Potensi Konflik di Laut China Selatan antara RRC, Amerika Serikat, dan ASEAN
loading...
A
A
A
Harryanto Aryodiguno, Ph.D
Dosen Jurusan Hubungan Internasional President University
Potensi konflik di Laut China Selatan (LCS) sering dikaitkan dengan penggunaan kekuatan China dalam sengketa wilayah. Secara historis, wilayah paling sering menjadi penyebab konflik. Untuk itulah kita sangat prihatin dengan sengketa teritorial China yang sering terjadi.
Tentu saja, ada alasan yang lebih spesifik mengapa Laut China Selatan itu unik, penting, dan sering menjadi akar dari sengketa antar negara di wilayah tersebut. Laut China Selatan mewakili sejumlah kepentingan geopolitik dan territorial. Sengketa teritorial saat ini melibatkan China, Taiwan, Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Awalnya dimulai pada tahun 1951, ketika Republik Rakyat China secara resmi mengklaim Kepulauan Spratly dan Paracel. Mengapa perselisihan terus berlanjut selama beberapa dekade ini?
Laut China Selatan adalah rumah bagi perikanan, mempunyai cadangan energi yang besar dan tentu saja menjadi wilayah dengan perdagangan global sekitar $5,3 triliun setiap tahun. Konflik di Laut China Selatan menjadi semakin parah ketika kebijakan luar negeri China menegaskan kembali klaim maritim dan teritorial China di wilayah tersebut. Kemudian yang lebih memprihatinkan lagi adalah sebagian negara ASEAN dan Amerika Serikat memperparah konflik tersebut dengan memprotes klaim China tentang"Sembilan Garis Putus" yang diikuti dengan dengan pembangunan fasilitas militer besar-besaran dan upaya reklamasi di Laut China Selatan.
Konflik teritori di Laut China Selatan dalam teori hubungan internasional dapat dijelaskan dengan memahami tindakan setiap negara dan berdasarkan teori yang ada. Realisme, sebagaimana didefinisikan oleh Hans Morgenthau adalah "suatu konsep kepentingan yang didefinisikan dalam istilah kekuasaan". Pemikiran kaum realisme paling jelas didefinisikan oleh lima asumsi, yaitu: bahwa politik internasional tetap anarkis, bahwa negara memiliki kemampuan ofensif, tidak dapat sepenuhnya memastikan ambisi lawan, negara pasti akan mempertahankan kepentingannya, dan rasional dari setiap kepemimpinan dari sebuah negara. Dengan demikian, kaum realis memahami situasi dalam hal kemampuan material, baik secara militer, ekonomi, atau saluran diplomatik.
Negara berusaha mencapai keamanan melalui dominasi dan hegemoni. Strategi seperti ini secara implisit mengharuskan negara untuk secara ofensif memaksimalkan kekuatan dan pengaruh mereka bila memungkinkan, biasanya dengan mengejar kebijakan ekspansionis saat mereka memperoleh atau merasa memperoleh kekuatan kekuatan tambahan. Kaum Realis selalu berpandangan bahwa China telah membangun apa yang sekarang disebut "ancaman China," yang memberikan penafsiran bahwa kebangkitan China adalah ancaman besar terhadap keamanan nasional Asia Tenggara dan AS. Dan konflik tidak akan dapat dihindari karena ketidakseimbangan yang berkelanjutan dan persaingan strategis di kawasan ini karena kekuatan China dan AS yang saling memprovokasi.
Kemudian kita melihat perspektif dari kaum liberalisme. Liberalisme dalam hubungan internasional dapat dipelajari melalui tiga prinsip dasar, yaitu: penolakannya terhadap politik kekuasaan sebagai satu-satunya hasil yang masuk akal dari hubungan internasional, argumennya tentang kemungkinan kerja sama internasional antar negara dan manfaatnya, beserta pengakuannya bahwa organisasi internasional dan nonaktor negara memiliki pengaruh dalam membentuk preferensi kebijakan negara.
Liberalisme menekankan bahwa karakteristik nasional memengaruhi hubungan internasional suatu negara dan sifat serta dinamika ekonomi politik internasional sangat vital. Kaum liberal yakin bahwa "saling ketergantungan ekonomi, khususnya perdagangan bebas, mengurangi kemungkinan perang dan hal ini bisa dilihat dari di mana pemerintah China secara khusus mendapatkan legitimasi kekuasaan dari kekuatan ekonomi negaranya. Pengaruh yang membatasi saling ketergantungan ekonomi ini baru-baru ini disoroti dalam sengketa Kepulauan Senkaku antara China dan Jepang, ketika tidak ada pihak yang menggunakan kekerasan. Ini adalah salah satu fakta bahwa China adalah mitra dagang terbesar Jepang.
Kemudian kontribusi organisasi internasional dalam mendorong keamanan kolektif, mengelola konflik, dan mempromosikan kerja sama, telah terlihat dalam penciptaan kerangka kerjasama dan keamanan regional, termasuk banyak organisasi seperti ASEAN, Forum Regional ASEAN, ASEAN+3, dan KTT Asia Timur. Lembaga-lembaga seperti ini berfungsi untuk memperkuat "perdamaian liberal", mengingat negara-negara berkembang di Asia mendapat manfaat besar dari tatanan internasional liberal yang ada.
Oleh karena itu, berdasarkan pendapat kaum realis yang lebih mengutamakan kepentingan dan keamanan maupun kaum liberal yang lebih mengutamakan kerjasama, penulis berpendapat bahwa ketergantungan ekonomi antarnegara memainkan peran terbesar dalam membatasi penggunaan kekuatan bersenjata di Laut Cina Selatan. Kemudian pembentukan kerangka kerja regional secara substansial juga berperan mengurangi risiko konflik di Laut China Selatan.
Namun akumulasi kekuatan militer China yang sangat besar dapat memberi efek hegemonik dan mempengaruhi stabilis di wilayah Laut China Selatan. Kemudian reklamasi pulau yang dilakukan oleh China, yang diikuti dengan peningkatan aktivitas Angkatan Laut AS, berisiko meningkatkan konflik di kawasan.
Saat ini China memang menggunakan ekonomi dan diplomatik untuk melawan kekuatan militer AS. Hal ini karena secara militer China belum cukup kuat untuk secara terbuka terlibat dalam konflik bersenjata di Laut China Selatan. Oleh karena itulah, ketergantungan ekonomi dan norma-norma regional menjadi kekuatan yang membatasi konflik untuk saat ini. Namun, kita tidak tahu apakah faktor-faktor ini akan terus bertahan dalam beberapa dekade mendatang.
Laut China Selatan akan terus menjadi ajang perdebatan antarakademisi maupun pemerintah, terutama potensi konflik di Asia Tenggara pada masa mendatang. Saat ini, tidak ada solusi yang jelas terhadap berbagai sengketa teritorial yang saat ini dipersengketakan, selain ketergantungan ekonomi antarnegara. Kerangka kerja normatif regional, yang terutama disebarluaskan melalui kerja sama China-ASEAN, telah membuat kemajuan diplomatik, tetapi tetap tidak mungkin membatasi provokasi agresif China dan Amerika secara permanen.
Dosen Jurusan Hubungan Internasional President University
Potensi konflik di Laut China Selatan (LCS) sering dikaitkan dengan penggunaan kekuatan China dalam sengketa wilayah. Secara historis, wilayah paling sering menjadi penyebab konflik. Untuk itulah kita sangat prihatin dengan sengketa teritorial China yang sering terjadi.
Tentu saja, ada alasan yang lebih spesifik mengapa Laut China Selatan itu unik, penting, dan sering menjadi akar dari sengketa antar negara di wilayah tersebut. Laut China Selatan mewakili sejumlah kepentingan geopolitik dan territorial. Sengketa teritorial saat ini melibatkan China, Taiwan, Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Awalnya dimulai pada tahun 1951, ketika Republik Rakyat China secara resmi mengklaim Kepulauan Spratly dan Paracel. Mengapa perselisihan terus berlanjut selama beberapa dekade ini?
Laut China Selatan adalah rumah bagi perikanan, mempunyai cadangan energi yang besar dan tentu saja menjadi wilayah dengan perdagangan global sekitar $5,3 triliun setiap tahun. Konflik di Laut China Selatan menjadi semakin parah ketika kebijakan luar negeri China menegaskan kembali klaim maritim dan teritorial China di wilayah tersebut. Kemudian yang lebih memprihatinkan lagi adalah sebagian negara ASEAN dan Amerika Serikat memperparah konflik tersebut dengan memprotes klaim China tentang"Sembilan Garis Putus" yang diikuti dengan dengan pembangunan fasilitas militer besar-besaran dan upaya reklamasi di Laut China Selatan.
Konflik teritori di Laut China Selatan dalam teori hubungan internasional dapat dijelaskan dengan memahami tindakan setiap negara dan berdasarkan teori yang ada. Realisme, sebagaimana didefinisikan oleh Hans Morgenthau adalah "suatu konsep kepentingan yang didefinisikan dalam istilah kekuasaan". Pemikiran kaum realisme paling jelas didefinisikan oleh lima asumsi, yaitu: bahwa politik internasional tetap anarkis, bahwa negara memiliki kemampuan ofensif, tidak dapat sepenuhnya memastikan ambisi lawan, negara pasti akan mempertahankan kepentingannya, dan rasional dari setiap kepemimpinan dari sebuah negara. Dengan demikian, kaum realis memahami situasi dalam hal kemampuan material, baik secara militer, ekonomi, atau saluran diplomatik.
Negara berusaha mencapai keamanan melalui dominasi dan hegemoni. Strategi seperti ini secara implisit mengharuskan negara untuk secara ofensif memaksimalkan kekuatan dan pengaruh mereka bila memungkinkan, biasanya dengan mengejar kebijakan ekspansionis saat mereka memperoleh atau merasa memperoleh kekuatan kekuatan tambahan. Kaum Realis selalu berpandangan bahwa China telah membangun apa yang sekarang disebut "ancaman China," yang memberikan penafsiran bahwa kebangkitan China adalah ancaman besar terhadap keamanan nasional Asia Tenggara dan AS. Dan konflik tidak akan dapat dihindari karena ketidakseimbangan yang berkelanjutan dan persaingan strategis di kawasan ini karena kekuatan China dan AS yang saling memprovokasi.
Kemudian kita melihat perspektif dari kaum liberalisme. Liberalisme dalam hubungan internasional dapat dipelajari melalui tiga prinsip dasar, yaitu: penolakannya terhadap politik kekuasaan sebagai satu-satunya hasil yang masuk akal dari hubungan internasional, argumennya tentang kemungkinan kerja sama internasional antar negara dan manfaatnya, beserta pengakuannya bahwa organisasi internasional dan nonaktor negara memiliki pengaruh dalam membentuk preferensi kebijakan negara.
Liberalisme menekankan bahwa karakteristik nasional memengaruhi hubungan internasional suatu negara dan sifat serta dinamika ekonomi politik internasional sangat vital. Kaum liberal yakin bahwa "saling ketergantungan ekonomi, khususnya perdagangan bebas, mengurangi kemungkinan perang dan hal ini bisa dilihat dari di mana pemerintah China secara khusus mendapatkan legitimasi kekuasaan dari kekuatan ekonomi negaranya. Pengaruh yang membatasi saling ketergantungan ekonomi ini baru-baru ini disoroti dalam sengketa Kepulauan Senkaku antara China dan Jepang, ketika tidak ada pihak yang menggunakan kekerasan. Ini adalah salah satu fakta bahwa China adalah mitra dagang terbesar Jepang.
Kemudian kontribusi organisasi internasional dalam mendorong keamanan kolektif, mengelola konflik, dan mempromosikan kerja sama, telah terlihat dalam penciptaan kerangka kerjasama dan keamanan regional, termasuk banyak organisasi seperti ASEAN, Forum Regional ASEAN, ASEAN+3, dan KTT Asia Timur. Lembaga-lembaga seperti ini berfungsi untuk memperkuat "perdamaian liberal", mengingat negara-negara berkembang di Asia mendapat manfaat besar dari tatanan internasional liberal yang ada.
Oleh karena itu, berdasarkan pendapat kaum realis yang lebih mengutamakan kepentingan dan keamanan maupun kaum liberal yang lebih mengutamakan kerjasama, penulis berpendapat bahwa ketergantungan ekonomi antarnegara memainkan peran terbesar dalam membatasi penggunaan kekuatan bersenjata di Laut Cina Selatan. Kemudian pembentukan kerangka kerja regional secara substansial juga berperan mengurangi risiko konflik di Laut China Selatan.
Namun akumulasi kekuatan militer China yang sangat besar dapat memberi efek hegemonik dan mempengaruhi stabilis di wilayah Laut China Selatan. Kemudian reklamasi pulau yang dilakukan oleh China, yang diikuti dengan peningkatan aktivitas Angkatan Laut AS, berisiko meningkatkan konflik di kawasan.
Saat ini China memang menggunakan ekonomi dan diplomatik untuk melawan kekuatan militer AS. Hal ini karena secara militer China belum cukup kuat untuk secara terbuka terlibat dalam konflik bersenjata di Laut China Selatan. Oleh karena itulah, ketergantungan ekonomi dan norma-norma regional menjadi kekuatan yang membatasi konflik untuk saat ini. Namun, kita tidak tahu apakah faktor-faktor ini akan terus bertahan dalam beberapa dekade mendatang.
Laut China Selatan akan terus menjadi ajang perdebatan antarakademisi maupun pemerintah, terutama potensi konflik di Asia Tenggara pada masa mendatang. Saat ini, tidak ada solusi yang jelas terhadap berbagai sengketa teritorial yang saat ini dipersengketakan, selain ketergantungan ekonomi antarnegara. Kerangka kerja normatif regional, yang terutama disebarluaskan melalui kerja sama China-ASEAN, telah membuat kemajuan diplomatik, tetapi tetap tidak mungkin membatasi provokasi agresif China dan Amerika secara permanen.
(zik)