amerika pada periode yang sama 0,2% sehingga depresiasi karena faktor ini hanya 1,7%. Dari mana sisanya? Mengingat neraca perdagangan Januari—Juli 2015 masih surplus USD5,3 miliar dan tingkat bunga BI rate masih 7,5% yang jauh lebih tinggi dari The Fed rate yang hampir 0%, bukan dua faktor itu yang berperan dalam depresiasi rupiah.

Bagaimana dengan capital flow? Bank Indonesia (BI) mencatat keluarnya modal asing di pasar uang dan pasar modal sehingga Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal II-2015 defisit USD2,93 miliar (atau Rp39,55 triliun pada kurs USD1=Rp13.500). Padahal, pada kuartal sebelumnya NPI mencatat surplus USD1,3 miliar. Artinya, dalam tiga bulan terjadi capital outflow sebesar USD4,23 miliar (atau sekitar Rp57,1 triliun). Kenapa terjadi capital flight secara masif?

Teori tentang Krisis

Nouriel Roubini dan Stephan Mihm pada buku berjudul Crisis Economic (2010) menjabarkan krisis finansial mulai dari spekulasi tulip di Belanda pada 1630, ke crash pasar saham di Inggris (1825) dan Amerika (1907) yang berujung pada penguatan peran bank sentral.

Namun, Bank Sentral juga bukan penyelamat yang tidak munculkan masalah baru. Herman Minsky (1992) mengajukan Financial Instability Hypothesis di mana kestabilan dan upaya stabilisasi akan memunculkan ketidakstabilan baru. Terdapat tiga generasi teori tentang krisis nilai tukar dan finansial.

Generasi pertama terjadi pada negara dengan sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate) di mana cadangan devisa tidak memadai untuk menjaga nilai tukar dari dinamika dan spekulasi pasar (Salant and Henderson, 1978; Krugman, 1979; Flood and Garber 1984).

Model generasi kedua berlaku pada negara dengan nilai tukar mengambang yang alami deteriorasi kondisi domestik atau ekspektasi secara drastis sehingga nilai tukar berubah secara drastis dalam waktu singkat (Benside & Jeanne, 1997; De Kock & Grilli, 1993; Drazen & Masson, 1994; Obstfeld 1994, 1996, 1997; Ozken & Sunderland, 1995, 1998).

Model generasi ketiga fokus pada pinjaman sektor perbankan dan swasta yang lalu memengaruhi permintaan mata uang asing secara asing dan memicu panik. Kondisi ini juga dapat menular (contagion ) pada negara sekitar karena negative regional sentiment di mana investor berbondong-bondong kabur dari suatu wilayah (Froot et al., 1992; Krugman, 1997, Calvo & Reinhart, 1996; and Eichengreen et al.,1996).

Krisis 1998 di Indonesia merupakan gabungan dari komponen lintas generasi karena saat itu menggunakan fixed exchange rate, dengan devisa terbatas dan utang swasta luar negeri yang tinggi dan tidak tercatat serta kondisi politik yang panas.

Mendayung ke Air Tenang

Kondisi sekarang merupakan gabungan model kedua dan ketiga di mana Indonesia gunakan flexible exchange rate, tapi terdapat external shock serta contagion effect selain permasalahan internal. Berujungnya stimulus moneter di Amerika dan devaluasi yuan serta melemahnya ekonomi China berperan mendorong capital outflow masif dari Indonesia serta menurunnya nilai tukar yang juga dialami banyak negara.

Namun, pemerintah dan otoritas moneter juga tidak bisa lepas tangan dan hanya menunggu badai mereda. Bahtera perekonomian Indonesia juga perlu diperkuat sehingga lebih tahan ombak dan badai. Dalam jangka pendek perlu ditunjukkan bahwa nakhoda dan mualim perekonomian Indonesia berkoordinasi dengan baik.

Menko perekonomian, menko maritim, menteri keuangan, gubernur BI, dan ketua OJK perlu sinkronisasikan langkah dan sampaikan secara bersama respons komprehensif mereka dalam hadapi badai perekonomian ini. Rencana yang kredibel perlu meliputi penguatan pelampung bahtera yaitu konsumsi rumah tangga yang merupakan 55% dari perekonomian dengan stimulus fiskal/pajak dan moneter serta jaga inflasi sembako.

Capital inflow dari eksportir perlu dipastikan langsung dibawa masuk ke Indonesia dan tidak lama parkir di luar negeri sambil tenangkan investor asing yang masih bertahan. Waktunya juga untuk mengaktifkan Chiang Mai Initiative yang memiliki cadangan dana USD240 miliar untuk stabilisasi nilai mata uang negara di Asia.

Pada jangka menengah, Indonesia perlu melakukan diversifikasi ekspor dan pendalaman industrialisasi sehingga tidak bergantung pada komoditas primeryangharganya cenderungturunketikaterjadipelemahanekonomi global. UU Lalu Lintas Devisa juga perlu diamendemen sehingga memungkinkan pembatasan untuk kurangi kerentanan terhadapcapital flight.

Rahm Emanuel, mantan Kepala Staf Presiden Obama, pernah berkata, ”Never let a serious crisis go to waste”. Gunakan krisis ini untuk transformasi dan perkuat ekonomi Indonesia.

BERLY MARTAWARDAYA
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB)- UI dan Ekonom Senior INDEF
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0840 seconds (0.1#10.140)