Menatap Masa Depan Pendidikan Agama
loading...
A
A
A
Selain itu para pakar perlu menelaah kembali, sudahkah buku-buku agama mencakup materi esensial yang dibutuhkan bangsa saat ini. Menurut penulis, menambahkan materi kesetaraan gender dalam pelajaran agama perlu dilakukan sebagai respons cepat terhadap kasus kekerasan pada perempuan yang cukup banyak terjadi akhir-akhir ini.
Guru Agama
Sejatinya sebaik apa pun buku didesain, pembelajaran tidak akan berhasil tanpa peran guru. Sayangnya, guru agama masih lemah dalam mengkontekstualisasikan materi pelajaran. Jika begini pelajaran agama terasa kering dan materinya terkesan diulang-ulang.
Kelemahan guru mengkontekstualisasikan materi diduga karena rendahnya semangat mengembangkan diri dan menurunnya minat baca. Padahal kontekstualisasi membutuhkan keluasan wawasan. Parahnya lagi masih banyak guru yang memiliki pandangan bahwa seluruh ilmu sudah ada dalam Al Qur’an dan tidak perlu mempelajari ilmu dari Barat. (Survei PPIM 2018).
Para pengambil kebijakan tentu mafhum bahwa misi menjadikan agama sebagai solusi tak mungkin dilakukan sendiri oleh elite agama. Pendidikan sebagai proses penyiapan warga negara dan pembentuk kepribadian perlu disiapkan untuk turut serta mewujudkannya.
Hal ini pernah diungkapkan oleh Dadi Darmadi, peneliti PPIM UIN Jakarta, bahwa pendidikan agama memiliki dua tujuan, yaitucivic missiondanreligious mission.Jika ini benar-benar diterapkan dalam pendidikan agama, para siswa tidak hanya akan mendapat pemahaman tentang agama tetapi juga menjadi warga negara yang baik.
Pemerintah harus menolong para guru dengan menyediakan pelatihan yang bermutu. Pelatihan guru akhir-akhir ini lebih banyak berfokus pada pengenalan kurikulum baru dan peningkatan kompetensi pedagogi. Ini bukannya tidak baik, tetapi pelatihan profesionalisme guru dalam hal keilmuan dan penguasaan materi sering terabaikan.
Mungkin akan muncul pertanyaan, apakah guru-guru agama masih membutuhkan pelatihan penguatan konten materi? Berdasar beberapa alasan dan hasil survei yang telah saya kemukakan di atas, dengan segala kerendahan hati harus diakui bahwa para guru masih membutuhkan.
Dalam materi tertentu, misalnya toleransi beragama, guru agama perlu diberi rambu-rambu tentang apa yang sebaiknya disampaikan. Hal ini penting agar guru tidak memberikan tafsir sendiri yang justru menjerumuskan dan membingungkan peserta didik. Terlebih lagi untuk sekolah di bawah naungan Kementerian Agama yang guru agamanya berbeda pada tiap mata pelajaran.
Pendidikan agama justru akan membawa masalah jika para gurunya tidak satu suara dan menyampaikan persepsinya sendiri yang mungkin saja bertentangan dengan pesan-pesan toleransi. Untuk itu para ahli perlu mendefinisikan toleransi sesuai kebutuhan zaman agar semua umat dapat hidup berdampingan. Definisi toleransi juga perlu dituliskan dengan jelas dalam buku pelajaran.
Pelatihan penguasaan materi dapat didesain per guru mata pelajaran. Dengan cara ini konten materi yang disampaikan tutor bisa langsung ditularkan pada peserta didik dan diharapkan dapat berdampak langsung pada peningkatan kualitas pendidikan agama.
Guru Agama
Sejatinya sebaik apa pun buku didesain, pembelajaran tidak akan berhasil tanpa peran guru. Sayangnya, guru agama masih lemah dalam mengkontekstualisasikan materi pelajaran. Jika begini pelajaran agama terasa kering dan materinya terkesan diulang-ulang.
Kelemahan guru mengkontekstualisasikan materi diduga karena rendahnya semangat mengembangkan diri dan menurunnya minat baca. Padahal kontekstualisasi membutuhkan keluasan wawasan. Parahnya lagi masih banyak guru yang memiliki pandangan bahwa seluruh ilmu sudah ada dalam Al Qur’an dan tidak perlu mempelajari ilmu dari Barat. (Survei PPIM 2018).
Para pengambil kebijakan tentu mafhum bahwa misi menjadikan agama sebagai solusi tak mungkin dilakukan sendiri oleh elite agama. Pendidikan sebagai proses penyiapan warga negara dan pembentuk kepribadian perlu disiapkan untuk turut serta mewujudkannya.
Hal ini pernah diungkapkan oleh Dadi Darmadi, peneliti PPIM UIN Jakarta, bahwa pendidikan agama memiliki dua tujuan, yaitucivic missiondanreligious mission.Jika ini benar-benar diterapkan dalam pendidikan agama, para siswa tidak hanya akan mendapat pemahaman tentang agama tetapi juga menjadi warga negara yang baik.
Pemerintah harus menolong para guru dengan menyediakan pelatihan yang bermutu. Pelatihan guru akhir-akhir ini lebih banyak berfokus pada pengenalan kurikulum baru dan peningkatan kompetensi pedagogi. Ini bukannya tidak baik, tetapi pelatihan profesionalisme guru dalam hal keilmuan dan penguasaan materi sering terabaikan.
Mungkin akan muncul pertanyaan, apakah guru-guru agama masih membutuhkan pelatihan penguatan konten materi? Berdasar beberapa alasan dan hasil survei yang telah saya kemukakan di atas, dengan segala kerendahan hati harus diakui bahwa para guru masih membutuhkan.
Dalam materi tertentu, misalnya toleransi beragama, guru agama perlu diberi rambu-rambu tentang apa yang sebaiknya disampaikan. Hal ini penting agar guru tidak memberikan tafsir sendiri yang justru menjerumuskan dan membingungkan peserta didik. Terlebih lagi untuk sekolah di bawah naungan Kementerian Agama yang guru agamanya berbeda pada tiap mata pelajaran.
Pendidikan agama justru akan membawa masalah jika para gurunya tidak satu suara dan menyampaikan persepsinya sendiri yang mungkin saja bertentangan dengan pesan-pesan toleransi. Untuk itu para ahli perlu mendefinisikan toleransi sesuai kebutuhan zaman agar semua umat dapat hidup berdampingan. Definisi toleransi juga perlu dituliskan dengan jelas dalam buku pelajaran.
Pelatihan penguasaan materi dapat didesain per guru mata pelajaran. Dengan cara ini konten materi yang disampaikan tutor bisa langsung ditularkan pada peserta didik dan diharapkan dapat berdampak langsung pada peningkatan kualitas pendidikan agama.