Membangun Kultur Baru Pertarungan Politik
loading...
A
A
A
"Ini namanya pesta demokrasi kan mestinya senang kita. Momen lima tahunan ini mestinya dirayakan dengan semangat sportivitas, menjadi sebuah pertandingan politik yang sportif, yang sehat dan para pemainnya harus menunjukan permainan terbaik, dengan adu gagasan, dengan adu ide, dan rakyat tinggal memilih siapa yang ingin dipilih.’’
Demikian kutipan pernyataan sekaligus harapan yang disampaikan Presiden Joko Widodo jelang pesta demokrasi 2024 nanti. Pesan itu sampaikan di sel-sela perayaan HUT ke-16 Partai Hanura, pekan lalu.
Namun, sejatinya pesan itu sudah barang tentu buka hanya ditujukan untuk Hanura semata. Tetapi juga kepada semua partai plotik (parpol) kontestan pemilu, calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang bertarung dalam pemilihan presiden nanti, seluruh tim sukses dan pendukung parpol, serta kepada seluruh rakyat Indonesia.
Sportivitas dan adu gagasan merupakan kata kunci yang ingin digarisbawahi mantan wali kota Solo tersebut. Dengan sportivitas, siapapun parpol maupun kandidat capres-cawapres akan mengedepankan pertarunganfair,dalam hal ini jauh dari politik uang (money politics)dan kecurangan. Tak hanya itu bagi pihak yang kalah juga harus legowo menerima apapun pilihan rakyat.
Pada frasa adu gagasan yang dimaksud Presiden, ini menekankan pada pentingnya adu visi dan misi sebagai ‘dagangan’ untuk menarik dukungan masyarakat.
Pertanyaannya apakah urgensi harapan tersebut disampaikan? Jawabannya, sudah pastiya! Realitas ini berdasar situasi dan kondisi yang melingkupi pesta demokrasi sebelumnya, khususnya semenjak Pemilu dan Pilpres 2014.
Penyelenggara Pemilu, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memang telah menetapkan proses demokrasi telah berjalan denganfair, hingga hasil pemilu dan pilpres dianggap sah. Pun adu gagasan memang secara formal telah diwujudkan dengan adu visi misi parpol dan debat kandidat capres-cawapres yang bisa disaksikan semua lapisan masyarakat, termasuk disiarkan secara live di televisi.
Namun, harus diakui bahwa di balik itu proses demorasi masih diwarnai dengan permainan politik uang yang terbilang sangat massif dan permainan penyelenggara pemilu di berbagai level. Lebih memprihatinkan lagi, kampanye pemilu penuh dengan nuansa politisasi agama, politik SARA, hingga politik identitas.
Akibatnya, aspek rasionalitas untuk memilih parpol dan capres-cawapres yang diharapkan bisa melakukan perubahan negara menjadi lebih baik jauh panggang dari api.
Yang memprihatinkan, pertarungan di tataran elite politik yang sejatinya sangat pragmatis dan jauh dari idealitas seperti digembar-gemborkan telah membelah masyarakat secara horizontal. Celakanya api yang terlanjur membara sebagai dampak kerasnya pertarungan itu masih terasa panasnya hingga kini. Masih eksisnya istilah ‘kadrun’ vs ‘cebong’ menjadi indikasinya belum mendinginnya konflik politik yang terjadi dari level elite hingga massa pendukung.
Demikian kutipan pernyataan sekaligus harapan yang disampaikan Presiden Joko Widodo jelang pesta demokrasi 2024 nanti. Pesan itu sampaikan di sel-sela perayaan HUT ke-16 Partai Hanura, pekan lalu.
Namun, sejatinya pesan itu sudah barang tentu buka hanya ditujukan untuk Hanura semata. Tetapi juga kepada semua partai plotik (parpol) kontestan pemilu, calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang bertarung dalam pemilihan presiden nanti, seluruh tim sukses dan pendukung parpol, serta kepada seluruh rakyat Indonesia.
Sportivitas dan adu gagasan merupakan kata kunci yang ingin digarisbawahi mantan wali kota Solo tersebut. Dengan sportivitas, siapapun parpol maupun kandidat capres-cawapres akan mengedepankan pertarunganfair,dalam hal ini jauh dari politik uang (money politics)dan kecurangan. Tak hanya itu bagi pihak yang kalah juga harus legowo menerima apapun pilihan rakyat.
Pada frasa adu gagasan yang dimaksud Presiden, ini menekankan pada pentingnya adu visi dan misi sebagai ‘dagangan’ untuk menarik dukungan masyarakat.
Pertanyaannya apakah urgensi harapan tersebut disampaikan? Jawabannya, sudah pastiya! Realitas ini berdasar situasi dan kondisi yang melingkupi pesta demokrasi sebelumnya, khususnya semenjak Pemilu dan Pilpres 2014.
Penyelenggara Pemilu, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memang telah menetapkan proses demokrasi telah berjalan denganfair, hingga hasil pemilu dan pilpres dianggap sah. Pun adu gagasan memang secara formal telah diwujudkan dengan adu visi misi parpol dan debat kandidat capres-cawapres yang bisa disaksikan semua lapisan masyarakat, termasuk disiarkan secara live di televisi.
Namun, harus diakui bahwa di balik itu proses demorasi masih diwarnai dengan permainan politik uang yang terbilang sangat massif dan permainan penyelenggara pemilu di berbagai level. Lebih memprihatinkan lagi, kampanye pemilu penuh dengan nuansa politisasi agama, politik SARA, hingga politik identitas.
Akibatnya, aspek rasionalitas untuk memilih parpol dan capres-cawapres yang diharapkan bisa melakukan perubahan negara menjadi lebih baik jauh panggang dari api.
Yang memprihatinkan, pertarungan di tataran elite politik yang sejatinya sangat pragmatis dan jauh dari idealitas seperti digembar-gemborkan telah membelah masyarakat secara horizontal. Celakanya api yang terlanjur membara sebagai dampak kerasnya pertarungan itu masih terasa panasnya hingga kini. Masih eksisnya istilah ‘kadrun’ vs ‘cebong’ menjadi indikasinya belum mendinginnya konflik politik yang terjadi dari level elite hingga massa pendukung.